Jember – Jempol . “Supaya DPR Kabupaten Jember itu isinya orang – orang yang betul – betul memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan kayak sekarang, 50 orang griduuuuuhhhh meloloh, berantem terus sama bupati. Saya memang ndak mau, kalau suruh nyogok, terus baru ditanda tangani APBD, ndak mau saya. Mangkanya griduh meloloh”.
Konten Vidio pidato Bupati Jember dr Faida MMR itu dikutip dalam Pers Release LSM ForMaT (Forum Masyarakat Tertindas). Faida dinilai telah terang – terangan menuding 50 anggota DPRD Jember tukang minta amplopan. Tudingan itu menuai kecaman dari tokoh pergerakan di Kabupaten Jember. Kamis (11/4/2019) sejumlah tokoh gaek pergerakan Jember menggelar Tahlilan dan Doa bersama di halaman Gedung DPRD Jember.

Penggagas acara tahlilan dan doa bersama Ketua Forum Masyarakat Tertindas (Format) Kustiono Musri menegaskan protes dalam bentuk doa bersama digelarnya sebagai bentuk keputus asaan publik yang tidak menemukan cara tepat untuk menyalurkan aspirasinya.
“Dari perjalanan politik di kabupaten, sudah mentok rasanya, sehingga kami tak punya cara lain kecuali mengadu kepada Sang Pencipta yang memiliki segalanya untuk kemudian menggerakkan para pihak,” kata Kustiono.
Kata Kustiono, mendengar kalimat yang diucapkan bupati Jember jelas mengarahkan pikiran pendengarnya bahwa 50 anggota DPRD Jember Periode 2014 – 2020 selama ini “griduh” dan “berantem” terus dengan Bupati hanya gara – gara Bupati tidak mau memberi uang sogok kepada anggota DPRD Jember.
“Maka berikutnya diotak kami muncul pertanyaan, benarkah 50 anggota DPRD tersebut minta uang sogok untuk menanda tangani APBD ? benarkah bupati mengetahui atau mendengar adanya permintaan uang sogok tersebut,” tulis Kustiono.
Kalau memang benar Bupati mengetahui anggota DPRD Jember meminta uang sogok, maka menurut Kustiono wajib hukumnya bupati melaporkan perbuatan melawan hukum itu kepada pihak berwajib.
“Sebaliknya jika tidak benar, maka menurut kami, Bupati telah melakukan penghinaan kepada institusi DPRD Jember. Dan seharusnya DPRD Jember melaporkan perbuatan Bupati tersebut kepada penegak hukum,” tandasnya.
DPRD Jember Tak Temui Pendemo ?
Selama sekitar satu jam para pendemo berorasi di halaman Gedung DPRD Jember, tak satupun anggota DPRD Jember sudi temui para pendemo. Sepertinya membenarkan tudingan Bupati Jember :
“Maka saya pesan kepada bapak ibu, sekarang jangan pilih caleg yang bagi-bagi uang. Kalau dia bagi-bagi uang, terus habis banyak, waktu jadi pasti dia korupsi. Waktu jadi, pasti mengganggu pembangunan”
“Kalau yang bagi-bagi uang kita pilih, kita memilih calon koruptor. Hati-hati. Bagaimana kalau ada yang bagi-bagi uang? Deremmah? Kalak pesennah, jek peleh orenga (Bagaimana? Ambil uangnya jangan pilih orangnya)”
Kustiono khawatir, pernyataan dalam video tersebut bisa memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap parlemen. Padahal, 17 April 2019, pemilu legislatif digelar, dan salah satunya untuk memilih anggota-anggota DPRD Jember.
“Ini begitu mendasar dan berpotensi merusak tatanan demokrasi. Menurut kalkulasi matematis saya, paling tidak akan meningkatkan angka golput. Ketika ngomong golput, pelaksanaan pemilu tidak sukses, pasti ada efeknya kepada (capres) incumbent. Jadi multiplier effect-nya panjang. Ketika kepercayaan publik terhadap fungsi parlemen melemah, maka bisa dipastikan golput tinggi,” katanya.
Sikap DPRD Jember yang tidak menemui para pendemo dikecam habis Ketua LSM IBW Jember Sudarsono.
“Ke mana mereka? Mereka digaji dengan uang rakyat,” kata Sudarsono. (*)
- “Maka saya pesan kepada bapak ibu, sekarang jangan pilih caleg yang bagi-bagi uang. Kalau dia bagi-bagi uang, terus habis banyak, waktu jadi pasti dia korupsi. Waktu jadi, pasti mengganggu pembangunan”
- “Kalau yang bagi-bagi uang kita pilih, kita memilih calon koruptor. Hati-hati. Bagaimana kalau ada yang bagi-bagi uang? Deremmah? Kalak pesennah, jek peleh orenga (Bagaimana? Ambil uangnya jangan pilih orangnya)”