Diskusi FKD Ganyeng Bahas Buruh, Menggugat Kehadiran Negara

Diskusi FKD Ganyeng
Keterangan Foto : Diskusi Forum Konco Dewe digelar di Pendopo Desa Jubung Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember, pada Jum’at (12/11/2021) pukul 19.00 wib hingga pukul 23.00 WIB.

Loading

JemberDiskusi FKD Ganyeng ala warung kopi, digelar untuk ke tiga kalinya. Kali ini temanya cukup menarik, Kedaulatan Buruh : Antara Perjuangan dan Kepemimpinan” . Diskusi itu digelar di Pendopo Desa Jubung Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember, pada Jum’at (12/11/2021) pukul 19.00  wib hingga pukul 23.00 WIB.

Diskusi Forum Konco Dewe yang dipandu Iwan Santri Nasionalis,  dihadiri para aktivis dari berbagai komunitas itu, menghadirkan nara sumber cukup kompeten dibidangnya, diantaranya Dosen Fakultas Hukum Unej DR Aries Harianto, Dosen Fakultas Hukum Unej Dr Fendy Setyawan, Ketua DPC Sarbumusi Jember Umar Faruk, Ketua DPC  SBMI Jember Nadifatul Khoiroh dan Aktivis Buruh Budi Santoso.

Budi Santoso membuka wawasannya sebagai aktivis buruh yang selama ini bersenttuhan dengan konflik perburuhan merasa masih terjadi konflik yang belum juga tuntas diselesaikan, kata Budi konflik paling krusial didunia perburuhan adalah PHK sepihak dan ketetapan UMR yang masih jauh dari harapan.

“Karenanya melalui forum diskusi semoga dapat direkomendasikan sebuah solusi cerdas yang dapat menjadi acuan dalam menyelesaikan permasalahan perburuhan,” ujarnya.

Pendapat Budi Santoso didukung pengalaman Ketua DPC Sarbumusi Jember Umar Faruk selama mengawal konflik perburuhan di Kabupaten Jember, yang menurutnya kaum buruh masih harus menghadapi tantangan yang cukup berat.

“Kami masih mendapatkan kesulitan dalam memperjuangkan kepentingan kaum buruh, yang harus berhadapan dengan berbagai permasalahan, diantaranya PHK sepihak, dan perjuangan mendapatkan kesejahteraan melalui UMR,” katanya.

Umar menyebut perjuangan buruh juga harus berhadapan dengan model peradilan perburuhan yang tidak ringan, jika buruh berkonflik dengan pengusaha, maka penyelesaiannya haru melalui Pengadilan Hubungan Indutrial yang berada di Surabaya.

“Tentu bukan hal yang mudah bagi kami kaum buruh yang tidak memeliki kekuatan capital,” ujarnya.

Demikian pula dengan permasalahan perjuangan Upah Minimum Regional (UMR), Umar membandingkan dengan ketentuan upah di Luar Negeri, seperti di Australia dan Kanada.

“Sekelas supir saja, pendapatannya bisa mencapai 30 juta per bulan, sementara kita disini masih sekitar 90 ribuan per hari,” keluhnya.

Sementara di Kabupaten Jember, memiliki lebih dari 750 perusahaan, yang  75 persen diantaranya belum sanggup membayar buruhnya sesuai UMK

“Maka jangan heran, jika ada didapatkan buruh melakukan penyelewengan, hanya karena gajinya tidak cukup,” sergahnya.

Diakuinya, kekuatan buruh memang lemah, penyebabanya adalah  Buruh sulit berorganisasi, disamping memang ada didapatkan fakta – fakta yang menyebabkan buruh tidak berkenan berorganisasi, sehingga ketika  mengalami permasalahan juga tidak mudah memperjuangkannya.

“berdasarkan UU 21 tentang  2000 tentang serikat kerja dan serikat buruh, mensyaratkan yang bisa memperjuangkan buruh hanya serikat buruh yang ada dilingkungan perusahaan itu,” ujarnya.

Menurut pengalamannya sejak tahun 2003 hingga 2021, kelemahan buruh, kata Umar semakin diperparah dengan kurang tenaga pengawasan di lingkungan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Jember.

“Selama ini, kesannya disnaker hanya menjadi tempat buangan para PNS, ini mengesankan pemerintah tidak serius mengurus buruh,” tandasnya.

Persoalan perburuhan juga terjadi pada Pekerja Migran Indonesia (PMI), istilah ini menggantikan Tenaga Kerja Indonesia(TKI), seperti disampaikan Nadifah, bahwa kepedulian pemerintah terhadap kepentingan para PMI  yang bekerja ke luar negeri,dinilainya masih jauh dari adil.

“Ada ketidak hadiran negara dalam permasalahan buruh migran, seperti yang sering kami alami,” ujarnya.

Begitu banyak PMI, terutama yang undocument (tidak memiliki dokumen resmi), ketika mendapatkan perlakuan tidak adil dari para majikannya, sulit untuk mendapatkan pembelaan.

Nadifah juga mencatat banyak PMI yang illegal, hingga diperlukan sosialisasi lebih serius dari semua pihak.

“Ini  tentu menjadi konsentrasi kami kedepan, bagaimana ada kepedulian pemerintah dalam memperjuangkan nasib para buruh migran,” tandasnya.

Upaya SBMI Jember, kata Nadifah, diantaranya akan dilakukan pelatihan terhadap 80 orang mantan PMI, agar mereka mendapatkan bekal yang cukup.

“Harus diakui bahwa PMI juga sudah memberikan kontribusi sebagai pengungkit perekonomian daerah,” katanya.

Menjawab permasalahan itu Dr Aries lebih menitik beratkan pada upaya untuk merekontruksi ulang berbagai pendekatan perburuhan yang selama ini dikritisinya belum mampu menjawab aspirasi buruh.

“Karenanya gagasan perjuangan melalui jalanan harusnya sudah berganti menjadi perjuangan yang lebih konstruktif, sehingga dapat diukur dengan jelas hasilnya,” ujarnya.

Menurut Dr Aries, perjuangan dijalanan harusnya sudah berganti menjadi perjuangan konstitusional, dengan mengarahkan arah energi perjuangan untuk tidak lagi sekedar berhadap-hadapan dengan negara.

“Sekarang malah seharusnya bagaimana merangkul negara untuk menjadi kekuatan dalam perjuangan buruh, jangan berhadap-hadapan, negara kita rangkul,” tegasnya.

Memperkuat pendapat DR Aries, atas diperlukannya perubahan regulasi yang lebih adaptif, Dr Fendy Setyawan  mencoba mengawali pendapatnya dengan mempertanyakan  kebutuhan regulasi  yang dianggapnya belum menjawab kebutuhan buruh.

“Regulasi masih dinilai sebagai alat kekuasaan,” ujarnya.

Karenanya Dr Fendy mencoba memberikan tawaran perjuangan buruh, melalui strategi perjuangan buruh, yang bisa dilakukan dengan memperkuat  tiga lapisan, diantaranya   substansi hukum, kelembagaan hukum juga harus dikawal, Disnaker, dan kesadaran hukum.

“Jika ketiganya tidak ada keberpihakan, maka perjuangan buruh akan percuma,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dr Fendy juga mengemukakan  gagasan perlunya dilakukan reformasi politik ketenaga kerjaan, melalui Reformasi ekonomi pusat dan daerah Refomasi industrial, Reformasi  global perdagangan internasional, reformasi sistem pengupahan dengan membangun rasionalitas manajerial perusahaan dan buruh serta Refermasi Pasar Bebas.

Dr Fendy juga mengemukakan gagasan agar buruh juga memiliki kekuatan setara, maka dapat dilakukan dengan mengakomodir kaum buruh untuk bisa memliki saham pada perusahaan tempatnya bekerja.

“Dengan demikian, maka buruh tidak lagi ditempatkan sebagai objek semata,” ujarnya.

Insiator FKD Jember, Lukman Winarno di ahir acara menyampaikan, bahwa diskusi model warung kopian itu akan terus digelarnya diberbagai kesempatan.

“Siapapun boleh hadir dan memberikan kontribusi pemikiran, berbeda sekalipun,” tukasnya. (*)

Table of Contents