Bangsa Caci Maki Merongrong Pancasila

Loading

Jempolindo.id – Jember . Entah malaikat apa yang membisiki telinga pria usia 35 tahunan ini, ditengah malam sambil mengamati postingan media sosial di ponselnya, tiba – tiba Heru Sugianto akrab di panggil Misru bergumam sendiri.

“Keadaan kok semakin kacau saja, satu sama lain saling memaki seolah paling benar sendiri,” gumamnya.

Masing – masing pendukung saling menghujat lawan politiknya, bukan membahas bagaimana mencari solusi bagi kemajuan bangsa malah saling mencari kelemahan lawan politiknya, hanya untuk membenarkan dirinya sendiri.

Belakangan, bukan lagi agama yang jadi objek konflik, Tuhan juga mulai diseret – seret ke tengah permainan politik. Satunya bilang kalo calonnya tidak menang tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan.

“Apa dikira yang lain tidak ber Tuhan ?,” Misru makin mengerutkan keningnya.

Pendukung calon lainnya mengatakan kalo tidak mendukung dirinya semua akan masuk neraka. Seolah surga sudah habis kaplingannya hanya untuk kelompoknya saja.

“Makin aneh saja perilaku politik bangsa ini,” suara Misru lirih.

Tak dinyana pria yang pekerjaan sehari – harinya tidak jelas itu, rupanya juga punya semangat nasionalisme yang tak kalah kentalnya dibanding para pakar yang adu argumen berbuih buih di media televisi atau medsos.

Misru tak melihat pasangan Calon Presiden atau calon Legislatif yang coba mengangkat gagasan bagaimana mengejawantahkan nilai – nilai luhur Pancasila ke dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara,

“harusnya para calon pemimpin itu mengagas bagaimana Pancasila diterapkan dalam kehidupan sehari hari,” Katanya sambil bersandar di tembok lusuh.

Kalimat cinta Pancasila, NKRI hanya menjadi jargon tanpa makna, diucapkan hanya agar diakui paling Pancasilais. Jangan – jangan malah yang paling menentang Pancasila.

Sila pertama, ke Tuhanan Yang Maha Esa, bergeser maknanya menjadi memper – Tuhan – kan diri dan kelomponya masing – masing.

Sila kedua , Kemanusian yang adil dan beradab. Berubah menjadi kehewanan yang tak adil dan tak beradab. Makin mendekati pelaksanaan pemungutan suara, kecebong dan kampret semakin berkembang biak.

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Berganti menjadi Perseteruan Indonesia. Hampir semua lapisan bangsa ini menjadi biang dari pertengkaran dengan bangsanya sendiri. Perhatikan jargonnya masing – masing pendukung. Satunya bilang “PERANG TOTAL” , memang mau perang dengan siapa ?. Sampai sebegitu rupa menggunakan istilah perang hanya untuk berebut kekuasaan.

Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Rakyat sudah tidak lagi dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana dan penuh hikmah. Para wakil rakyat lebih mengedepankan perdebatan berebut paling benar, daripada bermusyawarah untuk kepentingan rakyatnya.

Sila Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika adil itu dimaknai menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya, maka hari ini keadilan itu sudah menjadi barang langka. Bagaimana tidak, pembangunan yang digembar – gemborkan masih lebih berpihak kepada pemilik kapital alias orang kaya, sementara rakyat tetap saja hanya sebagai objek politik kekuasaan. Sementara kelompok oposan juga membangun argumen politik yang belum memberikan suri tauladan bagaimana seharunya bersikap adil bagi rakyat.

Entahlah ?!, semua seperti berjalan dalam kekacauan. Aturan tertulis hanya berlaku bagi yang tidak berkuasa, sementara yang berkuasa punya aturan yang tak tertulis dan justru lebih kuat serta tak bisa ditentang. Jika ditentang, maka dianggap makar terhadap negara.

Saat tulisan ini selesai, Misru mungkin sudah lelap dalam mimpinya tentang Indonesia yang sesungguhnya. (*)


Table of Contents