Jempol – Jember. Meski diwarnai hiruk pikuk perlawanan akibat kekalahan Pasangan Calon Prabowo – Sandi, prinsipnya Pemilihan Umum 2019 telah usai digelar. KPU RI telah memutuskan kemenangan kubu Pasangan Calon 01. Berikut Pemilihan Legislatif juga sudah selesai dan menghasilkan Calon Legislatif terpilih. Soal ketidak puasan Mahkamah Konstitusi membuka ruang untuk memperjuangkan keadilan bagi yang merasa dicurangi.
Hal yang tak bisa dipungkiri, pemilihan umum itu merupakan pemilihan umum yang sangat mahal, bukan saja anggaran penyelenggaraannya yang menelan trilyunan biaya dari APBN, tetapi masing – masing kontestan baik Pasangan calon presiden maupun calon legislatif juga telah habis – habisan bertarung dengan mengeluarkan anggaran yang relatif besar.
Bisa dipastikan, Calon Legislatif secara umum adalah mereka yang sanggup mengeluarkan anggaran lebih besar dibanding yang kalah. Besarannya memang relatif, sangat bergantung pada banyak faktor dan tingkatan pencalonannya. Calon DPRD Kabupaten tentu berbeda besarannya dengan calon DPRD Propinsi dan DPRRI.
Calon DPRD Kabupaten/Kota rata – rata harus mengeluarkan anggaran diatas 300 jutaan, DPRD Propinsi sudah tembus ke angka 1 milyaran, sedang DPRRI bisa tembus diatas 10 milyar. Alokasi anggaran yang harus dikeluarkan Caleg diantaranya untuk Baligo, Publikasi, Biaya Operasional Tim Sukses, Biaya Lobi – lobi, sampai keniscayaan biaya untuk membeli suara.
Pilkades Serentak Perlu diwaspadai
Usai perhelatan Pemilu 2019, Kabupaten Jember direncanakan sekitar 161 Desa akan menggelar Pemilihan Kepala Desa serentak sekitar september 2019. Seperti perhelatan Pemilihan Kepala Desa yang sudah – sudah, bisa diperkirakan masing – masing peserta calon kepala desa harus menyediakan ongkos yang relatif mahal.
Kabarnya, sekurang – kurangnya calon kepala desa harus mengantongi anggaran sekurang – kurangnya 300 jutaan hingga 1 milyar. Tak jauh berbeda dengan biaya Calon Legislatif, Calon Kepala Desa juga harus menyediakan anggaran untuk sumbangan pantia penyelenggara, tim sukses, biaya konsumsi pertemuan calon pemilih, hingga anggaran untuk membeli suara calon pemilih.
Harapan Wakil Bupati Jember KH Abdul Muqit Arif sebagaimana dirilis beritajatim.com, agar tidak ada bumbung kosong dalam pilkades serentak tahun 2019, bisa jadi akan tidak sepenuhnya memenuhi harapan. Mahalnya ongkos pilkades akan membuat jengah orang untuk ikut dalam kontestasi pilkades.
Besarnya ongkos pencalonan kepala desa itu juga akan berdampak pada belum berubahnya kemungkinan terjadinya perilaku korup kepala desa terpilih. Sederhananya, kepala desa terpilih sudah barang tentu harus mengembalikan ongkos yang sudah dikeluarkannya yang sepenuhnya terkadang bukan dari kocek pribadi, melainkan diperoleh dari hasil berhutang.
Mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan peraturan pemerintah nomo 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, maka penghasilan kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diterima Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/kota. Selain itu, Kepala Desa juga menerima penghasilan sah yang bersumber dari APBDes dan sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan – undangan yang berlaku.
Memang, setiap Kabupaten/Kota menetapkan penghasilan kepala desa berbeda – beda satu sama lain bergantung pada besaran alokasi ADD desa setempat dan ditentukan dalam bentuk peraturan bupati/walikota setempat. Tetapi secara umum dapat diperkirakan besarannya berkisar antara 3 – 4 juta per bulan.
Jika menggunakan asumsi itu, maka pendapatan kepala desa pertahun berkisar antaran 36 – 48 juta pertahun, atau selama satu periode 6 tahun total penghasilan kepala desa mencapai kisaran 300 juta.
Berdasarkan kajian sederhana itu perbandingan antara penghasilan total Kepala Desa dan ongkor politik yang harus dikeluarkan sudah sangat tidak rasional.
Karenanya jika persoalan mendasar ini belum ada solusi yang tepat, maka persoalan korupsi disegala tingkatan dapat dikatakan masih jauh panggang dari api. Dampaknya bukan hanya pada kualitas pembangunan, pelayanan publik, tetapi juga berdampak secara meluas pada dinamika sosial politik, dan pertumbuhan serta pemerataan ekonomi di desa setempat.
Untuk itu dipandang perlu ada rumusan yang jelas, untuk menekan tingkat resiko yang lebih parah. Mumpung masih ada waktu, sekurang – kurangnya, Pemerintah Kabupaten Jember bersama – sama DPRD Kabupaten dipandang perlu merumuskan sebuah aturan yang mengikat sehingga penyelengaraan pilkades dapat menghasil kepala desa terpilih yang lebih berkualitas. (*)