Titik Rawan Konflik Pemilu 2019

Loading

jempolindo.id Makin dekat pelaksanaan Pemilu 2019, suasana kian memanas. Beberapa Lembaga Survey dan Banwaslu Pusat melakukan survey serta pemetaan seputar kemungkinan kerawanan Pemilu, diantaranya :

MARAKNYA HOAX
Direktur Riset Polmark Indonesia Eko Bambang Subiantoro mengatakan maraknya hoaks salah semakin mengancam kerukunan masyarakat menjelang pemilu.

“Hoaks kan tidak berdiri tunggal, hoaks pasti punya tujuan tertentu, entah tujuannya itu memecah belah atau kepentingan untuk satu kontestasi politik maupun sosial,” ujar Eko.

Menurut hasil olah data yang dilakukan oleh PolMark Research Center, terdapat 4,3 persen responden yang mengaku hubungan pertemanannya rusak karena Pilpres 2014
Sementara itu, sebesar 5,7 persen responden yang mengatakan hubungan sosialnya terdampak akibat Pilkada Jakarta 2017.

Jumlah tersebut memang masih terbilang kecil. Namun, jika dibiarkan begitu saja potensi keretakkan hubungan akibat pemilu mendatang menjadi semakin besar.

“Kalau tidak punya kesadaran bersama untuk mengelola potensi konflik, keretakkan akan semakin membesar, apalagi selama hoaks masih berkembang dengan cukup luas,” terang Eko.

BENTURAN PENDUKUNG
Pengamat politik Saiful Mujani Research Center (SMRC), Djayadi Hanan, menilai bahwa benturan antar pendukung pemerintah dan kelompok penentang mulai dipertontonkan seperti terjadi di arena Car Free Day (CFD) di Jakarta, Minggu, 29 April 2018.
Apabila hal ini terus dibiarkan, Djayadi menilai dapat membahayakan kondisi sosial masyarakat.

“Persekusi yang selama ini terjadi di media sosial, kini mulai dipertontonkan di tempat keramaian. Ini sangat berbahaya,” katanya.

Pada hari bebas kendaraan di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, sempat terjadi ketegangan antara massa anti-Jokowi yang memakai kaos bertuliskan #2019GantiPresiden dengan kelompok pendukung presiden yang mengenakan kaos #DiaSibukKerja.
Massa berkaos #2019GantiPresiden bahkan melakukan intimidasi terhadap sejumlah warga yang dianggap sebagai lawannya. Beberapa manula dan ibu-ibu yang membawa anaknya ikut menjadi korban intimidasi.

Menurut Djayadi, aksi persekusi massa itu sangat berbahaya dan mengancam demokrasi karena bisa saja hal serupa meluas di sejumlah daerah lain.

“Polanya mirip dengan yang terjadi di Pilkada Jakarta. Saya kira politisi kita harus berfikir lebih jernih untuk memenangkan pemilihan dengan cara lebih baik,” katanya.

PERANG HASTAG
Pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti berpendapat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi tampak benar-benar sedang dalam ujian.

“Sebenarnya tidak ada yang salah dari perang hastag lewat kaos dan media sosial. Tapi dengan semakin digaungkan, akan semakin besar pula potensi gesekan,” katanya.

Masyarakat yang belum matang dalam berdemokrasi, kata dia, sangat mudah tersulut.

Karena itu, Ray berharap elit politik tidak membiarkan potensi gesekan di masyarakat.

“Elit politik kedua kubu berperan dalam mempengaruhi massa. Elit harus meredam agar tidak berkembang lebih jauh. Tentu dengan penegakan hukum yang tegas,” ujarnya.

KONFLIK SARA DAN IDENTITAS

Peneliti Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Esty Ekawati menuturkan, politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dan identitas berpotensi menghambat penyelenggaraan pemilu serentak 2019.

Menurut Esty, politisasi SARA juga akan berdampak pada konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Hal tersebut Esty paparkan dalam Sosialisasi Hasil Survei Ahli 2018 yang bertema “Pemetaan Kondisi Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan: Menjelang Pemilu Serentak 2019” di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/8/2018).

“Sebanyak 72,41 persen ahli menjawab ada (potensi menghambat penyelenggaraan pemilu), contohnya yakni politisasi SARA dan identitas, konflik horizontal antar pendukung calon, gangguan keamanan, kekurangsiapan penyelenggaraan pemilu, ketidaknetralan penyelenggaraan pemilu, dan lain-lain,” papar Esty.

Menurut survei yang dilakukan LIPI, potensi politisasi SARA dan identitas sebesar 23,6 persen; konflik horizontal antar pendukung paslon sebesar 12,3 persen; gangguan keamanan 10,4 persen, kekurangsiapan penyelenggara pemilu 6,6 persen; ketidaknetralan penyelenggara Pemilu sebesar 5,7 persen.

NETRALITAS BIROKRASI DAN SENGKETA PEMILU
Selain itu, Esty memaparkan potensi masalah yang muncul dalam pemilu 2019 lainnya adalah sengketa hasil pemilu sebesar 76,6 persen; ketidaknetralan birokrasi sebesar 66,2; tidak menggunakan hak suara 53,1 persen; penggunaan kekerasan dalam pemilu 32,4 persen.

PENYELENGGARA PEMILU
“Merujuk pada keseluruhan indeks di tingkat provinsi, rata-rata pengaruh terbesar kerawanan Pemilu 2019 adalah penyelenggara pemilu yang bebas dan adil serta terkait dimensi kontestasi,” ujarnya.

PEREKAMAN E- KTP
Selain itu, terdapat 224 kabupaten dan kota atau 43 persen yang masuk kategori kerawanan tinggi dan 290 kabupaten dan kota atau 56,4 persen yang masuk rawan sedang. Kondisi itu dipengaruhi oleh proses perekaman KTP elektronik yang belum selesai hingga Desember 2018.

RELASI LOKAL
Sementara itu, kerawanan pada tahapan proses kampanye pada sub dimensi keamanan, kondisi rawan timbul karena relasi kuasa tingkat lokal, kampanye, partisipasi partai, dan partisipasi kandidat.
“Terdapat 127 kabupaten dan kota yang masuk kategori rawan tinggi atau sebanyak 24,7 persen, dan 387 kabupaten dan kota yang rawan sedang atau 75,3 persen,” kata Afifudin.

DISTRIBUSI LOGISTIK
Kemudian, kerawanan pada tahapan pengadaan dan distribusi logistik terdapat 28 kabupaten dan kota yang rawan tinggi, dan selebihnya 486 kabupaten dan kota rawan sedang atau 94,6 persen.

PENGHITUNGAN SUARA
Selanjutnya, tahapan pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan sub dimensi hak pilih, pelaksana pemungutan suara, dan partisipasi pemilih terdapat 272 kabupaten dan kota atau 52,9 persen rawan tinggi. Dan, 242 kabupaten dan kota atau 47,1 persen rawan sedang.
“Adapun tahapan sengketa pemilu terdapat 251 kabupaten dan kota atau 48,8 persen rawan tinggi dan 263 atau 51,2 persen kabupaten kota rawan sedang,” katanya.

Ketua Bawaslu, Abhan, mengatakan peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 bertujuan untuk mencapai pemilu yang berintegritas, akuntabel, dan berkualitas. Dia menyampaikan IKP 2019 merupakan pemetaan dan deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan kerawanan pemilu.

“Diharapkan terciptanya pemilu yang berintegritas,” kata Abhan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa 25 September 2018.

WAKTUNYA SERENTAK
Abhan tidak memungkiri pemilu tahun depan berbeda. Hal ini berkaitan dengan keserentakannya. Tentunya akan beragam penyelenggaraan dan partisipasi.

“2019 akan beragam, baik dari penyelenggaraan maupun partisipasi. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan,” katanya.
Abhan menilai IKP 2019 memiliki bobot yang lebih kuat, baik dari sisi metodologi, kerangka teori maupun analisis. IKP ini mendasarkan objek riset di 514 kabupaten dan kota tersebar di 34 provinsi.
“Bawaslu untuk membuat pemetaan melalui serangkaian tahapan riset, yang melibatkan berbagai pihak. Baik dari kementerian, lembaga, akademisi, peneliti, praktisi pemilu, kepolisian, dan media,” kata Abhan.(#)

Table of Contents