Jempolindo.id – Jember. Kisruhnya pelaksanaan tahapan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak Kabupaten Jember tahun 2019 ditanggapi Gabungan Advokat dan NGO Pegiat Kemasyarakat Jember dengan menggelar NgoPi (Ngobrol Pintar) di RM Lestari, Selasa (13/8/19).
Inisiator NgoPi Farid Wajdi menjelaskan, kisruhnya pilkades dpandang perlu menjadi perhatian bersama. Pasalnya dalam pelaksanaannya banyak hal yang perlu disikapi bersama, agar pelaksanaan pilkades 2019 tetap bisa berjalan dengan baik.
“Terlepas masih ada persoalan yang bisa dijadikan sebagai masukan bagi pelaksanaan pilkades tahun mendatang,” kata Farid.
NgoPi yang dihadiri sekitar 20 perwakilan Advokad, LSM dan Media menghasilkan kesepakatan :
- Membuka posko Pengaduan dan Call Center
- Jangan korbankan Panitia dan peserta pilkades dg aturan yg berubah-ubah
- Harus ada upaya hukum dan politik yang konkrit dengan semrawutnya pilkades serentak yg tidak serentak ini
- Pilkades serentak harus sukses meski kondisi yang banyak masalah terkait kekurangan anggaran APBDes
- Rencana perubahan RAB dipandang perlu diantisipasi
Praktisi Hukum Anasrul SH yang belakangan getol mencermati jalannya pelaksanaan tahapan pilkades serentak tahun 2019, menilai adanya regulasi pelaksanaan Pilkades yang tidak konsisten. Sehingga membingungkan, dan bukan tidak mungkin akan mengorbankan Panitia.
“Seperti aturan ketentuan anggaran sebenarnya sudah cukup jelas. Tapi terbitnya SK Bupati soal Pilkades, faktanya mencantumkan sumbangan dari pihak ketiga yang terkesan dipaksakan,” kata Anas.
Ketidak jelasan sumbangan pihak ketiga ditanggapi Sekretaris Pantia Pilkades Sukojember Holid Hasa MPdi. Aturan memungut saja tidak boleh apalagi membebani. kekurangan anggaran dlm pilkades menurut petunjuk kasi pemerintahan kec. jelbuk memberi jalan keluar dengan mekanisme musdes sehingga kekurangan anggaran bisa di musyawarahkan.
“Kekurangan anggaran sukojember 50 jt di bagi 5 calon,” jelas Holid.
Pegiat Sosial Slamet mengungkapkan adanya beberapa desa yang bisa menyelenggarakan pilkades gratis, tanpa memungut sumbangan dari pihak ketiga. Seperti Desa Sumber Lesung Kecamatan Ledokombo.
“Bisa gratis karena sejak dini sudah di siapkan dalam APBDes,” kata Slamet.
Sementara, Slamet juga mengakui ada desa yang kebingungan bersikap. Seperti yang terjadi di desa sumberbulus kecamatan Ledokombo. Kekurangan anggaran 20.400.000, karena ada peserta yang belum membayar.
“Panitia tidak lagi berani mendiskualifikasi calon kades yang belum membayar,” katanya.
Sedangkan di desa Sumberanget Kecamatan Ledokombo, kejadiannya berbeda, kekurangan anggaran sekitar 18jt per cakades, tetapi calon terpilih yang akan membayar
“Jelas dalam pelaksanaan pilkades serentak terdapat kebijakan anggaran dan Tatib berbeda,” tutur Slamet.
Praktisi Hukum Didik Muzani SH berpendapat setiap desa memang punya legitimasi sosiologis berbeda – beda, karenanya aturan mestinya dibuat fleksibel dengan menyesuaikan pada situasi yang berkembang.
Terbitnya aturan yg multitafsir diperlukan keberanian panitia melangkah agar pilkades tetep bisa dilaksanakan.
“Dinamika yang terjadi merupakan sebuah pelajaran berharga untuk pilkades dimasa yang akan datang,” kata Didik.
Calon Kades Sruni Nanang Kusminarno. SH, berpandangan desa punya dinamika yang secara sosial budaya antara desa satu dengan lainnya berbeda.
“Karenanya, aplikasi regulasi tidak hanya soal penegakan hukum tapi juga soal keadilan dan asas manfaat,” tegasnya.
Konflik hukum memang mungkin saja terjadi, karenanya Praktisi Hukum Gunawan SH berpedapat para pihak yang berkonflik bisa menempuh jalur yang dikehendaki.
“Silahkan saja menempuh jalur yang memungkinkan, ada 2 langkah kongkrit, mau jalur parlemen jalanan atau jalur parlemen meja hijau,” tandasnya. (*)