Oleh : Redianto Hisyam Farisi *)
Selama ini banyak diantara kita memandang dan menilai bahwa perempuan hanya sebagai obyek. Maka tidak mengherankan banyak perempuan di ruang publik mendapatkan intimidasi hingga eksploitasi dari orang yang tidak memiliki moral. Universitas Jember hari ini menjadi bahan pembicaraan yang hangat diantara masyarakat Kabupaten Jember hingga nasional. Bukan karena tentang prestasinya namun Universitas favorit di daerah tapal kuda ini menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual. Terduga pelaku pelecehan seksual berinisial HS diketahui berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Menjadi lebih menyakitkan, karena HS melakukan pelecehan terhadap Ruri ketika melaksanakan kegiatan Akademik.

Tabir kekerasan seksual dalam lingkungan akademik Universitas Jember ini menjadi kasus kesekian kalinya di lingkungan pendidikan, sayangnya dari kesekian kasus ini seolah berjalan tanpa arah yang jelas. Bahkan beberapa diantaranya berakhir dengan kata “damai”. Jalan “damai” dianggap alternatif penyelesaian yang paling elegan diantara opsi penyelesaihan lainnya. Dengan jalan “damai” semua nama dianggap bersih. Nama kampus bersih, nama korban bersih, nama pelaku juga bersih. Namun menurut saya, jalan perdamaian merupakan jalan yang sangat menyakitkan bagi kaum perempuan.
Dalam kasus kekerasan seksual di Universitas jember kabarnya pihak kampus telah melayangkan surat rekomendasi pemecatan secara tidak hormat terhadap terduga pelaku kekerasan seksual berinisial HS kepada Kemenristekdikti sejak bulan April yang lalu. Namun Universitas Jember tidak dapat memastikan kapan surat pemecatan itu keluar. Universitas jember memilih menunggu keputusan Kementerian terkait. Hal ini disampaikan langsung oleh Rektor Universitas Jember, Drs. Moh. Hasan, M. Sc., Ph.D. dalam audiensi dengan perwakilan aliansi mahasiswa peduli penghapusan kekerasan seksual yang turun jalan pada 2 Mei 2019 lalu. Hal ini membuat kecewa beberapa pihak dalam aliansi tersebut termasuk saya.


Saya menganggap pihak kampus bisa berbuat lebih, paling tidak, lebih proaktif berkomunikasi dengan pihak Kementrian terkait atas surat rekomedasi yang telah dikeluarkan. Hal itu menjadi penting sebagai bentuk keseriusan pihak kampus terhadap penyelesaian kasus yang sedang menimpa mahasiswinya. Namun kenyataanya pihak kampus lebih memilih jalan yang berbeda. Pernyataan ini semakin memperpanjang deretan kekurangan Universitas Jember dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Telah diketahui sebelumnya melalui pemberitaan Lembaga Pers Kampus (LPM) Ideas tertanggal 25 April 2019 bahwa kasus ini sudah telah terkuak sejak April 2018 lalu namun surat rekomendasi pemecatan baru dilayangkan ke Kementrian terkait bulan April 2019. Dalam hal ini membuat saya pesimis jika kasus pelecehan yang telah terjadi dapat diselesaikan dalam waktu dekat.
MENJAWAB UKURAN MORAL DAN ETIKA AKADEMIK
Sependek pengetahuan saya sebagai mahasiswa Universitas Jember Fakultas Ilmu Budaya kami dituntut untuk mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan Etika Akademik. Dalam mata kuliah ini kami diajarkan bagaimana azas kepantasan berperilaku di lingkungan kampus. Termasuk didalamnya mengajarkan tindak tanduk kami sebagai orang yang berpendidikan terhadap masyarakat yang lebih luas. Dari mata perkuliahan itu saya menyimpulkan bahwa civitas akademik harus menjadi agen perubahan di masyarakat dengan mengedepankan moralitas dan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Kasus Ruri menjadi ujian bagi Universitas Jember untuk menjawab ukuran moralitas dan etika akademik dalam lingkungan pendidikannya. Kasus pelecehan dalam ruang akademik yang terjadi di Universitas adalah sesuatu hal yang tidak dapat dimaafkan apalagi pelakunya berprofesi sebagai dosen. Dosen yang bertugas sebagai tenaga pengajar dan pendidik haruslah menjadi percontohan bagi mahasiswanya bukan malah menujukkan kebobrokan moralitas dan menabrak etika akademik yang wajib untuk dipatuhi.
Dosen yang menjadi predator seksual secara ideal harus diasingkan dari lingkaran akademik serta dihukum seberat mungkin. Hukuman secara administratif tidaklah cukup untuk membuat efek jera namun harus juga dibawa ke meja hijau untuk diadili sesuai hukum yang berlaku. Tuntutan ini harusnya mudah diberlakukan oleh lingkungan pendidikan yang katanya sebagai lingkungan yang sangat menjunjung tinggi moralitas dan etika. Peristiwa ini harus menjadi keprihatinan oleh semua pihak untuk mengawal kasus Ruri, termasuk juga oleh kaum Adam.
Kesadaran bahwa perempuan harus hadir di ruang publik harus dimiliki oleh semua orang. Akan menjadi percuma perjuangan kaum hawa untuk hadir di ruang publik jika kaum Adam masih memiliki pandangan perempuan hanya jadi obyek saja. Jika pandangan itu masih melekat dan berlaku maka selamanya kehadiran perempuan di ruang publik akan mengalami diskriminasi dan eksploitasi. Salah satu diantaranya yaitu kekerasan seksual.
Universitas Jember Sebagai Kampus Ramah Gender
Universitas Jember melalui kasus ini sebenarnya bisa mengambil langkah jitu untuk manarik simpati masyarakat. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu keterusterangan terhadap publik bahwa kasus pelecehan seksual sedang terjadi dalam wilayahnya dan mengusut tuntas kasus ini sampai pada akarnya. Lebih lanjut yaitu membuat regulasi yang tegas bahwa tidak ada ruang sedikitpun bagi predator seksual di lingkungan Universitas Jember. Tegas yang dimaksudkan adalah memecat pelakunya (atau sanksi semacamnya yang memberi efek jera) dan juga memberikan bantuan hukum terhadap korban agar pelaku mendapatkan hukuman yang diputuskan dalam pengadilan. Ketegasan tersebut menjadi jaminan perlindungan hukum bagi korban dari lembaga pendidikan yang hari ini masih banyak memilih bungkam karena tidak ada jaminan hukum ketika kasus yang menimpanya diangkat dapat diselesaikan.
Langkah yang paling nyata adalah membentuk sentra pengaduan dan perlindungan kekerasan seksual. Unit tersebut nantinya bisa berkolaborasi dengan pemerintah daerah ataupun pusat untuk rajin mensosialisasikan isu – isu sensitif tentang gender terhadap civitas akademik dan masyarakat secara luas. Dengan seperti itu akan semakin banyak orang yang memahami secara utuh bagaimana cara saling menghargai dalam perspektif gender. Lebih lanjut unit ini menjadi tempat konseling bagi para korban yang mengalami kekerasan seksual dengan harapan korban dapat memulihkan rasa traumanya dan dapat hidup normal seperti sebelumnya. Melalui unit ini pula kampanye penghapusan kekerasan seksual akan semakin menguat dan pada akhirnya cita – cita Universitas Jember menjadi kampus ramah gender dapat terwujud.
Saya rasa cara seperti itu menjadi jurus ampuh bagi Universitas Jember menghadirkan suasana kampus yang ramah gender. Sekaligus bentuk nyata dukungan gerakan perempuan hadir dalam ruang publik. Jika hal ini menjadi kenyataan dan diberlakukan secara tegas sangat memungkinkan Universitas Jember menjadi lembaga pendidikan percontohan bagi kampus lain yang mengalami kasus serupa. Harapan ini semoga tidak hanya menjadi harapan semu, yang jelas semua ini tergantung pemangku jabatan di Universitas Jember apakah dapat menghadirkan suasana pendidikan yang ramah gender atau tidak.
*)Penulis adalah Direktur Utama Lembaga Pers Mahasiswa Islam Cabang Jember.