KPK, Selamat Tinggal dan Selamat Jalan Lembaga Independen

Loading

Oleh : Rizal abdillah *)

Dewan Perwakilan Rakyat akhir-akhir ini  sibuk   merevisi undang-undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun secara kewenangan memang itu dijamin  konstitusi, namun hasrat DPRRI itu membuat masyarakat geram.

Rizaldy
Aktivis Academus Community Rizal Abdillah saat aksi selamat KPK

Upaya pelemahan KPK pada semangat revisi undang-undang tersebut cukup tergambar pada beberapa pasalnya. Pelemahan terhadap Lembaga independent ini dilakukan secara bertubi-tubi. Jika kita ingat adanya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  yang mencoba memasukkan pasal korupsi pada substansinya. Padahal korupsi telah diatur secara special pada undang-undang khusus.

Tak hanya itu, Ketua KPK pada hari ini berasal dari Kapolda Sumatra Selatan yang mempunyai rekam jejak dugaan pelanggaran etik.

Independesi KPK sedang dalam bahaya. Aspirasi masyarakat yang digalang dalam bentuk petisi, aksi solidaritas dan pernyataan sikap tidak mengubah pendirian perwakilan rakyat.

Konsep demokrasi keterwakilan yang artinya aspirasi politik rakyat diwakilkan kepada Dewan perwakilan Rakyat. Konsekuensi logis nya adalah DPR harus mendengarkan suara rakyatnya namun pada kenyataannya adalah tidak. Bahkan, Presiden telah mengirimkan Surat Presiden yang artinya mengirimkan delegasi dari pemerintah untuk membahas revisi.

Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi

Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi ini lahir dengan napas pemberantasan korupsi. Trauma rakyat terhadap kondisi orde baru karena maraknya KKN (korupsi, kolusi dan Nepotisme) menyebabkan penghapusan terhadap KKN   yang wajib dibenahi.

Pada era Abdurrahman Wahid ada beberapa Lembaga yang dibentuk dengan semangat memberantas korupsi yaitu Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Sedangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi  lahir di era kepemimpiman Megawati dengan landasan Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dengan lahirnya payung hukum yang jelas atas berdirinya Lembaga ini tentunya menunjukkan keseriusan rezim dalam menanggulangi korupsi. Harapan besarnya adalah korupsi benar-benar dapat dihapuskan dari bumi Indonesia.

Semangat independensi dan bebas dari intervensi kekuasaan dengan tegas telah dicantumkan pada payung hukumnya. Jelas pada pasal 3 Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi :
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan  tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”

Hal ini yang harusnya dijaga dan dipahami oleh institusi pemerintahan lainnya. Bahwa semangat berdirinya Lembaga ini adalah tidak lepas dari trauma sejarah dan cita-cita negara.  Karena itu independensi dan bebas dari intervensi harus tetap dirawat demi terselenggaranya Indonesia bebas korupsi.

Revisi Undang-Undang KPK  Cacat Formil

Sebagai negara hukum sudah sepatutnya Indonesia patuh terhadap hukum. Pendapat R Soepomo tentang negara hukum adalah negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat perlengkapan negara. Artinya, negara tidak diperkenankan melakukan paksaan terhadap rancangan produk hukum.

Dalam Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ada hal yang cukup mengganjal terjadi. Jika kita lihat pada data prolegnas (program legislasi nasional) prioritas, Undang-undang ini tidak tercantum menjadi  prioritas.

Hal ini dapat kita lihat pada data prolegnas prioritas ada 55 (lima puluh lima) Rancangan Undang-Undang yang di prioritaskan namun tidak ada tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jika kita lihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan jelas pada pasal 45 ayat (1) suatu RUU harus disusun melalui prolegnas, baik itu usulan Presiden ataupun Dewan Perwakilan Rakyat.

Artinya pada tahap ini tidak ada hal yang membenarkan DPR melakukan revisi diluar prolegnas. Meskipun ada pada pasal 23 pengecualian dalam keadaan tertentu membolehkan DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang diluar prolegnas, namun klasifikasi keadaan tertentu dijelaskan bahwa keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional.

Kita tidak melihat pengecualian tersebut dapat menjadi alasan pembenar sehingga RUU KPK dapat dibahas.

Pendapat Prof Mahfud MD bahwa boleh DPR membahas RUU diluar prolegnas prioritas. Namun pembahasan  diperbolehkan jika :

  • Pertama, ada PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang harus segera disahkan oleh Undang-undang.
  • Kedua, Ratifikasi perjanjian internasional  harus melalui proses pengundangan untuk dapat berlaku di Indonesia,
  • Ketiga adalah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebabkan adanya kekosongan hukum, atau memerintahkan pembentukan sebuah undang-undang.
  • Keempat, keadaan genting lainnya yang hanya dapat diselesaikan melalui undang-undang. Jika kita lihat adanya revisi UU KPK ini tidak sama sekali masuk pada klasifikasi tersebut.

Pada pasal 96 Undang-Undang 12 Tahun 2011  dengan tegas menjamin partisipasi masyarakat. Dalam pasal tersebut  masyarakat mempunyai hak  memberi masukan secara tertulis ataupun lisan dalam proses pembentukkan peraturan.

Ketentuan itu   jelas diabaikan  Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kita lihat faktanya adalah banyak terjadi penolakan terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Seharusnya sebagai representasi dari rakyat mereka membuka ruang untuk itu dan mendengar aspirasi rakyat.

Substansi Perubahan Undang-Undang yang Melemahkan KPK

Revisi undang-undang komisi pemberantasan korupsi jelas memperlemah KPK sebagai Lembaga independent pemberantas korupsi. Karena pada ketentuan umum secara definisi KPK dimasukkan pada Lembaga pemerintah pusat yaitu eksekutif.

Jadi KPK berada dibawah Presiden dan Wakil Presiden. Pelemahan lainnya adalah sebagai berikut :

  • Keberadaan Dewan Pengawas sebagai wakil dari DPR dan Pemerintah
    Pada pasal 12B, KPK harus meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam melaksanakan penyadapan. Tidak hanya itu, proses penggeledahan juga haruslah melalui persetujuan dewan tersebut. Sedangkan komposisi dewan pengawas adalah usulan dari presiden yang nantinya dipilih dan dibentuk oleh DPR. Pemberian izin penyadapan diberikan waktu maksimal 3 bulan dan diperpanjang satu kali. Artinya KPK terbatas waktu dalam melakukan penyadapan. Pada mekanisme pemberian izin diberikan tenggang waktu 1×24 jam.
  • Tidak ada Penyidik Independen
    Komisi Pemberantasan Korupsi KPK kehilangan wewenangnya dalam merekrut penyidik independent. Karena hanya boleh dari 3 lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan Agung dan ASN. Sedangkan pada KUHAP pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa penyidik adalah kepolisian atau pns yang diberikan wewenang khusus. Sedangkan pada kriteria penyidik yang ada pada pasal 45A menyebutkan bahwa minimal berpengalaman 2 tahun. Artinya kepolisian berpeluang besar untuk menjadi penyidik dan kecil presentase PNS yang diperintahkan oleh undang-undang. Sedangkan KPK selama ini, menyeleksi sendiri penyidiknya sesuai kompetensi.
  • Penyelidikan hanya boleh dari kepolisian
    Pada pasal 43 dan 43(a) wewenang dalam merekrut penyelidik tidak ditemukan. Penyelidikan selama ini dilakukan oleh KPK dengan merekrut nya secara independent. Artinya dengan hanya boleh kepolisian ini membatasi wewenang independensi KPK. Padahal kejahatan korupsi tidak hanya terjadi di bidang hukum oleh karena itu penyelidikan diperlukan oleh orang yang ahli pada bidangnya.
  • Kordinasi Penuntutan harus melalui Kejaksaan Agung
    Pada pasal 12a, sangat berpotensi menghambat KPK dalam melaksanakan penuntutan. Karena hal tersebut sangat erat kaitanya dengan tugas wewenang kejaksaan. Penuntutan secara taktis tidak dapat dilakukan oleh KPK. Penuntutan harus dilakukan melalui kordinasi dengan kejakaan agung. Sedangkan komposisi yang ada KPK sudah terdapat unsur kejaksaan Agung. Hal ini berpotensi menghambat birokrasi saja.
  • Penaganan kasus yang meresahkan Publik tidak lagi menjadi kewenangan KPK
    Komisi Pemberantasan Korupsi pada hari ini dibatasi terhadap kerugian negara minimal Rp 1 milyar. Diksi penanganan kasus yang meresahkan public ditiadakan. Oleh karena itu KPK hanya diperbolehkan menangani kasus yang berada pada nominal tersebut. Hal ini memperlemah KPK dalam memberantas korupsi disemua bidang, karena telah tegas dibatasi nominal angka.
  • Pembatasan waktu terhadap penyelesaian Kasus
    KPK berwenang mengeluarkan (Surat Penghentian Penyidikan Perkara)SP3 dengan batas waktu satu tahun. Sedangkan kompleksitas kasus korupsi yang ditangani KPK berbeda-beda. Dengan pemberian waktu yang relative pendek hal tersebut dapat membuat KPK melemah. Akses untuk proses pengumpulan data, alat bukti untuk menyelesaikan perkara tidak cukup waktu jika dibatasi hanya satu tahun. Dengan adanya kewenangan SP3 bahayanya adalah kasus tersebut dapat diberhentikan ketika prosesnya lama. Oleh karena itu waktu 1 tahun tidak layak diberikan kepada KPK  dalam pemberian SP3.Namun pemberian kewenangan ini patut kita pertimbangkan karena melihat fakta beberapa kasus yang memang mandek.

Wajah Baru Pimpinan KPK

Beberapa hari yang lalu telah terpilih ketua KPK yang baru. Firli Bahuri adalah nama Ketua baru Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan membawa Lembaga ini entah kearah mana. Dengan latar belakang perwira aktif yang pada hari ini sedang menjabat juga sebagai Kapolda Sumatra Selatan ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu beliau akan mengundurkan diri dari jabatannya sekarang atau akan dinonaktifkan.

Catatan yang ada yaitu Firli pernah bertemu TGB ketika KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont melibatkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.  Hal tersebut terjadi ketika Firli menjabat Deputi Penindakkan KPK. Tidak hanya itu pelanggaran etik yang juga pernah dilakukan pertemuan dengan ketua umum Badan Pemeriksa Keuangan yaitu Baharullah. Dugaan tersebut ditanggapi oleh wakil ketua KPK yaitu Saut Situmorang bahwa dari hasil pemeriksaan Direktorat pengawasan Internal bahwa benar adanya dugaan pelanggaran berat.

Kita ketahui pada pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK bahwa syarat pimpinan KPK tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik. Entah bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengartikan norma yang ada tersebut sehingga hal-hal etik yang telah menjadi temuan diabaikan.

Salah satu Lembaga produktif di Indonesia sedang mengalami pelemahan. Pimpinan tertinggi negara ini Jokowidodo telah melayangkan Surat Presiden terkait pembahasan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pesan singkat saya kepada KPK, memberantaslah setelah ini kamu akan diberantas.

*) Punulis adalah Aktivis Academus Connunity

Table of Contents