Jempol – Jember. Apa definisi perempuan dalam KBBI? Fungsi alat kelamin, Jalang ketika berbicara tentang perempuan sedangkan makna laki-laki memiliki perbedaan entitas subjek. Mengapa banyak korban tidak melapor kepada pihak yang berwajib ?. Pernyataan satir itu disampaikan aktifis KPI Jawa Timur Saras Dumasari, dalam acara Diskusi Publik bertajuk “Kekerasan Perempuan di Lingkungan Kampus” yang digelar LAPMI Cabang Jember di Gedung Yabina, Senin (20/5/19).

Kasus yang menimpa Ruri (nama samaran) memantik perhatian pegiat peduli kesetaraan gender untuk mengangkatnya sebagai wujud perbaikan atas perlakuan perempuan yang lebih beradab. Ruri adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember semester mendapat perlakuan pelecehan seksual dari oknum dosen.
Kekerasan Terhadap Perempuan Puncak Dari Sistem Patriarki
Dihadapan peserta skitar 100 orang, terdiri dari elemen mahasiswa HMI, GMNI, PMII, aliansi penghapusan kekerasan seksual ataupun mahasiswa umum lainnya. Saras berpendapat, kekerasan seksual yang dialami mahasiswa berdampak sangat besar terhadap kegiatan perkuliahan yang harus ditempuh mahasiswi. Sistem penjaminan mutu tidak menjamin perlindungan kekerasan seksual.
“Dosen memiliki kode etik, namun dalam perkembangannya Budaya patriarki menjadi salah satu masalah penting dan kendala. Kasus kekerasan seksual dalam kampus baik verbal dan non-verbal. Budaya pemerkosaan cenderung dari hal yang sederhana, salah satunya mendeskritkan perempuan. Seorang korban harus memiliki kepercayaan diri untuk menyelesaikan masalah dan langsung memberikan tanggapan yang positif untuk membantu penyelesaian masalah,” ujar Saras.
Saras menyampaikan terjadinya kekerasan seksual merupakan puncak dari sistem patriarki. Dalam budaya patriarki ini memiliki resiko besar atas terjadinya diskriminasi berbasis gender. Perempuan selalu menjadi obyek di ruang publik. Akibatnya adalah mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, salah satunya adalah tindak pelecehan seksual, baik yang berbentuk verbal maupun fisik.
“Pada intinya tindakan kekerasan seksual bukan terletak dari gaya busana yang dikenakan,” tandas Saras.
Relasi Kekuasaan Terhadap Kekerasan Seksual
Sementara aktifis Rumah Perempuan yang juga founder Jember Bergerak Ayhoen Sapta lebih menyoroti relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan seksual.
Menurut Ayhoen semua korban kekerasan seksual diintimidasi dengan berbagai cara. Relasi kekuasaan memiliki kepentingan dan hierarkis seperti dosen dan mahasiswanya. Dosen memiliki keuntungan karena secara hierarkis menjadi lebih superior dari mahasiswa yang lebih inferior.
“Studi kasus pacaran, kekerasan baik verbal dan non-verbal dengan cara dipukul dan lainnya. Perempuan memilih untuk bercerai karena kekerasan seksual. Siapapun bisa jadi pelaku kekerasan sekaligus korban kekerasan. Perempuan cantik di Indonesia dibentuk oleh media dan dikonstruksi oleh budaya. Perempuan cantik sangat berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Cantik boleh, bodoh jangan,” tegas Ayhoen.
Testimoni Indi
Aktifis Sosial Politik Jember Indi Naidha mengungkapkan testimoni kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Pengakuan Indhi memperkuat pendapat dua nara sumber sebelumnya. Sejak kecil sudah merasa sering menerima perlakuan yang bisa dikatagorikan sebagai kekerasan seksual tehadap anak, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Kata Indi, ketika menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Banyuwangi, dirinya pernah merasakan tindak pelecehan seksual dari karyawan universitas tempat dia kuliah.
“ Kejadian itu membuat saya mengalami trauma secara psikologis, untungnya saya punya teman yang bisa menjadi tempat berbagi,” katanya.
Menurut Indi, ruang publik juga telah menjadi ruang bebas bagi tindak kekerasan terhadap perempuan. Dalam pergaulan keseharian tak jarang diring mendapat tindak pelecehan seksual, baik berupa verbal ataupun teks.
“Kekerasan seksual dapat dilihat dalam diskriminasi di ruang publik yang berbasis gender.” Tegasnya.
Rekomendasi Diskusi
Direktur Lapmi Jember Redianto Hisyam Farisi, yang bertindak selaku ketua panitia mengatakan, diskusi publik yang digelarnya merupakan bagian dari respon atas keresahan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Salah satunya kasus yang sedang mencuat dan hangat dibicarakan terjadi di Universitas Jember.
“Melalui kegiatan ini diharapkan menjadi edukasi bagi masyarakat intelektual bahwa kasus kekerasan seksual perlu mendapatkan perhatian serius. Sudah terlalu banyak pembiaran kasus serupa di berbagai institusi, kami tidak ingin hal itu juga terjadi di Jember. Maka kami merasa perlu untuk melaksanakan kegiatan tersebut.” Tegas Redi.
Perwakilan Aliansi Penghapusan Kekerasan Seksual, Trisna menyampaika n perkembangan kasus Ruri. Bahwa UNEJ dan aliansi sedang intens berkomunikasi untuk membuat regulasi terkait kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
“Kedepan, harapannya akan ada regulasi khusus terkait kekerasan seksual di lingkungan kampus. Bentuknya bisa berupa keputusan rektor.” Pungkasnya. (*)