Jempolindo.id- Namanya mungkin tak sepopuler Nurcholis Madjid, yang sosoknya tak bisa dilepaskan dari Himpunan Mahasiswa Islam. Namun peran sosok satu ini tak bisa dipungkiri. Tanpa ada Lafran Pane, tak akan pernah ada HMI.
HMI, didirikan oleh beberapa mahasiswa di Yogyakarta, tepatnya di Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII), 5 Februari 1947. Ketika itu keadaan politik Indonesia masih ditandai oleh semangat rakyat melalui revolusi, untuk memenangkan kemerdekaan nasional dari kekuasaan Belanda. Di antara mereka yang terkemuka ialah Lafran Pane, seorang mahasiswa tahun pertama. Ia dilahirkan di Sumatera. Terkenal sebagai seorang muda yang ulet, ia kemudian memasuki sekolah Muhammadiyah.
Pendirian organisasi itu berlangsung, di hari kuliah. Mata kuliah hari itu Tafsir Quran dengan pengajar Prof. Husein Yahya. Dan Lafran Pane sebagai ‘deklarator’ dipilih ketua pertama HMI. Para pendiri HMI lainnya yang hadir dalam rapat itu Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan), Suwali, Yusdi Ghozali; tokoh utama pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII), Mansyur, Siti Zainah (istri Dahlan Husein), Muhammad Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudidan Bidron Hadi menjad pengurus HMI pertama ketika itu.
Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922, di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilo meter ke arah utara dari “kota salak” Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Wafat pada tanggal 25 Januari 1991.
Hal yang saya baru tahun ternyata hari kelahiran HMI dan Lafran Pane, sama.
HMI pernah mengalami masa sulit di masa Orba. Presiden Soekarno dalam satu kesempatan menyampaikan niatnya untuk membubarkan HMI kepada Menteri Agama Saifuddin Zuhri (NU) ketika itu. Namun, berkat pembelaan dari Menteri Agama ini yang mempertaruhkan jabatannya HMI bisa selamat dari pembubaran.
Tuntutan pembubaran HMI juga telah digaungkan sebelumnya oleh DN. Aidit, Ketua PKI. Dalam sambutan Kongres CGMI (organisasi sayap PKI) di Istora Senayan, 29 September 1965, DN Aidit menyerukan agar para aktivis CGMI lebih baik mengenakan sarung jika tak mampu membubarkan HMI.
HMI kini telah menjadi organisasi mahasiswa terbesar dengan segala dinamikanya. Terdapat 2 kepengurusan HMI yang di kenal sebagai HMI Dipo (karena markasnya di Jalan, Diponegoro, Jakarta) dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang tak mau tunduk dengan hegemoni orba ketika di tahun 80an semua organisasi keagamaan dipaksa hanya menjadikan Pancasila sebagai asasnya.
Sebagai organisasi mahasiswa, HMI memiliki banyak alumni yang tersebar dalam berbagai sektor peran. Walau banyak dikenal alumninya sebagai politisi, pejabat negara (Wapres (JK), Menteri/Ketua/Kepala Lembaga Non Kementerian).
Tak kurang HMI alumni HMI juga yang dikenal sebagai akademisi/pemikir seperti Cak Nur, Deliar Noor, Azyumardi Azra, dll. Di kalangan aktifis kita mengenal Munir, AE Priyono, dll. Termasuk lainnya yang memilih jalan menjadi pengusaha dan kyai.
Walau HMI tidak dapat disamakan dengan gerakan NU dan Muhammadiyah, karena HMI tidak memiliki kultur praktik keagamaan macam ke 2 Ormas besar itu. HMI dapat dikatakan rumah bersama umat Islam, karena di HMI NU, Muhammadiyah, Persis, termasuk NII bisa berhimpun. Bahkan HMI meng’hibah’kan kadernya Mahbub Djunaidi, pendiri PMII, salah seorang kader utama di lingkaran pucuk pimpinan nasional HMI.
Salah satu hal yang menarik dari para alumninya ialah kekuatan sentimen ke HMI-an khususnya dalam persaingan menduduki jabatan pada ruang publik yang ‘terbuka.’ Alumni HMI cenderung solid memenangkan ‘jago’nya. Inilah yang kemudian oleh Gus Dur disebut HMI Connection. Hal itu juga mungkin yang membuat sentimen/euphoria terpilihnya Yahya Staquf sebagai Ketua NU disambut meriah kalangan HMI. Karena Yahya dikenal sebagai aktifis HMI kala mahasiswanya.
Di HMI, katanya, anda tak akan pernah merasa tua, karena walau beda usai 30 tahunan dengan juniornya, maka para seniornya tetap dipanggil dengan sebutan Abang atau Kakak (perempuan). Panggilan ini mungkin bagian dari semangat kekeluargaan dikalangan HMI, bahkan menjadi wujud egalitarian dalam kulturnya. Karena perbedaan pendapat antara dikalangan HMI termasuk antara junior dan seniornya tak pernah jadi barang ‘haram.’
Lafran Pane telah lama tiada, namun kerinduan kita terhadap lahirnya sosok mahasiswa sebagai intelektual muda yang progresif tak pernah padam.
Siapa kamu mahasiswa semester pertama yang akan menjadi Lafran Pane selanjutnya?. (*)