http://jempolindo.id– Jember. Melalui perjuangan panjang ahirnya SK Menteri ESDM Tentang Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) Blok Silo ahirnya dicabut dengan diterbitkannya SK Menteri No 23/K/30/MEM/2019 tertanggal 6 Februari 2019.

No 23/K/30/MEM/2019
Atas terbitnya pencabutan SK Menteri no 1802 itu sempat mencuat opini bahwa permasalahan penolakan Tambang Silo telah ditunggangi oleh kepentingan politik. Apalagi memang mendekati Pemilu 2019, semua sepertinya punya kepentingan meraih suara.
Terlebih saat hadirnya Komisi VII DPRRI, opini itu kian menguat seolah kehadirannya hanya hendak menjadi pahlawan kesiangan.


Entah sekedar dugaan atau mendapatkan masukan dari pihak tertentu Bupati Jember dr Faida MMR, sebagaimana dilansir Media Online Jember Times, menengarai bahwa pencabutan SK Menteri ESDM Tentang Pertambangan Blok Silo telah dimanfaatkan banyak pihak.
“SK menteri ESDM sudah turun dan masyarakat Silo sudah tenang. Jangan diusik lagi dan jangan membuat gaduh di Jember. Sekali lagi, keberhasilan ini merupakan hasil dari kerja keras masyarakat Silo dengan Pemkab Jember. Semua ini berkat dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jadi, jangan dipilih caleg yang mendukung adanya tambang,” tandas perempuan pertama yang menjadi bupati di Jember ini kepada media.
Pernyataan Bupati Faida itu tentu saja sedikit mengagetkan banyak pihak, yang tersamar mengarah seolah menuding kedatangan Komisi VII DPRRI, hanya akan mengacaukan suasana.
Menanggapi tudingan itu, Anggota DPRRI dari partai Gerindra, Bambang Hariyadi melalui status Facebook nya, berkomentar bahwa tudingan itu tidak pada tempatnya.


Bambang Hariyadi
Jika kedatangan Komisi VII DPRRI dinilai sebagai penumpang gelap, hanya datang saat perjuangan mendekati titik finish, maka penilaian itu barangkali terlalu berlebihan. Meski sah saja mewaspadai, apalagi mendekati Pemilu 2019, terkadang semua aktifitas dimaknai politis.
“Kalau ada yg menyebut komisi VII pahlawan kesiangan itu tidak tepat, Kami memang datang ke silo “siang” tapi bukan sebagai pahlawan. Kami hanya menjalankan tugas sesuai amanat undang undang. Dan yang patut disebut pahlawan adalah rakyat silo. Karena mereka yang berjuang”, kata Bambang sambil berseloroh.
Tak terkecuali Ketua Format Kustiono Musri turut berpendapat bahwa keberhasilan pencabutan itu adalah berkat peran semua pihak, utamanya MASYARAKAT SILO, termasuk Kapolres Jember beserta jajarannya, serta upaya Pemkab Jember. Terahir sebagai pemuncak adalah DPR RI Komisi 7.


“Semuanya demi masyarakat Silo, ini keberhasilan bersama, ” tegas Kustiono.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2516295/original/048785500_1544056744-IMG-20181205-WA0074.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2516295/original/048785500_1544056744-IMG-20181205-WA0074.jpg)
Menurut Kustiono ada peran tokoh masyarakat yang tak bisa diabaikan, seperti keberadaan Ra Farid, Adil Satria bersama FKNSDA dan PMII, juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya. Sebagai kelompok penekan yang tak kenal lelah melakukan aksi tolak tambang.


Jika memang harus dipaksakan mencari yang paling pahlwan, menurut Kustiono, maka Warga Silo sudah pasti adalah pahlawan paling pahlawan, jika saja tak ada penolakan serius dari masyarakat, bisa dipastikan semua agenda dan tahapan pertambangan di Silo akan berjalan sesuai skenario.
“Urusan sebesar apapun, saat masyarakat mendiamkannya, sama saja dengan mengamini, dan sebaliknya, urusan sekecil apapun saat masyarakat menolak maka dipastikan sulit dijalankan”, Kata Kustiono.
Sebagian besar warga adalah orang yang masih buta gerakan, tidak paham bagaimana harus memperjuangkan aspirasinya, maka peranan aktivis menjadi penting sebagai orang yang mengendalikan isu, memobilisir masa, dan melakukan lobi lobi agar target gerakan tercapai.
Begitu pula, Gerakan semasive apapun jika pemerintah daerah, baik eksekutif dan legislatifnya cuek dan mendiamkan, maka juga dipastikan tak akan berarti apa apa, kecuali hanya menciptakan kegaduhan.
JAWABAN RA FARID MENGEJUTKAN
Dikonfirmasi melalui WhatsApp, Ra Farid, salah satu tokoh dibalik perjuangan tolak tambang menjelaskan kronologis kedatangan KOMISI VII DPRRI. Jawaban Ra Farid sengaja ditulis sesuai aslinya dengan beberapa editing untuk kenyaman membaca.
Ra Farid
“Wa alaikumussalam.
Setelah DPR RI komisi 7 turun dari pesawat transit di ruangan, kumpul juga bapak kapolres, pejabat ESDM JATIM, pejabat lingkungan hidup dan saya, ustad jufri. Setelah bapak kapolres memberi tau keadaan silo, pejabat ESDM memberi hasil keputusan hasil Sidang nonlitigasi, langsung di foto dan di kirim ke bapak Dirjen dan mentri esdm, setelah di kirim langsung di telpon dan membacakan hasil keputusan.
Ketua Komisi VII DPRRI H Gus Irawan Pasaribu SE Ak MM CA langsung minta tolong untuk segera di cabut, bpk Dirjen masih menunggu surat dari Gubenur, tapi beliau minta tidak usah menunggu gubenur karena sudah cacat formal tolong sampaikan sama menteri esdm, telpon tersebut di loadspeaker .
Jadi menurut saya DPRRI komisi 7 sanget berjasa dalam pencabutan izin tambang
KILAS BALIK PERJUANGAN TOLAK TAMBANG
Sekedar menyegarkan ingatan, mari kita coba runut kapan bermulanya aksi penolakan tambang di Kabupaten Jember?. Tentu bagi aktivis tolak tambang masih terekam dengan baik, sekitar tahun 2000 an, era pemerintahan Bupati Drs Syamsul Hadi Siswoyo Msi, rencana tambang sudah menjadi isu bahasan yang memanas.
Kala itu, PT Jember Metal menawarkan kompensasi hingga 50 trilyun untuk kepentingan PAD Kabupaten Jember. Tawaran itu direspon DPRD Jember sebagai sebuah alternatif bagi sumber pendapatan daerah, sehingga DPRD Jember memandang perlu untuk membentuk Pansus Tambang.
Teringat saat mantan wakil Ketua DPRD Jember Almarhum Drs Mahmud Sardjujono memaparkan segala kemungkinan yang bisa didapat dari kegiatan pertambangan di Kabupaten Jember, baik dari sisi positif maupun negatifnya.
Jika hanya berpikir dari sisi ekonomi, maka tawaran Yusuf Meruch sebagai pemilik PT Jember Metal sudah barang tentu sangat menggiurkan. Bukan hanya pemerintahan Kabupaten Jember yang PAD akan meningkat fantastis dari perolehan kegiatan tambang, tetapi masyarakat sekitar tambang juga akan diuntungkan.
Pansus Tambang DPRD Jember kala itu, telah melakukan studi banding ke berbagai daerah yang melaksanakan pertambangan. Meski hasilnya belum di rilis, tetapi beragam pendapat mengarah bahwa kegiatan akan menguntungkan secara ekonomis.
Tentu saja, rencana itu lalu mendapat perlawanan keras dari para aktivis tolak tambang, yang mengajukan argumen bahwa ancaman lingkungan justru akan menciptakan kerugian yang nilai tidak bisa diukur dengan uang.
Melalui beragam media publikasi, para aktivis berhasil menyakinkan segenap pihak bahwa bahaya hujan merkuri akan sangat merugikan masyarakat Kabupaten Jember. Jika pertambangan tetap dipaksakan, wilayah terdampak tambang bukan hanya sekitar aktivitas pertambangan, melainkan seluruh masyarakat Kabupaten Jember akan mengalami nasib buruk, bahkan sampai ke anak cucu mereka.


Warga sekitar tambang bisa dipastikan tak memahami dengan pasti untung ruginya pertambangan. Aktivis Tolak Tambang tak kenal lelah terus menekan agar pemerintah daerah tidak melanjutkan Rencana tambang, hingga DPRD Kabupaten Jember menghentikan pembahasan tambang.
Selama dua periode era pemerintahan Bupati MZA Jalal, isu eksplorasi wilayah tambang tidak lagi mengemuka. Beberapa kasuistik, justru didapatkan kegiatan tambang illegal, diwilayah Kecamatan Silo dan Ambulu, yang pelakunya sudah banyak yang terjerat pidana.
Ketika rezim Bupati Jember dr Faida MMR, isu tambang salah satu yang dijadikan bergaining politik oleh para pendukungnya. Tak dapat dipungkiri, bahwa kemenangan Faida dalam Pilkada 2015 melawan Sugiarto, adalah komitmennya menolak tambang.
Mulai dari sinilah, bisa dipahami tidak ada yang paling pahlawan dalam persoalan penolakan tambang Blok Silo. Faida sebagai bupati sudah seharusmyalah membayar komitmen politiknya.
Begitupun, anggota DPRD Jember dan Komisi VII DPRRI juga niscaya harus memperjuangkannya konstituennya sebagai sebuah kewajiban politik.
KALAU SAJA BUPATI FAIDA TIDAK MANGKIR
Seperti diketahui, persoalan tambang ini muncul sejak tahun 2015. Upaya perjuangan masyarakat juga dimulai setelah adanya usulan Pemerintah Jawa Timur melalui surat kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur Nomor 545/981/119.2/2016 tertanggal 29 Februari 2016 perihal usulan penetapan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam.
Pada tahapan penetapan Surat Kepala Dinas ESDM Propinsi Jawa Timur itu sayangnya DPRD Jember bungkam seribu bahasa. Padahal seharusnya pimpinan DPRD Jember dapat menjelaskan tahapan paling krusial itu, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang liar.
DetikNews edisi Senin 9 Mei 2016, melansir tentang mangkirnya Faida untuk yang keempat kalinya atas undangan Pansus Tambang DPRD Propinsi Jawa Timur seperti diungkapkan Ketua Pansus Tambang DPRD Jatim Ahmad Hadinudin.
“Iya Bupati Jember tidak hadir. Padahal bupati lainnya seperti Gresik hadir,” ucap Hadi, Senin (9/5/2016).
Terkait dengan alasan absennya Bupati, Hadi mendapat konfirmasi bahwa Faida sedang rapat membahas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jember.
Atas ketidak hadiran Bupati Jember dalam Pansus Tambang itu barangkali menjadi penguat alasan Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk menerbitkan surat yang menjadi landasan terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 1802 K/30/MEM/2018 tentang WIUP dan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) periode 2018.
Munculnya kepmen itu, memicu kuatnya penolakan masyarakat Silo dan pemerintah daerah satu suara menolak Silo sebagai wilayah tambang.
Bupati pun bergerak cepat dengan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dan pada 20 September 2018, Bupati Faida menemui langsung Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk menyerahkan surat keberatan atas terbitnya kepmen tersebut.
Lebih lanjut Bupati Faida secara maksimal mengambil langkah menggugat sengketa perundang-undangan melalui jalur non-litigasi ke Kementerian Hukum dan HAM. Pada 4 Desember 2018 sidang perdana digelar dengan dilanjutkan sidang kedua pada 9 Januari 2019 yang menghasilkan kesepakatan mencabut kepmen ESDM tersebut.
“Intinya keputusan menteri atas penetapan Silo sebagai kawasan pertambangan emas bisa dibatalkan karena adanya surat keberatan yang kami kirim atas dasar keberatan masyarakat Silo yang tidak menghendaki adanya tambang emas Silo,” ujar Faida kepada Media. (*)