Seharian bersama Arif Wibowo, Ekspedisi Jember Ideas ke Jakarta (3)

Loading

Jakarta – Jempol. Belajar dari sosok  Arif Wibowo tentu saja tak cukup hanya dalam waktu sehari. Terlalu dalam lautan pengalaman yang dijalaninya.

Hampir sehari penuh, kami manfaatkan waktu sebisanya untuk berbincang bersama Anggota DPRRI  dari PDIP yang berangkat dari Dapil Jember Lumajang itu.

Dima Akhyar saat bersama Arif Wibowo

Sekalian, mumpung bersamaan dengan kehadiran perwakilan masyarakat yang mengatasnamakan Gerakan Reformasi Jember (GRJ). Para aktivis itu kabarnya hendak menyampaikan aspirasi terkait dengan permasalahan kepemimpinan Bupati Faida. Selasa (11/02/2020).

Agus Kecap memandu kami blusukan keruang Fraksi PDI Perjuangan, hingga segala sesuatunya berjalan lancar.
Sambil menunggu kedatangan Mas Arif, kami menikmati suasana ruangan.

Sejenak kemudian, Mas Arif sudah datang. Berbincang sebentar, lalu kami segera beranjak menuju ruang Rapat Dengar Pendapat di Gedung DPRRI.

Sambil berjalan cepat Mas Arif menyapa semua orang yang berjumpa.

“Ini bawa pasukan dari Jember,” katanya berseloroh.

Selama RDP berlangsung kami hanya mendengarkan penyampaian aspirasi yang diwakili Kustiono Musri.

Usai RDP  kami diajak masuk ke ruang Komisi 2 tempat mas Arif berinteraksi dengan partai lainnya dalam satu komisi.

Sebentar saja, sekedar mengenal ruangan, kami beranjak kembali ke ruangan pribadi mas Arif untuk menikmati hidangan makan siang.

Sungguh tak ada yang serius kami perbincangkan, kecuali sekedar saling bercanda. Usai makan siang, kami segera bergegas menuju Kantor DPP PDI Perjuangan.

Saat di kantor DPP PDIP kami punya lebih banyak waktu mendengarkan ungkapan Mas Arif yang apa adanya.

“Golekno aku tanah nang Jember Gus, aku pingin mati nang Jember,” pembicaraan lebih banyak diarahkan kepada Agus Kecap.

“Yo engkuk kalau ada tak hubungi sampean,” jawab Agus Kecap.

Perbincangan diantara kami mengalir  saja, hampir tanpa sekat. Saling gojlok satu sama lain.

Suasana sejenak terdiam saat mas Arif  mulai bercerita kisah hidupnya.

“Opo maneh sing digoleki nang urip iki, kabeh wis mari tak lakoni,” ucapnya, seperti seorang yang sudah mengalami kematangan hidup.

“Aku biyen budal sekolah nang Jember  ditangisi ibu, bukan karena ibu bangga anaknya di terima di Universitas Negeri Jember, tapi mergo ibu memang gak bisa membiayai sekolah. Apalagi di Jember aku gak duwe sanak kadang,”  tuturnya.

Kenangannya seolah menerawang pada masa tahun 1987, saat Arif mengawali masa kuliahnya.

“Sampun bu, nanti pasti ada jalan,” katanya mengenang apa yang pernah diucapkannya kepada ibunya.

Dua bulan pertama Arif numpang di rumah salah satu kerabatnya, sebelum kemudian pindah numpang dari tempat teman ke teman.

“Aku golek pacar yo sing cukup, jane cuma pingin numpang iso sarapan,” kenangnya.

Untuk bertahan hidup segala jenis pekerjaan sudah pernah dijalaninya, mulai dari berdagang ikan lele, hingga mengayuh becak, sekedar untuk bisa makan.

“Aku mulai merasa enak iku saat mengawal kasus Jenggawah,” katanya.

Mantan Ketua DPC GMNI Jember itu turut memperjuangkan hak tanah warga Jenggawah. Atas perjuangannya banyak warga yang mulai simpatik.

Sikap hidup yang sederhana tercermin dari apa yang terlontar saat berbincang ringan.

“Wis gus, ngene ae cita citane mulih nang Jember, dadi dukun politik awakmu dadi combene. Ojo jaluk duwik, cukup gulo kopi ae,” kami pun tertawa lepas.

Sesekali terdengar suara beratnya tentang harapan membangun tata nilai yang tak pernah berhenti diperjuangkannya.

“Aku paling gak.seneng ada orang yang merusak mental kader,” katanya ditengah candanya.

Sesekali Dima Akhyar menimpali dengan tanya, ngopi hari itu menjadi lebih berarti bagi kehadiran kami, bisa menimba pengalaman.

Lebih dari sekedar hiruk pikuk politik adalah rasa persahabatan.

Tak terasa, waktu mulai larut, kami harus pamitan. Esok sudah harus sampai ke Jember kembali menghadapi kenyataan. (Bersambung)

Table of Contents