Negaraku Negara Olok Olok

Loading

Jempo.fun. Bangun pagi belum minum kopi , aku sudah disuguhi sajian media penuh caci maki. Pernyataan saling menyudutkan bahkan sampai diluar batas keberadaban bertaburan penuhi dinding medsos, koran dan televisi.

Kian mendekati pemungutan suara pilpres dan pilcaleg serentak, nuansa saling tikam satu sama lain kian brutal.

“apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan bangsaku ?” gumamku dalam hati.
Ya, aku hanya bisa bergumam, loyo, tak punya daya apapun. Lalu teringat akun facebook ku, jadi tergelitik untuk menulis status. Bermaksud untuk mengingatkan, memang apalah artinya status fesbukku yang hanya punya pertemanan kurang dari 5000 orang. Itupun yang respon dengan like atau komentar paling banter hanya 200 orang.

Kalaupun aku tulis kegelisahan ini dalam Situs web ku, jempolindo.id, itupun tak lebih sekedar melampiaskan tumpukan kekesalan dari hingar bingar duni per politikan masa kini.

Dalam tulisan ini aku coba menghindari keberpihakan, karena memang tidak ada yang layak untuk diberpihaki. Dari dua kubu pasangan Jokowi Makruf maupun Prabowo Sandi sama sama memainkan panggung yang emosional.

Bagiku masih seperti anak kecil yang butuh perhatian, belum menyuguhkan sesuatu perubahan berarti bagi bangsa dan negara yang kucintai ini. Mereka tak lebih pemain panggung yang dirinya berhasil jika ada gemuruh tepuk tangan, sorak sorai penonton. Jadi ukuran keberhasilan nya hanyalah elektabilitas dan popularitas.
Tak ada satupun yang mengedepankan problem mendasar bangsa ini. Ideologisasi Pancasila dan UUD 1945 misalnya.

Aku bukannya sok Pancasilais, tetapi buat apa teriak teriak Pancasila Final ! NKRI harga mati ! Jika pada hakekatnya sebenarnya penentang Pancasila dan UUD 1945.

Panggung politik bangsa ini makin jauh dari jiwa Pancasila, atau Pancasila hanya jadi bahan olok olok dengan cara seolah olah menjadi pembela Pancasila, tapi sebenarnya tak lebih dari perongrong Pamcasila.

Mari kita lihat dari kacamata paling aederhana. Sistem politik dan ekonomi, misalnya. Keduanya tak mencerminkan jiwa Pancasila. Negara ini mengembangkan sistem asing dan sepeetinya tak percaya diri menerapkan keyakinannya sendiri.

Sila 4, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” adalah landasan dasar membangun sistem politik. Demokratisasi dalam sila ke 4 ini memjadi berantakan dengan hidupnya sistem multipartai.

Rakyat tidak diajari dengan kebijaksanaan melainkan dengan politik caci maki. Saling klaim paling benar, berdasarkan kebenarannya masing masing. Lalu Pancasila hanya akan disuarakan disaat tersudut.

Politik di arena pilpres dan pilcaleg serentak adalah pertempuran menang kalah. Mereka saling menyuguhkan strategi pemenangan, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dikibuli dengan tontonan pencitraan. Sama sekali belum ada yang menyuguhkan bagaimana melaksanakan amanat Pancasika dan UUD 45.

“ini prestasi Jokowi, mana prestasi prabowo ?” Kata pendukung Jokowi
“infrastruktur kok jadi ukuran, belum permah ada keberhasilan presiden diukur dari pembangunan infrastruktur?” kata pendukung prabowo.

Substansi perdebatannya tak lebih dari permainan anak membuat patung istana dari pasir dipinggir pantai.

Ketika emosinalitas mengalahkan rasionalitas, argumentasi berubah menjadi sumpah serapah. Lalu masing masing mengembangkan simbol Caci maki “cebong” “kampret”. Idiom itu secara terang terangan menbinangkan manusia.

Budaya caci maki, atau menyitir istilah Rocky Gerung masyarakat Demagog, Masyarkat sumpah aerapah, nampaknya hanya terjadi di era kini. Budaya yang makin jauh akar peradaban bangsa.

Kemajuan atau kemunduran ? Tergantung anda ada diposisi apa dan siapa.
Wallahu a’lam.

Table of Contents