Menolak Tanggal 1 Januari Sebagai Hari Jadi Jember

Loading

jempolindo.id – Jember. Sebagai orang awam dalam bidang sejarah hampir saja saya percaya bahwa Hari Jadi Jember adalah tanggal 1 januari, sebagaimana biasa diperingati masyarakat jember. Beruntung saya menulis Pertunjukan Ketoprak di Kabulaten Jember berjudul “Sandyakala Ning Majapahit Itu Jember”.

Tulisan yang ditanggapi keras oleh Alumni Fakultas Sastra Universitas Jember, Rudiatul Mustaufiq, yang menyoal personifikasi Bupati Jember dr Faida MMR sebagai Tribuana Tungga Dewi. Khususnya perihal pemberontakan Sadeng. Justru menggelitik rasa ingin tahu saya tentang Kerajaan Sadeng, lalu saya coba mencari tahu dengan mengoogling perang Sadeng yang terkenal itu.

Saya menemukan tulisan Indra G Martowijoyo di Blogspot pribadinya, LONTAR. Tulisan itu tertanggal Senin, 11 Januari 2010, berjudul “Kerajaan Sadeng dan Blambangan di Kabupaten Jember”

Indra mengawali tulisannya dengan menyoal Penetapan hari jadi Pemerintah Kabupaten Jember, yang bersandar pada Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, yang selanjutnya ditetapkan tanggal 1 Januari 1929 sebagai hari jadi Jember.

Indra menilai Penetapan hari jadi itu sama artinya mengakui keberadaan Pemerintahan Hindia Belanda. Padahal di Kabupaten Jember, sebelumnya juga pernah berdiri sebuah kerajaan, bernama “Sadeng”.

Fakta sejarah keberadaan Kerajaan Sadeng cukup jelas pijakannya, baik berdasarkan Serat Pararaton maupun Negarakertagama. Meski dalam naskah kuno itu lebih berpihak pada kepentingan pembelaan terhadap kepentingan politik Majapahit di bawah kekuasaan Ratu Tribuana Tungga Dewi.

Peperangan Sadeng menurut sudut pandang Majapahit adalah penumpasan pemberontakan Sadeng terjadi sekitar tahun 1331 masehi. Tetapi dari sisi Rakyat Sadeng sebenarnya adalah kisah heroik perlawanan Rakyat Sadeng atas invasi Majapahit.

Tentu saja kisah ini bukan sekedar dongeng pengantar tidur yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, melainkan sebuah fakta sejarah yang membuktikan bahwa di daerah Jember bukanlah daerah hutan belantara tanpa penghuni, melainkan sudah berdiri sistem pemerintahan yang sudah tertata dan berperadaban.

Keberadaannya bahkan mungkin sebelum Kerajaan Majapahit berdiri. Hal itu dapat dibuktikan dengan temuan Prasasti Congapan, yang tertulis diatasnya ” Tlah Sanak Pangilanganku” atau berarti tahun 1088 M, yang berhasil ditemukan di Desa Karang Bayat, Kecamatan Sumberbaru.

Bahkan dugaannya Kerajaan Sadeng justru memberikan sumbangsih atas berdirimya kerajaan Majapahit. Jika pihak Majapahit membahasakan perlawanan Rakyat Sadeng sebagai pemberontakan, maka sebaliknya, peperangan itu terjadi setelah jalur diplomasi politik yang dilakukan Gajah Mada dan Adityawarman mengalami kegagalan.

Fokus pada pembuktian atas keberadaan Sadeng, maka kisah Sadeng juga dibuktikan dengan bukti – bukti peninggalan yang hingga kini masih bisa dilihat keberadaannya, seperti :

– Prasati Watu Gong, di Kaliputih, Rambipuji, dengan candrasengkala Parvatesvara yang diperkirakan berasal dari abad 5-6 M, sebagai tertuang dalam Kakawin Negarakretagama dan Serat Pararaton Dalam Kakawin Negarakretagama disebutkan, jauh sebelum pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit), di daerah Jember atau tepatnya di kawasan Kecamatan Puger, pernah berdiri kerajaan kecil bernama Sadeng. Nama kerajaan ini dalam kitab kuno tulisan Mpu Prapanca, disebut Sadeng dan terletak di sekitar muara Sungai Bedadung.

Argumen Indra tentang adanya eksistensi masyarakat di wilayah Jember bisa dilihat dari kunjungan Raja Majapahit ke 4, Prabu Hayam Wuruk, ke daerah kekuasaannya di wilayah timur (Lumajang) pada tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281) atau 1359 Masehi.

Pada kunjungan ini, Mpu Prapanca, yang bertindak sebagai pencatat perjalanan Prabu Hayam Wuruk, menulis nama sejumlah daerah yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Jember.

Diantara nama daerah di wilayah Kabupaten Jember yang ditulis dalam Kakawin Negarakretagama pupub XXII, antara lain Kunir Basini, Sadeng (Puger), Balung, Kuta Blater, Bacok (Ambulu), Renes (Wirowongso, Ajung).

Berdasarkan kakawin tersebut, saat memasuki wilayah Jember, Hayam Wuruk sempat bermalam di Sadeng (Puger). Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai, heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
Dalam kitab Negarakretagama itu juga dikatakan, setelah bermalam di Sadeng, sang penulis (Prapanca) tidak ikut berkunjung ke Bacok, tapi pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet, Galagah, Tampaling, kemudian beristirahat di Renes seraya menanti Baginda Hayam Wuruk.

Jika Indra G Martowijoyo berpandangan bahwa penduduk Sadeng beretnis jawa sebagaimana kerajaan tetangga Lumajang dan sekitarnya, lain halnya Rudi Mustaufiq jusru membangun argumen bahwa Rakyat Sadeng bersuku Madura. Rudi mengkaitkan Sadeng dengan Kerajaan Sumenep dibawah kepemimpinan Aryawiraraja.

Terlepas argumen mana yang benar, tetapi keduanya sama sama membuktikan keberadaan pemerintahan bernama Sadeng dan memperkuat fakta sejarah bahwa Jember bukan wilayah kosong tanpa penduduk seperti anggapan yang selama ini berkembang.

Lebih lanjut, seharusnya kajian sejarah kuno inilah yang dijadikan pijakan penetapan Hari Jadi Jember dan bukan Tanggal 1 Januari yang justru merupakan pengakuan terhadap kekuasaan penjajahan Belanda.
Rudi berpendapat bahwa penyematan Budaya Pandalungan justru merupakan upaya pengingkaran sejarah bahwa masyarakat Jember pernah mempunyai pemerintahan sendiri. Identitas pendhalungan itu erat kaitannya dengan kerja paksa di perkebunan jaman kolonial Belanda.

Memang semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsblad dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929, sebagaimana disebutkan pada artikel akhir dari staatblad yang kemudian menguatkan Pemerintah Kabupaten Jember, bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1929 dengan sebutan Regenschap Djember dan R.T. Ario Noto Hadinegoro sebagai Regent/Bupati pertama Kabupaten Jember.

Tetapi jelas terdapat bahan rujukan lain yang alangkah arif jika turut dijadikan bahan pertimbangan. Belum terlambat untuk berbenah, apalagi hanya sekedar merubah tanggal hari jadi yang kajian sejarahnya sebenarnya sudah ada. Tulisan ini hanya pemantik dan membuka ruang diskusi lebih dalam. Pastinya tulisan ini tidaklah terlalu pantas dijadikan rujukan, melainkan sekedar penggugah hasrat.

Kini hanya tinggal kemauan pemerintah kabupaten Jember untuk mendalami lebih jauh kebenarannya. Jika sama sama punya etikat untuk membangun kebudayaan Jember yang lebih berkarakter, niscaya harus ditolak tanggal 1 Januari sebagai Hari Jadi Kota Jember. (#)

Table of Contents