Sidoarjo_Jempolindo.id _ Situasi terkini yang berkembang di kancah nasional mendapat perhatian serius dari Komunitas “Godo Gedang Godo Telo” Jawa Timur. Hal itu terkuak dalam diskusi santai bertajuk “Cinta Tanah Air Iku Asyik” di Chandra Wilwatikta Pandaan Pasuruan, Sabtu (21/11/2020).
Diskusi santai yang dihibur musisi muda Sidoarjo @tika_kustik berlangsung ganyeng.
Fauzi yang bertindak sebagai moderator membuka dialog dengan pertanyaan tentang adanya ancaman radikalisme dan terorisme dalam berbagai bentuknya, seperti yang sedang terjadi saat ini.
Inisiator Diskusi Rossandi mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi Indonesia yang belakangan dinilai mulai memprihatinkan. Krisis ideologi merupakan penyebab runtuhnya tatanan yang berdampak pada kerasnya serangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
“Sesungguhnya gerakan Radikalisme yang lembut lebih berbahaya dibanding dengan radikalisme yang berlangsung dengan kekerasan,” paparnya.
Terbitnya peraturan perundangan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, menurut Rossandi lebih kejam, karena dampaknya justru lebih masive. Contohnya ada peraturan sekelas perda dan perbup tentang Pengangkatan Perangkat Desa , masih ditenemukan kefatalan dalam aturan tersebut, yakni dengan di pangkasnya nilai kedaulatan .
“Pemangkasan kedaulatan dalam aturan itu telah meniadakan rasa keadilan,” tegasnya.
Aktivis Gaek Kasmuin menilai telah terjadi pergeseran rasa cinta tanah air yang semakin memprihatinkan. Perubahan jaman semakin memisahkan bangsa dari pemahaman atas dirinya sendiri.
“Dulu, kami bersama Format, forum malam jumat, acapkali melaksanakan kegiatan diskusi untuk nguri nguri budaya bangsa yang diantaranya membahas tentang sejarah Sidoarjo, sehingga berpikir soal Ke Indonesiaan tak lepas dari berpikir tentang Sidoarjo,” keluhnya.
Kasmuin berkisah, sebagai pelaku budaya tokoh Sidoarjo itu melihat pergerseran serius akibat kemajuan tehnologi.
Seperti keberadaan Wayang suket bersama tokohnya Mbah Tholib yang perlahan sudah tidak ditemukan lagi. Wayang suket merupakan wayang rumput bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa.
“Saya kira lunturnya budaya tradisi juga perlu dibangkitkan kembali agar kita tak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang adi luhung,” harapnya.
Mendukung pernyataan Rossandi, Kasmuin menyampaikan sepanjang pengamatannya terdapat persoalan mendasar pada transparansi pengelolaan tatanan pemerintahan, dan rendahnya prosfesionalisme birokrasi, serta kurang proposionalnya manajemen tata kelola pemerintahan.
“Akibatnya kita menjadi tidak asyik dalam berbangsa dan bernegara, bagaimana masu asyik wong semua sudah berjalan menurut penafsirannya sendiri,” tukasnya.
Kasmuin juga menyoroti praktek berneugara yang katanya tak jarang ditemukan praktek regulasi yang kurang tersosialisasi kepada rakyat, sehingga mengorbankan kepentingan rakyat.
“Contonya, saya baru saja menangani keluhan warga yang akan menikahkan putranya, menjadi terhambat gara – gara peraturan umur yang seharusnya sejak tahapan pengajuan permohonan administrasi pernikahan sudah disampaikan kepada para pihak,” keluhnya.
Aktivis Pusaka Sidoarjo Fatikul Faizin atau akrab dipanggil Mas Paijo mengemukakan perspektif berbangsa dan bernegara berdasarkan kaca mata pelayanan publik yang dinilainya masih banyak ruang kosong yang seharusnya tidak perlu terjadi jika semua elemen sudi menyadari tanggung jawabnya masing – masing.
Paijo mencontohkan praktek perburuhan tentang pemberlakuan UMR yang tidak mematuhi regulasi yang sudah disepakati.
Ketetapan UMR Kabupaten Sidoarjo berdasarkan analisa kebutuhan minimum ditetapkan sebesar Rp 4.183.591,- dalam prakteknya masih ada perusahaan yang membayar buruhnya tidak sesuai ketentuan.
“Lantas dari mana buruh bisa memenuhi kebutuhan hidupnya ? ,” Katanya seraya bertanya.
Menurut Paijo ketidak setiaan dalam memahami dan menjalankan Pancasila dan UUD 1945 akan menjadi ancaman desintegrsi bangsa. Jadi jangan salahkan jika kemudian kelompok marginal justru melakukan pemberontakan atas ketidak adilan yang dialaminya.
“Karenanya dipandang perlu kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan Negara dan kebangsaan,” pungkasnya. (*)