Ketika Buruh Dianggap Sampah, Masih Adakah Harapan

Loading

J empol.fun-Jember . buleh gun e anggep sarka, mon tak eangguy ebuweng senyamanah (redaksi: saya hanya dianggap sampah, habis orang yang dibuang),” Rejo, Buruh yang sudah mengabdi di PTPN 12 Kebun Banjarsari selama puluhan tahun, merasa diperlakukan tidak manusiawi.


Bersama tujuh orang kawannya, Rejo menjumpai jempolindo.id , sekedar menyampaikan  keluh kesahnya, setelah oleh perusahaan diberhentikan secara lisan.

Rejo dan kawan kawannya diberhentikan dengan alasan sudah berusia 65 th, dan tanpa menerima hak sepantasnya, kecuali selembar sarung, baju dan songkok.

“Saya waktu itu hanya dipanggil dan diberi tahu kalo sudah diberhentikan bekerja,” tuturnya lugu dalam logat madura.

Rupanya praktek perusahaan mengangkat dan memberhentikan buruh secara lisan sudah berlangsung lama. Naifnya buruh hampir tidak punya kekuatan apa-apa kecuali pasrah menerima keputusan perusahaan.

Buruh bekerja tanpa surat apapun. Menurut Budi Santoso, tindakan itu bertentangan dengan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), termaktub dalam  UUK “Hubungan kerja yang terjadi di KARENA. ANTARA Pengusaha Dan pekerja / buruh ”.

Kata Budi, bisa saja diberlakukan Pasal 51 UUK yang menyebutkan bahwa, dapat menggunakan penunjukan secara “TERTULIS” atau “LISAN”,

Untuk kasus yang dialami Rejo dan kawan kawannya dapat diasumsikan bahwa Perjanjian Kerja antara Buruh dengan pemberi kerja (pengusaha) dilakukan secara lisan.

Tosari (65) Warga Petung yang sudah mengabdi 35 tahun di perusahaan perkebunan itu mempertanyakan keabsahannya sebagai pekerja, jika tanpa selembar suratpun apakah statusnya sebagai buruh dianggap sah ?.

Budi menegaskan, penunjukan Kerja lisan “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UUK, yaitu:
1) Kesepakatan Kedua belah Pihak;
2) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan kerja-undangan yang berlaku.

Dalam kasus ini, dapat menggunakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100 / MEN / VI / 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, di dalam Pasal 15 ayat (1) Disebutkan bahwa:
“Pengangkatan Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Yang Tidak Dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin Berubah menjadi jaminan waktu Tak Takut (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja ”

Dengan demikian, buruh dapat memperoleh  hak-hak sebagai karyawan dengan status hubungan kerja PKWTT sesuai dengan ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. yaitu:
1) Berhak atas upah setelah selesai bekerja sesuai dengan perjanjian (tidak di bawah Upah Minimum Provinsi / UMP), upah lembur, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
2) Berhak biaya tambahan, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan;
3) Berhak atas kebiasaan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;
4) Berhak atas frekuensi kerja, kesehatan, kematian, dan penghargaan;
5) Berhak atas kebebasan berserikat dan peduli HAM dalam hubungan kerja.

Penjelasan itu menjadi titik terang perjuangan pekerja untuk mendapatkan hak haknya. Mulanya para buruh itu gamang, jika dalam upayanya harus memperjelas ke absahannya terlebih dulu.

Mereka anggap hal yang tak mungkin, mendapat penegasan statusnya sebagai buruh dari perusahaan tempat mereka bekerja dulu.

“tidak mungkin jika kami harus meminta secarik kertas, perusahaan pasti menolak,” kata Tosari.

Buruh yang sudah renta itu sadar betul posisinya lemah, karena sengaja dilemahkan. Serikat pekerja yang harusnya ada di tengah derita buruh, SP itu malah cendrung berpihak pada perusahaan.

“Saya memang punya kartu anggota SP, tapi kartu ini untuk apa saya gak tahu,” keluhnya. (#)

Table of Contents