GMPK : Perjanjian Kerjasama Penanganan Korupsi Salahi Undang-Undang

Loading

Banyuwangi_Jempolindo.id_ Perjanjian kerjasama antara Kejagung, Polri, dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah ( APIP ) tentang penanganan pengaduan korupsi di daerah, dinilai bertabrakan dengan UU Korupsi.

Pendiri sekaligus Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK),  Bibid Samad Rianto menegaskan bahwa dirinya secara pribadi tidak setuju dengan adanya perjanjian  kerja sama( PKS ) tersebut.

Bibit menilai PKS itu  selain tidak sesuai dengan UU Korupsi,  justru akan membuka ruang atau kesempatan bagi aparatur untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Salah satu klausul PKS  mengindikasikan, pelaku korupsi yang beritikad mengembalikan hasil korupsi tidak akan dipidanakan.

“Hal itu justru akan menumbuhkan koruptor koruptor baru, karna terbukanya ruang melakukan korupsi, Kalau ketahuan akan dikembalikan, kalau tidak ya sudah hilang,” ujar Bibid saat di konfirmasi di Bandara Internasional Blimbingsari Banyuwangi, Rabo (6/10).

Persoalan mendasar dari tindak pidana korupsi ini adalah moralitas penyelenggara pemerintahan. Sehingga menurutnya moral bangsa ini yang perlu di perbaiki dengan penagakan hukum yang berkeadilan.

“Pembinaan ditingkatkan, pengawasannya di perkuat, penegakan hukum di jalankan,”tegas pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Satgas Dana Kemendes PDT.

Koordinator Satgas Dana Desa Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (KEMENDES PDT), Budi Harsoyo menjelaskan penanganan kasus korupsi di desa sebenarnya bisa diselesaikan di lembaga BPD. Tidak semua persoalan dugaan kasus korupsi desa di selesaikan dengan penegakan hukum.

“Kalau semuanya diproses secara hukum, berapa puluh ribu kepala desa yang akan masuk penjara,”ujar Budi yang datang ke Banyuwangi bersama rombongan Bibid Samad Rianto.

Divisi Pengaduan Masyarakat Satgas Dana Desa, Izma Pallfrey menjelaskan bahwa BPD memiliki peran penting dalam pencegahan korupsi di desa. Sebab, sejak perencanaan hingga laporan pertanggungjawaban semuanya melibatkan BPD. Fungsi pengawasan yang dimiliki BPD seharusnya diperankan sejak penyusunan RAPBDES.

“Sejak awal, BPD, Kepala desa dan perangkat desa bermusyawarah merumuskan RAPBDES berdasarkan usulan masyarakat, sehingga menjadi aneh kalau BPD tidak memiliki RAB saat pelaksanaan pengelolaan dana desa,” ujar Izma.

Selain itu Izma menjelaskan, apabila ada temuan hasil audit maka dana tersebut seharusnya dikembalikan ke rekening kabupaten, bukan di SILPA kan. SILPA itu merupakan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran yang jumlahnya tidak boleh lebih dari 30% dan dana tersebut harus ada dalam rekening desa.

“Pengembaliannya bukan ke rekening desa, karna akan membebani tahun anggaran berjalan,” tegas pria berkacamata itu.

Menyikapi pelaksanaan kegiatan yang melampaui tahun anggaran, Izma menegaskan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan.

“Disitu berarti sudah ada konspirasi korupsi, LPJ nya kan bulan Desember, bagaimana LPJ nya,” tandas Izma.

Meski sudah ada PKS, masyarakat tetap berhak mengajukan persoalan dugaan kasus korupsi dana desa ke lembaga penegak hukum baik Kepolisian maupun Kejaksaan untuk mendapatkan keadilan. (Amar)

Table of Contents