Jempolindo.id – Jember.
“Anak buruh tani masak gak boleh jadi bupati”.
Siapa nyana pria muda kelahiran 10 mei 1983 itu hanyalah putra dari seorang buruh tani. Cak Salam, begitu sahabat – sahabatnya menjulukinya.
Nama lengkapnya Abdussalam Alamsyah, lahir di dusun Krajan Kidul Balung kulon Kecamatan Balung Jember, 36 tahun lalu.
Saat Jempol menghubunginya, kalimatnya terkesan sebagai anak muda yang lugas, trengginas, tetapi rendah hati.
Pantaslah, pahitnya kehidupan telah mengajarkannya memahami makna penderitaan dan bagaimana menghargai orang lain.
Saat diminta foto masa kecil Cak Salam mengaku tak menyimpan gambar masa kecilnya.
“Jangan foto mass, bapak gak pernah difoto waktu masih ada kecuali KTP saking minusnya dan aku difoto waktu kecil cuma waktu SD dirapot dan ijazah,” tutur Salam.
Masa SD Hingga SMP
Pasangan Almarhum Abdul Fatah dan perempuan bernama Saadah, Orang Tua Salam.yang hanya seorang buruh tani tidak tetap, mengharuskan Salam belajar bertahan hidup.
Salam kecil, sejak SD sepulang sekola menggembala kambing, sambil merumput buat simpanan pakan ternaknya.
Jika sekolah libur, Salam kecil memanfaatkan waktunya untuk ngasak, mencari sisa panen petani sambil mencari kayu bakar buat dijual, sebagian untuk memasak dirumah.
Salam bisa melanjutkan sekolah SMP dengan menjual Kambing piaraannya. Sebagian dibelikan Sapi untuk tabungan.
Hingga SMP Kelas 1, Salam bekerja sebagai buruh jemur padi dan kuli panggul disawah, kadang bekerja sebagai kuli angkut barang di pasar untuk biaya sekolahnya.
“Pagi harus sabar menunggu teman dipinggir jalan, mencari nunutan, tumpangan sepeda kesekolah begitulah hingga lulus smp,” kenang Salam.
Masa SMA
Begitupun, saat menjelang masuk SMA, Salam menjual ternak piaraannya untuk biaya masuk SMA.
Masa SMA masa paling sulit. Biaya sekolah semakin tidak ringan. Salam benar – benar dituntut membiaya hidupnya sendiri, karna orang tua sudah tidak mampu membiayai lagi.
Tak ada pilihan lain, Salam terpaksa sepulang sekolah harus rela menjadi buruh kuli panggul dan terkadang ikut membantu belandang (pedagang) cari tembakau.
Masa Kuliah
Semua dilaluinya penuh keceriaan, meski Salam muda menyadari kehidupannya tak setara dengan teman – teman sebayanya. Tak punya kesempatan bermain dan menikmati indahnya masa kecil.
Semangat untuk merubah kehidupannyalah yang mendorong Salam terus berjuang menempuh pendidikan. Berharap terlalu banyak kepada orang tuanya yang kehidupan ekonominya pas – pasan adalah sesuatu yang tak mungkin.
Salam hanya meminta restu kepada orang tuanya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Salam sudah harus puas bisa berkesempatan menempuh pendidikan tinggi di universitas Muhammadiyah Jember.
Biaya pendidikan yang mahal bagi pemuda seperti Salam, tak lah membuatnya menyerah. Mental dan semangat mudanya mendorongnya membuka usaha penyewaan play station, agar bisa betahan hidup dan sebagian menyisihkan untuk biaya kuliah.
“Sebagian hasil usaha saya tabung buat menyewa lahan, ya bisalah buat mengembangkan pertanian,” katanya.
Tentu saja, bagi anak buruh tani lulus menjadi sarjana adalah kebanggaran tersendiri. Salam mempersembahkan yang terbaik untuk kedua orang tuanya, dengan membuktikan menyandang gelar sarjana.
Masa Awal Menikah
Tahun 2008, Pertemuan dengan Sri Indriyati Setyo Rini, perempuan yang kini menjadi ibu dari anak – anaknya, semakin membuat Salam bersemangat untuk berjuang melalui kegetiran hidup.
Kehidupan baru dimulai dengan mencoba menekuni usaha menjual Batu Gamping yang disetorkannya kepada pengusaha perumahan.
“Sesekali saya jadi makelar perumahan,” tuturnya.
Masa Mengembangkan Usaha
Perkenalannya dengan pengusaha perumahan, awal mula Salam mengenal dunia usaha dibidang property.
“Bermodal kepercayaan, saya belajar membangun satu unit rumah,” katanya.
Pribadinya yang tekun menjadikan direktur sekaligus pemilik PT Kinansyah Abadi Jaya Land berhasil mengembangkan usahanya.
Hari – hari dilaluinya penuh tantangan, usaha yang ditekuninya hanya berbekal kepercayaan perbankan dan calon pembeli rumah, belakangan terus berkembang.
Kini Salam telah memiliki beberapa perumahan di Jember, diantaranya Perumhan Istana Tegal Besar, Perumahan Kaliwates Regency, Perumahan Kali Urang Permai.
Belajar Saling Berbagi
Semula Salam melihat pembagian sembako di perumahan, Salam mulai tersentuh untuk belajar berbagi.
“Awalnya saya hanya mampu bersedekah 10 bungkus nasi,” tuturnya.
Meski hanya sedikit yang mampu disedekahkan, Salam yakin ada kekuatan dibalik keihlasan bersedekah.
Kedermawanannya terus tumbuh sebagai sikap pribadi yang dibangun dari keprihatinan pengalaman masa lalunya.
Kalaupun Salam setiap Jumat selalu menyisihkan hartanya untuk bersedekah dan menyantuni kaum dhuafa seperti sebuah naluri panggilan jiwanya belaka.
“Saya berusaha menjalankan makna khoirunnas anfa uhum linnas ( sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat) inilah yang menjadi pondasi saya untuk semangat berjuang, dengan dimbangi kerja keras,” tegasnya.
Berbekal keyakinan itu, setiap tahun secara bergilir, Salam memberangkatkan karyawan dan tetangganya umroh, agar mereka juga bisa merasakan indahnya berbagi.
Perhatiannya kepada masyarakat yang mengalami nasib kurang beruntung terus mendorong Cak Salam berniat ingin mewakafkan dirinya untuk membangun Jember agar lebih baik.
“Kulo tumut urip namung sedelo (red : saya hidup hanya sebentar),” Kata Salam menunjukkan sikap rendah hatinya. (*)