Kediri – Jempol. Lumayan, perbincangan bersama Anggota DPRI Arif Wibowo menjadi penyemangat baru, bagi sebuah perjuangan yang tak kan pernah berhenti, membangun sebuah peradaban yang lebih manusiawi.
Menyusuri jalan pulang melalui jalan tol yang baru dibangun Presiden Jokowi, Dima Akhyar memilih untuk mampir terlebih dulu ke arah Pesarean Sang Proklamator Bung Karno di Blitar, melewati Kabupaten Kediri.
Saat melewati simpang lima Gumul, tiba – tiba Dima Akhyar terhentak untuk berhenti terlebih dulu. Tertarik melihat kemegahan simpang Gumul.

“Stop stop sik … Kita berhenti disini, koyoke menarik iki,” kata Dima menyuruh Agung yang pegang kendali stir mobil untuk berhenti.
Cukup tertegun kami ber enam, aku, Dima Akhyar, Budi Santoso, Agung, Agus Kecap, dan Anwarul Iksan lantas berselfi berlatar bangunan megah itu.
Dima Akhyar menghubungi Temannya yang tinggal di Kediri, Nasrul namanya
. Sambil menunggu temannya Dima datang, lumayan lama juga. Kami bertemu warga Jember yang juga sedang berada di Simpang Gumul.
“Mas Dima…. Lho pean kesini juga toh ?!,” Mereka menyapa terlebih dulu.
Lalu mereka mengajak berfoto bersama.
Selang beberapa lama, Nasrul datang. Darinya kami jadi agak mengerti sejarah dibangunnya simpang gumul.
“Bangunan ini sengaja dibangun sebagai tanda bertemunya lima kecamatan kota kediri, rencananya sih bakal dibangun tempat hiburan masyarakat,” ceritanya.
Tanpa kami ketahui sebelumnya, rupanya Dima Akhyar sudah punya rencana mampir ke tempat bersejarah, saat masa kecil Bung Karno pernah tinggal, desa Pojok Kecataman Wates Kabupaten Kediri.
“Yuk kita ke Ndalem Pojok,” ajak Dima.
Dipandu teman Dima, kami beranjak menuku “Ndalem Pojok”.
Kami sampai disebuah tempat yang dikenal masyarakat dengan sebutan Ndalem Pojok disambut gerimis.
Sebuah bangunan kuno, yang masih terjaga keasliannya. Dihalaman depan ada pendopo budaya, biasanya dipakai buat tempat menggelar kebudayaan.
Samping kirinya, ada bangunan musholla dan pasar jajaan tradisional.
Kedatangan kami disambut seorang perempuan sepuh, tampaknya beliaulah yang merawat rumah bersejarah itu.
“Darimana nak !?’,” sapanya hangat.
“Kami dari Jember bu, pingin mampir di ndalem pojok,” sahut Dima.
Lalu kami dipersilahkan masuk ke ruangan, melihat benda benda bersejarah peninggalan masa Bung Karno masih kecil hingga menjadi Presiden RI.
“Pintu depan ini bung Karno yang beli dari gaji pertamanya sebagai presiden,” tutur ibu itu.
Ketika, Bung Karno sedang berdiskusi seperti biasa bersama teman temannya, Bung Karno merasa malu melihat pintu depan sudah rusak.

“Pak, aku malu sama teman teman, melihat pintu depan rusak, kita beli pintu kayu,” katanya menirukan ucapan bung Karno kepada Raden Soemo.
Satu persatu dengan telaten Ibu pemilik rumah itu bercerita semua peninggalan benda bersejarah yang ada di rumah tua itu.
Semua masih terlihat terawat dengan baik. Kursi tempat Bung Karno berganti nama dari Kusno menjadi Soekarno, kursi tempat disuksi, Box Bayi Kusno Kecil, kamar saat bung Karno sudah menjadi pemuda, hingga kamar saat Bung Karno sudah menjadi presiden. Semua lengkap terawat.
Agak lama kami mendengar kisah Ibu itu, datang putrinya Mbak Lilik yang menceritakan lebih rinci hal ikhwal kisah Ndalem Pojok.

Kakek Soemo, ternyata masih kerabat Ayah Bung Karno, Raden Sokemi dari Tulung Agung.
Ndalem Pojok merupakan rumah jujukan R Soekemi. Di rumah ini pula saat R Soekemi memutuskan menikahi Ida Ayu Gusti Rai yang dibawanya dari Bali.
“Kakek menyuruh Ibu Ida Ayu bersemedi di bawah Pohon Kembang Kantil dihalaman depan rumah,” cerita Mbak Lilik sambil menunjuk pohon tua yang sudah mengering.

Kisahnya, jika kembang kantil itu terjatuh maka memang sudah jodohnya Raden Soekemi dengan Ida Ayu.
“Ternyata kembang itu terjatuh, segera Raden Soekemi membawa pulang Ida Ayu ke.Bali untuk dinikahi,” cerita mbak Lilik.
Banyak cerita menarik yang disampaikan mbak Lilik tentang kisah Bung Karno di rumah itu. Diantaranya, saat Bung Karno sudah jadi Presiden, pulang ke rumah ndalem pojok, lalu pinjam kepada teman kecilnya H Nahrawi.
“Wi, aku nyilih duite,” kata Mbak Lilik menirukan ucapan Bung Karno.
“Presiden kok nyilih duit, gak oleh, tak paringi ae,” kata mbak Lilik menirukan guyonan H Nahrawi teman kecil Bung Karno.
Dibelakang rumah, terdapat pohon tempat bung Karno belajar yang hingga kini masih terawat dengan baik.
“Bung Karno merasa nyaman belajar dibawah pohon itu, ternyata karena dibawah pohon itu segar dan nyamukpun tidak mendekat,” kata Mbak Lilik.
Konon, ayah Mbak Lilik sempat menjadi Kepala Staf Rumah Tangga Kepresidenan era Bung Karno.
Masih banyak kisah menarik yang belum bisa kami gali dari rumah sederhana itu. Sayangnya waktu tak mengijinkan.
Kamj segera berpamitan dan segera menuju ke pesarean Bung Karno di Kota Blitar.
Dipesarean sang proklamator kami sempatkan berdoa, memohonkan ampunan dan keberkahan. (*)