Lampung Tengah – Petani Tebu Lampung Tengah, masih keluhkan mahalnya harga pupuk. Hal itu teriungkap, ketika Komunitas Petani Tebu Bersatu (PeTeBu) bertandang ke kediaman Ketua Kelompok Petani Tebu Sugeng Triawan, di Desa Banjaransakti Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah. Jum’at (20/05/2022) siang.
Menurut pengalaman Sugeng, selama 12 tahun menjadi petani tebu, hampir tidak ada keluhan berarti, yang dihadapinya. Belakangan, pada tahun 2021 – 2022, Petani Tebu mengalami kesulitan mendapatkan pupuk jenis urea.
Jika harus beralih menggunakan pupuk non subsidi, kata Sugeng maka berdampak pada tingginya biaya produksi.
“Selain mengalami kelangkaan pupuk bersubsidi, harganya juga mahal, biasanya hanya sekitar 200 ribu per kuintal, sekarang bisa 500 ribu per kuintal,” katanya.
Padahal dalam satu hektar lahan tebu, kata Sugeng membutuhkan sekira 8 kuintal pupuk urea.
“Karenanya kami berharap ada kebijakan yang memudahkan petani tebu mendapatkan pupuk,” harapnya.
Petani Tebu asal Jawa itu, mengatakan banyak warga di desa Banjaransakti dan sekitarnya bergantung pada bertani tebu, karena memang lebih bisa dipastikan keuntungannya.
“Jika dibandingkan antara biaya dan pendapatan yang didapatkannya, maka selama satu musim panen, petani bisa meraih untung sebesar Rp 33,5 juta per hektar,” ujarnya.
Sedangkan, bertani tebu diakui Sugeng dapat menyerap banyak tenaga kerja. lahan tebu yang dikelolanya, seluas kurang lebih 100 hektar, dibagi menjadi tiga kelompok, setidaknya membutuhkan 25 orang pekerja rutin.
“Kalau sudah musim tebang, setidaknya dalam jangka waktu 6 bulan membutuhkan ratusan pekerja, utamanya tukan tebang, tukang angkut dan transportasi,” ujarnya.
Selama ini, Sugeng bersama 153 kelompok tani lainnya, memasok tebu ke PT Gunung Madu, sebuah pabrik gula swasta yang berada di Lampung Tengah.
“Kerjasama antara petani dengan Gunung Madu, berjalan dengan baik,” kata Sugeng.
Menurut Sugeng, PT Gunung Madu dinilai relatif memperhatikan Petani tebu, biasanya segala kebutuhan petani dicukupi, seperti kebutuhan biaya budidaya.
“Petani bisa pinjam, dengan bunga rendah, antara 7 hingga 9 persen per musim, termasuk kebutuhan pupuk,” ujarnya.
Selain itu, Sugeng juga berharap rendemen tebu bisa meningkat, sehingga akan berdampak pendapatan petani tebu.
“Selama ini Rendemen tebu kami berkisar antara 7 persen, memang pernah mendapatkan 8,3 persen,” katanya.
Jika Produksi per hektar 102 – 117 ton per hektar, kata Sugeng, maka setara dengan 70 – 80 Kg gula per hektar.
Sementara, Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani sebesar Rp 9.700, harapan petani bisa meningkat menjadi Rp 10.500. sehingga HET Gula bisa menjadi Rp 14.500 per kg. Sekarang HET masih sekira Rp 12.500 per kg.
“Kalau harga gula masih murah, maka juga akan berpengaruh pada rendahnya pendapatan petani,” katanya.
Untuk itu, Sugeng berharap pemerintah segera membuat kebijakan tentang kepastian kenaikan harga gula.
“Jika HPP gula sudah bisa dinaikkan, maka petani akan diuntungkan,” ujarnya. (#)