Tokoh (Alumni) HMI dan Gus Dur

Romario Utomo

Loading

Oleh: Romario Utomo *)

Ramai-ramai soal buku baru berjudul: Menjerat Gus Dur yang ditulis oleh Virdika Rizky Utama, yakni penulis muda berbakat yang memiliki minat mendalam terhadap kajian-kajian sejarah, dimana kemudian buku tersebut berhasil diterbitkan dan dipasarkan oleh NU Online. Buku ini mengungkapkan secara gamblang alias terang benderang tentang siapa-siapa saja yang mempunyai andil atau memiliki keterlibatan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penjatuhan atau pelengseran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku Presiden RI keempat. Yang mencengangkan adalah organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ternyata namanya disebut-sebut.

Mengapa HMI? Karena dijelaskan bahwa ada beberapa tokoh (alumni) himpunan ini yang dianggap berperan dalam menjatuhkan atau melengserkan sang Presiden, sebut saja misalnya ada nama Akbar Tandjung yang merupakan aktivis senior HMI maupun Fuad Bawazier yang pada waktu itu adalah Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Ini belum yang lainnya. Penulis buku bahkan tak segan-segan menyebut: “Mereka merancang itu, bukan cuma di elite politik, maksudnya bukan cuma di DPR, tapi juga bagaimana di mahasiswa, karena mereka sebut saja sebenarnya dokumen ini adalah dokumen Golkar dan HMI Connection,” (Sumber: SerikatNews.Com dengan Judul HMI Connection yang Menjerat Gus Dur).

Terlepas dari itu semua, diluar tema “jerat menjerat” yang tadi sempat disinggung sebentar dimuka, sebenarnya hubungan antara tokoh (alumni) HMI dengan Gus Dur tidaklah melulu berseberangan atau berlawanan, bahkan dalam hal-hal tertentu terutama sekali terkait soal gagasan, ide, pandangan, dan nilai-nilai yang diperjuangkan, malah sering terdapat persamaan atau kesesuaian. Semisal contoh Gus Dur dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Gus Dur dengan Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif’ (Buya Syafi’i), ketiga-tiganya sama-sama pejuang pluralisme. Kita tahu Cak Nur dan Buya Syafi’i adalah orang-orang yang dibesarkan dan membesarkan HMI. Ternyata beliau berdua seiring sejalan dengan Gus Dur, bahkan saling mendukung dan menguatkan.

“Islam Yes, Partai Islam No” yang merupakan gagasan Cak Nur ditahun 1970-an, ternyata amat sesuai dengan pandangan Gus Dur yang memang menolak ide formalisme Islam. Maka, tak heran ketika awal-awal Reformasi, Ketua Umum PBNU tiga periode ini dalam mendirikan partai politik, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memilih corak partai terbuka ketimbang partai Islam. Kemudian ide-ide atau pandangan-pandangan Buya Syafi’i pun juga demikian, selalu beriringan dengan gagasan-gagasan Gus Dur. Kita tahu Buya Syafi’i sangat konsen membela kelompok-kelompok minoritas dan kaum agama lain, Gus Dur apalagi, beliau dengan tanpa lelah selalu memperjuangkan kalau perlu pasang badan dalam menghadapi setiap upaya pendiskriminasian terhadap golongan lemah ataupun pemeluk agama lain.

Cak Nur dan Buya Syafi’i adalah dua contoh tokoh (alumni) HMI yang memiliki kesamaan visi dengan Gus Dur tentang soal-soal keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, tetapi karena keterbatasan tempat, sebab tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu dalam tulisan yang serba pendek ini. Intinya ialah diluar urusan politik praktis, sebenarnya masih banyak tokoh (alumni) HMI yang secara pemikiran memiliki kedekatan dengan pemikiran Gus Dur, bahkan tidak jarang selalu bergandengan tangan karena mempunyai kesamaan dalam cita-cita perjuangan. Ini yang mestinya harus terus dijaga, dijalin, dirawat, serta ditumbuh suburkan.

Kita ketahui bersama bahwa saat ini Cak Nur dan Gus Dur memang telah lama berpulang menghadap Tuhan Yang Maha Esa (Kini tinggal Buya Syafi’i yang masih berjuang), tapi meski demikian, beliau-beliau ini telah melahirkan anak-anak ideologis, dimana semangat aktivisme dan militansi mereka sungguh luar biasa tingginya. Kader-kader HMI yang memiliki kesamaan pandangan dengan Cak Nur maupun Buya Syafi’i tidak bisa dianggap kecil jumlahnya, mereka tersebar dimana-mana, dan murid-murid Gus Dur yang menyebut diri mereka sebagai Gusdurian, keberadaan mereka juga amatlah banyak dan telah merambah ke berbagai lini. Karena itulah penulis sangat yakin sekali, selama pengikut-pengikut Cak Nur dan Buya Syafi’i serta Gus Dur ini ada dan terus berkembang, selama itu pula kebhinekaan di negeri ini akan terus lestari abadi sampai yaumil akhir.

Kader-kader HMI yang mengagumi gagasan-gagasan Cak Nur maupun Buya Syafi’i, serta murid-murid ideologis Gus Dur yang tergabung dalam komunitas Gusdurian, sejatinya mereka semua adalah sama-sama kaum moderat, yakni kaum yang toleran, ramah, dan inklusif dalam beragama. Selama ini hubungan mereka secara intelektual dan kultural sangat baik. Mereka bergerak bersama menjadi benteng-bentengnya NKRI dan Pancasila. Mereka juga selalu senada dalam menjaga keselamatan dan kemajemukan bangsa dari rongrongan kaum radikal dan fundamentalis. Jadi, harapan penulis dan kita semua tentunya, janganlah karena ada buku baru dengan judul Menjerat Gus Dur, tiba-tiba hubungan yang semula baik dan bersahabat ini kemudian menjadi renggang atau kurang harmonis lagi. Sekali lagi jangan!

Kalau memang dalam buku baru tersebut diungkap bahwa ada beberapa tokoh (alumni) HMI yang terlibat dalam konspirasi menjatuhkan atau melengserkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, biarlah itu cukup menjadi suatu catatan fakta sejarah, tidak perlu kemudian membuat kita saling mendendam apalagi sampai menjadi berseteru. Sesama kelompok moderat jangan sampai mengalami suatu perpecahan, sebab taruhannya republik ini. Bisa-bisa para pengusung maupun pengasong negara agama akan memanfaatkan situasi dengan menjajakan ide-ide kekerasan mereka, dan ini sangat berbahaya sekali. Terakhir, penulis mengajak mari kita baca buku Menjerat Gus Dur tersebut dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih serta lebar.

*)Penulis adalah salah seorang alumni HMI Komisariat Fisipol UGM Yogyakarta yang kini aktif di Gusdurian Sidoarjo.

Table of Contents