TANAH BUKAN SEKEDAR ASSET

Loading

jempolindo.id – Jember.  Biyen mbahku lek ngongkon aku neng sawah ngomonge ngene ” lek megawe neng sawah iku seng genah, wong tuwek megawe didelok terus ditiru, ben gak kemaruk ngedol sawah tapi piye carane sawah iki iso ditanduri “. Kami  dididik menjadi petani yang bisa bekerja disawah.

Kalimat itu disampaikan Budi Hariyanto dalam wawancara melalui Watsapp. 
==============
Siang itu membaca tulisan dimedia on line punya kawan (baca: https://lontar.co.id)  tentang pernyataan Bupati Jember dr Faida MMR, yang menilai bahwa reforma agraria akan menjadi pengungkit perekonomian masyarakat, Jadi tergelitik untuk ikut menulisnya. Pasalnya,  problematika agraria yang terjadi cukup rumit.
Saya coba cari nara sumber dan mau komentar terkait seluk beluk Reforma Agraria.

Terbersit seorang kawan muda, Budi Hariyanto, alumni Fakultas Hukum Universitas Jember menilai persoalan reforma agraria tidak hanya sebatas tentang persoalan tanah, hak menguasai ataupun memiliki, tapi lebih banyak hal yang dikandung didalamnya, mengenai pendidikan dan pelatihan pengelolaan tanah sebagai lahan produktif bukan hanya dipandang sebagai aset saja, yang mana produksi ini tidak hanya berhenti diproduksi saja tapi akses pasar yang baik.
” jadi bukan hanya gimana membuat masyarakat mempunyai hak atas tanah. Yang penting adalah pola fikir masyarakat Indonesia yang melihat tanah adalah aset bukan sumber kehidupan yang mandiri” jelasnya.

Budi mencermati situasi kekinian yang sedang terjadi pergeseran nilai. Masalahnya pada pola fikir masyarakat, ketika mempunyai tanah banyak mereka akan merasa hidupnya nyaman dan damai, ada nilai yang akan diwariskan pada anak cucunya kelak.
“Disini masyarakat sudah mulai menggeser pola fikirnya”. Ujarnya sedih

Menjadi Petani sepertinya menduduki kelas marginal yang tak punya nilai tawar disektor lapangan pekerjaan. Menjadi Petani dipandang sebagai pengangguran tak kentara, disamping terlalu banyak waktu luang, juga perbandingan hasil produksi dan kebutuhan hidup yang tak berbanding lurus.

Budi yang mengaku lebih pas menjadi anak petani ketimbang sebagai sarjana berharap Pemerintah mempunyai terobosan untuk perubahan mental ( revolusi mental).

“Karena sekarang kita taulah banyak petani yang rela menjual tanahnya untuk menjadikan anaknya TNI/PNS. Bukan lagi fokus bagaimana seorang anak bisa menjadi petani yang lebih baik dari orang tuanya” keluhnya

Kebijakan pemerintah terhadap ekonomi juga mempengaruhi pola fikir itu, ketika harga padi lebih murah dari biaya produksi (biaya tanam) maka hal itu membuat masyarakat petani berfikir bahwa kehidupan petani tidak menjanjikan.. sehingga hanya berfikir bahwa tanah tersebut adalah aset, bukan lahan produksi.

“ujung ujungnya muncul hasrat menjual”pungkasnya.(m1)

Table of Contents