Jember _ Jempolindo.id _ Aktivis Mahasiswa Jember M Syahid Satria geram mendengar tudingan atas aksi Mahasiswa yang dianggap melakukan aksi demonstrasi tanpa membaca terlebih dahulu UU Cipta Kerja Omnibuslaw. Melalui saluran phone selulernya, kepada Jempol Satria menyampaikan protesnya atas tuduhan yang tidak berdasar itu. Jum’at (23/10/2020).
“Tidak benar jika Mahasiswa dianggap belum baca UU Cipta Kerja, yang dikembangkan para buzer Pemerintah dan DPRRI,” tukasnya.
Satria menjelaskan, Aliansi Jember Menggugat yang merupakan gabungan dari 30 Komponen Mahasiswa, mengaku sudah mencermati pasal – pasal krusial yang dinilai berpotensi merugikan rakyat.
“Kami membagi kelompok pembahasan berdasarkan kluster dari UU Ombibuslaw, ada yang membahas spesifik soal lingkungan, pendidikan dan Tenaga Kerja,” ungkapnya.
Hasil kajian mahasiswa bersepakat menolak UU Cipta Kerja, meski pihak pemerintah telah melakukan counter opini, penjelasan pemerintah dinilai Satria belum cukup menjawab.
“Apa yang dijelaskan pemerintah hanyalah merupakan pembelaan atas UU Cipta Kerja yang memang merupakan produknya sendiri,” tegas Satria.
Komersialisasi Pendidikan :
Persoalan pendidikan dalam UU Ciptaker patut disoroti terutama mengenaiperlunya merombak atau menghapus Pasal 65 (1) dalam rangka menentang komersialisasi pendidikan lebih jauh.
“Sebab, menurut kami Pasal 65 (1) itu masih potensial menjadi celah berkembangnya komersialisasi pendidikan,” kata Satria.
Terbukti dengan diberikannya penegasan dalam UU Ciptaker bahwa “lembaga pendidikan” dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. Dengan kata lain, UU Ciptaker mengizinkan lembaga pendidikan bertindak sebagai Badan Usaha (Pelaku Usaha) yang berorientasi profit.
Meskipun, keterangan Baleg DPR-RI menyebutkan pasal tersebut hanya berlaku di kawasan ekonomi khusus (KEK).
“Tapi, secara prinsip, pasal mengenai pendidikan dalam UU Ciptaker tersebut potensial melanggar dan mengingkari amanat UUD 45 dan tidak menjawab persoalan ketimpangan akses pendidikan kita hingga saat ini,” jelasnya.
Pembatasan Hak Buruh Hingga Membanjirnya Tenaga Asing
Upaya penghilangan upah minimum
Dalam UU Cipta kerja BAB IV bagian 2 disebutkan bahwa di antara pasal 88 dan pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disisipkan tujuh pasal yakni pasal 88A sampai 88G.
Pasal 88C UMSK tetap disebutkan namun disertai dengan ketentuan tertertu sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi kabupaten/kota yang bersangkutan. Kemudian pasal 88D ayat (1), disebutkan formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi.
Artinya, penetapan formula ini lebih buruk dari pada penetapan kenaikan upah minimum berdasarkan PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Pengurangan waktu pesangon
Pada pasal 89 ayat 45 RUU Cipta Kerja yang mengganti ketentuan pasal 156 UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan beberapa ketentuan perhitungan uang pesangon yang mengalami perubahan pada ayat 1 pasal
156 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yang diganti dengan redaksi “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangondan/atau uang penghargaan masa kerja”.
Kemudian pada ayat 3 pasal 156 perubahan yang dilakukan pada huruf g dan h diganti dengan kententuan huruf g yang berbunyi “masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, 8 (delapan) bulan upah”.
Perubahan tersebut merupakan upaya menghapuskan perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana yang telah diatur masa kerja 24 tahun atau lebih akan mendapatkan 10 bulan upah yang diterimanya.
Fleksibilitas outsourcing (alih daya)
Perubahan pasal 66 tentang pekerja alih daya terkait dengan tidak adanya batasan outsourcing antara core business atau non-core business. Sebelumnya dijelaskan
bahwa oursourcing hanya diperbolehkan untuk non-core business.
Artinya outsourcing semakin diperluas dan beresiko menggantikan pegawai tetap.
Sebenarnya pada peraturan tentang alih daya dalam UU Ketenagakerjaan juga
menyisakan masalah eksploitasi tenaga kerja, dan bahkan beberapa perusahaan jasa kebanyakan memakai pasal ini sebagai senjata untuk memakai jasa.
Tenaga Kerja Asing diistimewakan
Dalam RUU Ciptaker pasal 42 ayat 1 yang mengatur tentang Tenaga Kerja Asing yang berbunyi
“Setiap pemberi kerja yang memperkerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari pemerintah pusat
.”
Sebelumnya pada UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 berbunyi
“…Setiap pemberi kerja yang memperkerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.”
Hal ini secara tidak langsung menyebabkan penganuliran kewenangan menteri dan pejabat tertunjuk lalu kemudian disentralisasikan ke pemerintah pusat.
Selanjutnya peninjauan diantara pasal 42 ayat 3 pada UU Ciptaker dan UU Ketenagakerjaan tentang Tenaga Kerja Asing. Pada pasal 42 ayat 3 pada UU Ciptaker dinilai akan memberikan kemudahan terhadap tenaga kerja asing dalam melakukan perizinan untuk keperluan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start up kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Artinya TKA yang bekerja untuk start up tidak memerlukan pengesahan rencana dan izin dari pemerintah. Bagaimana dengan start up yang dijadikan harapan anak-anak milenial bekerja? ternyata akan diisi oleh TKA.
Asumsi yang dibangun pemerintah berlindung pada pasal tentang keberpihakannya kepada tenaga kerja, seolah UU Cipta Kerja merupakan alat bagi terbukanya lapangan kerja, menurut Satria, UU Cipta Kerja justru membrangus hak buruh.
“UU Cipta Kerja justru membuka ruang bebasnya tenaga kerja asing yang bisa jadi tak terbendung lagi,” tukas nya.
Penghapusan Batas Waktu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Undang – Undang Ketenagakerjaan terkait
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang tadinya terbatas untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, 13 menjadi tidak dibatasi oleh Undang – Undang sebagai mana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU.
Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT.
Hal ini di lanjutkan dengan dihapuskannya ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja tetap), yang mana output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak.
Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja
Tak Ramah Lingkungan Hidup
Pemangkasan perizinan buka usaha yang tercantum dalam RUU Ciptaker yang tidak lagi melakukan perizinan buka usaha pada sektor pertambangan melalui pemerintah daerah masing-masing, namun disentralisasi ke pemerintah pusat secara keseluruhan.
Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi hak otonomi pemerintah daerah yang mana proses perizinan tersebut di-handle pemerintah pusat.
Sebagai contoh adalah perubahan terhadap proses AMDAL yang terbagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota menjadi semata-mata kewenangan pemerintah pusat dalam Pasal 23 angka 4 RUU a quo, mengenai perubahan Pasal 63 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah Mendelegitimasi Aksi Mahasiswa
Satria menegaskan hasil kajian itu membukatikan bahwa Mahasiswa bergerak atas dasar kejernihan hasil pemikiran.
Karenanya Satria menyesalkan adanya tudingan atas aksi demonstrasi mahasiswa yang ditunggangi, lebih kesal ketika aksi mahasiswa dipelintir hanya akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
“Tudingan itu jelas mendelegitimasi gerakan mahasiswa. Padahal aksi mahasiswa dilakukan justru mencegah kemungkinan kerusakan ekonomi yang lebih buruk akibat dari di sahkannya UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Terlebih, sejak awal pembentukannya, UU Cipta Kerja menurut Satria sudah cacat hukum. DPRRI jelas tidak mematuhi UU No 12 tahun 2011 pada pasal 88 ayat 1, DPRRI wajib mempublikasikan seluruh RUU yang akan disahkan menjadi UU.
“Kenyataan sampai UU Cipta Kerja disahkan, pada tanggal 5 oktober 2020 kami nilai DPRRI tidak transparan, ada apa sebenarnya ?,” Katanya.
DPRRI dan Pemerintah Bersekongkol
Menyikapi aksi protes yang dilancarkan berbagai elemen masyarakat, menurut Satria DPRRI dan Pemerintah cendrung anti kritik, seolah bersekongkol memuluskan pengesahan UU Cipta Kerja.
“Narasi yang dibangun buzer buzernya malah menyudutkan aksi protes elemen masyarakat, seolah – olah hanya opini yang dibangun pemerintah yang benar,” kesalnya.
Satria menyanyangkan sikap Pemerintah yang sepertinya malah berupaya mengkerdilkan daya kritis yang seharusnya ditanggapi sebagai bagian untuk membenahi dengan mencabut UU Cipta Kerja.
“Aksi mahasiswa justru dilandasi dari berbagai pertimbangan mendasar agar pemerintah bersedia melakukan perbaikan konstruktif, bukan malah mengkerdilkan gerakan,” ujarnya.
Mahasiswa memang menolak menyelesaikan UU Cipta Kerja dengan mengajukan gugatan melalui Judicial Review, Satria mengungkapkan berbagai pengalaman yang dilakukan penolakan melalui judicial review jutru ditolak MA.
“Itu hanya UU berskala kecil, apalagi UU Cipta Kerja, besar kemungkinan akan ditolak,” pungkasnya. (*)