RUU Penilai MPPI Berharap Dapat Memberi Kepastian dan Perlindungan Hukum Bagi Penilai dan Masyarakat 

Loading

Jember – Jempolindo.id – RUU Penilai digagas untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi penilai maupun masyarakat. Untuk mendukung RUU Penilai itu, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MPPI) Jatim menggelar Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai, di Hotel Grand Valonia, Jember, pada Jumat (16/9/2022).

Menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI Prof. Widodo Ekatjahjana, saat membuka kegiatan konsultasi publik itu menjelaskan, Konsultasi Publik RUU Penilai ini, bertujuan untuk menjaring aspirasi, masukan saran juga pendapat dari masyarakat.

Guna penyempurnaan draf naskah akademik dan hal-hal lain yang belum diatur dalam draf RUU Penilai.

Kata Widodo, penyusunan draf RUU penilai ini bersifat dinamis dan terus berkembang. Sehingga dapat menyempurnakan RUU penilai yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum yang sesuai bagi profesi penilai.

Kegiatan konsultasi publik RUU Penilai ini, kata Widodo, sudah seharusnya dilakukan oleh Kementerian Keuangan di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Karena memang undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan mensyaratkan agar. Disamping syarat materiil di satu RUU itu. Juga harus ada syarat formil yang harus dipenuhi. Salah satunya melibatkan partisipasi publik,” kata Widodo saat dikonfirmasi usai membuks kegiatan Konsultasi Publik di Hotel Grand Valonia, Jember, Jumat (16/9/2022).

Peran partisipasi publik ini penting, menurut Widodo, karena sifat undang-undang itu, berlaku mengikat umum ke seluruh masyarakat.

Untuk itu sebelum RUU (penilai) masuk di dalam RUU prolegnas prioritas, maka menjadi kewajiban semua kementeriaan soal RUU apapun. Untuk melakukan konsultasi publik, menjaring masukan dari masyarakat.

“Sehingga RUU ini komprehensif, menjawab dan merespon. Kebutuhan yang berkembang di masyarakat,” sambungnya menjelaskan.

Widodo menjelaskan, jika RUU penilai dapat disahkan menjadi UU, maks bagi profesi penilai nantinya akan memiliki politik hukum yang kuat.

“Bagaimana eksistensi penilai tugas fungsi dan lingkupnya diperjelas. Karena selama ini hanya ada jabatan (profesi) penilai saja di Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Tapi peran strategisnya belum tajam, kata Widodo, belum bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan akan kepastian tentang aset-aset, barang-barang, modal yang dinilai, kebutuhan masyarakat, kebutuhan sektor publik.

“Termasuk juga kepastian dan perlindungan hukumnya belum ada. Sehingga ini memberikan aspek keadilan (bagi profesi penilai),” ujarnya.

Apalagi, lanjut Widodo, menilai satu aset atau satu barang, tidak sembarang orang yang kemudian memberikan penilaian. Tidak serta merta begitu saja diserahkan kepada hakim (saat ada persoalan hukum kaitan soal penilaian aset). Sehingga harus ada satu institusi, yakni institusi penilai ini.

“Yang memang harus ditetapkan sebagai satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan, dengan RUU (Penilai) ini, diharapkan ada kepastian dan perlindungan hukum bagi profesi penilai itu,” ulasnya.

Terpisah, Ketua DPD MAPPI Jatim Mushofah mengatakan, adanya pembahasan dan sampai pada tahapan konsultasi publik, merupakan hal yang sangat ditunggu bagi profesi penilai selama ini.

“Banyaknya tantangan-tantangan yang dialami profesi penilai, selama ini hanya dimasukkan ke dalam undang-undang atau peraturan hukum yang lain. Bahkan terkesan hanya disangkutkan di hukum atau undang-undang yang merugikan (profesi) penilai,” kata Mushofah.

Ia mencontohkan, saat dihadapkan pada suatu persoalan hukum bersifat kriminalisasi. Profesi penilai yang sesuai tugas hanya menilai soal aset, malah dilibatkan dalam persoalan hukum.

“Contoh yang kami alami soal kriminalisasi, misalnya dalam suatu penilaian. Tidak ada niat jahat dari profesi penilai, tapi malah dilibatkan ikut serta dalam ranah pidana itu. Baik persoalan korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang. Padahal kami hanya diminta sebagai penilai saja. Bahkan juga bekerja sesuai SOP. Hal itu, ya karena dicantolkan dengan peraturan yang lain, maka dibenturkan dengan etika penilai itu,” ungkapnya.

Targetnya, kata Mustofah, prolegnas 2023 segera terwujud dari RUU menjadi UU Penilai.

“Sehingga bisa menjadi kepastian dan perlindungan hukum bagi profesi penilai. Apalagi sudah kurang lebih 41 tahun kami menunggu adanya UU Penilai ini,” tutupnya. (fit)

Table of Contents