17.5 C
East Java

Raja Arab Saudi Bukan Keturunan Nabi Muhammad: Sejarah dan Legitimasi Kekuasaan

Jempolindo.id – Artikel disusun dari sumber yang terpercaya, tentang Raja Arab Saudi, yang bukan keturunan Nabi Muhammad SAW. Untuk membuka kesadaran holistik, tentang sekelumit dunia politik dalam Islam.

Latar Belakang Historis:

Asal-Usul Dinasti Al Saud

Keluarga kerajaan Arab Saudi, Āl Saʿūd, bukanlah keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Mereka berasal dari klan Banu Hanifa, bagian dari suku Bani Anza, yang bermigrasi ke wilayah Najd (sekarang Riyadh) pada abad ke-15.

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW berasal dari klan Banu Hashim, cabang suku Quraisy di Mekkah. Perbedaan klan ini menjadi kunci mengapa Raja Arab Saudi tidak memiliki hubungan genealogis dengan Nabi.

Dinasti Al Saud memulai kekuasaannya pada 1727 ketika Muhammad bin Saud bersekutu dengan pemimpin agama Muhammad bin Abdul-Wahhab, pendiri gerakan Wahhabi.

Aliansi politik-religi ini menjadi fondasi legitimasi kekuasaan mereka, menggantikan klaim keturunan Nabi dengan legitimasi berbasis penegakan Syariah dan perlindungan terhadap tanah suci Islam.

Legitimasi Kekuasaan: Wahhabisme vs. Keturunan Nabi

Dalam tradisi Islam, klaim kepemimpinan atas tanah suci Mekkah dan Madinah sering dikaitkan dengan keturunan Nabi (ahlul bait). Namun, Dinasti Al Saud membangun otoritasnya melalui peran sebagai pelindung gerakan Wahhabi, aliran konservatif yang menekankan pemurnian ajaran Islam.

Kekuatan mereka terletak pada kemampuan mengkombinasikan kekuatan militer, kontrol atas sumber daya minyak, dan dukungan ulama Wahhabi.

Pasal 5 Undang-Undang Dasar Saudi (Basic Law of Governance) secara eksplisit menyatakan bahwa raja harus berasal dari keturunan pendiri kerajaan, Abdulaziz Al Saud (Ibn Saud), bukan dari garis keturunan Nabi. Hal ini mempertegas bahwa legitimasi Monarki Saudi bersifat politis-religius, bukan genealogis.

 

Peran Ulama dan Kontrak Sosial

Kemitraan antara Al Saud dan ulama Wahhabi telah menjadi “kontrak sosial” tak tertulis sejak abad ke-18. Ulama memberikan legitimasi keagamaan, sementara keluarga kerajaan menjamin stabilitas politik dan keamanan.

Misalnya, selama pendirian Kerajaan Saudi modern pada 1932, Ibn Saud mengandalkan fatwa ulama untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.

Namun, hubungan ini mulai berubah di era Mohammed bin Salman (MBS). MBS membatasi peran ulama dengan memberdayakan lembaga sekuler seperti Dewan Konsultatif (Majlis al-Shūrā) dan menahan ratusan ulama yang kritis. Meski demikian, klaim sebagai “penjaga dua kota suci” (Mekkah dan Madinah) tetap menjadi pilar utama legitimasi Saudi di mata dunia Islam.

Dinamika Politik Modern dan Kritik

MBS, sebagai penguasa de facto Saudi, telah menggeser narasi legitimasi dari agama ke nasionalisme Saudi (Neo-Saudism).

Program reformasi Visi 2030 menekankan modernisasi ekonomi, diversifikasi dari ketergantungan minyak, dan perluasan hak perempuan.

Namun, reformasi ini tidak diikuti dengan pembukaan ruang politik—partai politik dilarang, dan kritik terhadap pemerintahan dianggap sebagai tindakan kriminal.

Kritikus sering mempertanyakan mengapa keluarga non-keturunan Nabi bisa menguasai tanah suci. Jawabannya terletak pada sejarah panjang konsolidasi kekuasaan Al Saud melalui perang suku, aliansi strategis, dan kontrol atas sumber daya.

Misalnya, dalam “kudeta istana” 2017, MBS menggulingkan Mohammed bin Nayef—seorang pangeran senior—dengan taktik intimidasi, menunjukkan betapa kekuasaan Saudi lebih mengandalkan realpolitik daripada legitimasi keturunan.

Perbandingan dengan Monarki Islam Lain

Di beberapa negara Muslim, seperti Maroko dan Yordania, raja mengklaim garis keturunan Nabi (dikenal sebagai syarif atau sayyid).

Namun, Saudi justru menonjolkan perannya sebagai penjaga situs suci, bukan keturunan biologis Nabi. Klaim ini diperkuat dengan investasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur haji dan proyek perluasan Masjidil Haram.

Kesimpulan

Kekuasaan Raja Arab Saudi tidak bergantung pada garis keturunan Nabi Muhammad SAW, tetapi pada kombinasi kontrol politik, aliansi dengan ulama, dan penguasaan sumber daya strategis.

Meskipun klaim religius tetap penting, Dinasti Al Saud telah beradaptasi dengan dinamika global melalui modernisasi dan nasionalisme. Tantangan ke depan adalah mempertahankan legitimasi ini di tengah tekanan reformasi dan ketegangan antara tradisi dengan modernitas.  (#)

- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img