Jempolindo.id– Jember – Kebudayaan Jember, menjadi materi diskusi saat Forum konco dewe menggelar diskusi bertajuk Menuju Jember sebagai Kabupaten Bekebudayaan, di Kedai Markesot, yang mencoba membahas gerakan kebudayaan di Kabupaten Jember, yang dinilai beberapa kalangan kebudayaan belum menemukan bentuk seutuhnya. Jum’at (15/10/2021) malam.
Hadir sebagai nara sumber dalam diskusi ala warung kopian itu, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Dr Ikwan Setiawan dan Ketua Dewan Kebudayaan Jember Dr Eko Suwargono. Sedangkan, audiens yang hadir tampak para aktivis dan para pegiat seni dari berbagai kalangan.
Pemandu acara Lukman Winarno, yang juga penggagas lahirnya Forum Konco Dewe (FKD) memberikan pendahuluan dengan mengungkapkan kegelisahan sebagian masyarakat kabupaten Jember yang terwadahi dalam FKD, tentang berbagai persolan yang sedang berkembang di Kabupaten Jember.
“Malam ini kita coba gali dari dua nara sumber, untuk kemudian kita jadikan sebagai referensi dalam memahami pokok – pokok gerakan kebudayaan,” ujar Lukman.
Ikwan Setiawan mengawali dari kritiknya terhadap stigma Jember sebagai kota Pandalungan, yang menurutnya telah mencoba menghilangkan keberagaman yang masih belum lebur dalam satu entitas.
Karakater Masyarakat, kata Ikwan sangat beragam, yang masing-masing karakternya belum lepas sepenuhnya dari asal budaya itu, karenanya belum bisa disebut sebagai pandalungan.
“Jember wilayah utara, masih sangat kental karakter maduranya, demikian pula dengan karakter budaya jawa, juga tidak berkenan disebut sebagai pandalungan, karena memang ciri ke jawa annya masih sangat kental,” jelasnya.
Sepertinya, Ikwan lebih bersepakat untuk menguatkan masing-masing entitas kebudayaan yang tumbuh di Kabupaten Jember, sebagai entitas yang unik, yang justru diyakininya sebagai ciri kebudayaan Jember.
Untuk memperkat argumennya, Ikwan menyebut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang merupakan jalan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia: menjadi masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik.
“Jadi siapapun berhak terlibat langsung dalam memajukan kebubayaan, bukan hanya Disparbud, bukan hanya kelompok-kelompok yang direstui oleh Bupati,” tegasnya.
Sedangkan Ketua DKJ Jember Dr Eko Suwargono menyampaikan kritiknya yang skeptis terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Jember yang lebih mengarah kepada upaya memapankan kekuasaan, dan cenderung kapitalistik.
‘Jika begitu, sudah tidak akan mungkin melahirkan strategi menuju Jember kota kebudayaan,” tandasnya.
Argumennya dibangun dari pemahaman bahwa kebudayaan kata Eko tak lepas dari nature, yang terdiri dari alam, manusia, dan juga kelengkapan tata kelola daerah, yang dalam pergerakannya terkadang juga bermuara pada politik.
“Tentunya, gerakan politik kita harapkan yang melekat nuansa ruh nature,” ujarnya.
Tentu saja, kata Eko Jember naturnya terdiri dari kawasan pantai, gunung, agraris, dan perkebunan, sehingga jika alam itu tidak ada manusianya, maka tidak akan berlanjut pada ekspresi.
“Nah kebudayaan itu bertumpu pada budinya, bukan dari nafsunya, kalau capital itu dari nafsunya, sehingga yang dimaksud dengan kota kebudayaan itu adalah kota yang tata kelolanya bersumber dari budi,” tandasnya.
Lebih lanjut Eko menyoroti semakin memudarnya upaya mengamankan produk tehnologi tradisional, seperti tehnologi tradisional di bidang pertanian dan Nelayan.
“Harusnya tehnologi tradisional itu didokumentasi sebagai dokumen sejarah kebudyaan di kabupaten Jember,” tegasnya.
Sementara pakar hukum Dr Jayus SH MH, meluruskan sebutan kota kebudayaan menjadi Kabupaten Kebudayaan, karena secara administratif memang masih berwujud kabupaten.
Termasuk juga menyoal simbol Jember sebagai kota tembakau, yang menurutnya harusnya dipertahankan dan diperkuat dengan gagasan – gagasan yang memperkuat cirinya sebagai kota tembakau.
Kepala Desa Jubung Bhisma Perdana yang juga hadir pada kesempatan itu, memberikan pendapatnya, yang menurutnya kebudayaan Jember masa kini tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan dimasa lampau.
“Saya pikir Jember merupakan miniatur Indonesia, karenanya diperlukan kesamaan visi untuk merealisasikan gagasan Jember akan maju, dengan tetap mempertahankan persatuan dan kesatauan,” ujarnya.
Menyikapi gerakan kebudayaan di Kabupaten Jember, pemerhati kebudayaan Dima Akhyar, merupakan gagasan yang tidak bisa mendadak bisa diwujudkan, melainkan tentu saja diperlukan prosesnya.
Dima melihat belum ada gagasan tentang kebudayaan Jember yang belum sepenuhnya bisa diterima oleh semua kalangan, sehingga semua simbol yang dilekatkan pada Jember masih belum terwujudkan.
Lebih lanjut, Dima menyimak ada dua gerakan besar diantaranya gerakan kebudayaan dan gerakan kapitalistik.
“Nah tentunya, mesti dijelaskan konsepnya, dipetakan secara jelas, sehingga dapat lebih mudah diwujudkan,” tukasnya. (*)