Jember _ Jempolindo.id _ Kekhawatiran Prof.H.M. Ryaas Rasyid mantan MenPANRI bahwa otonomi daerah, akan melahirkan raja – raja kecil di daerah ternyata benar-benar terbukti.
Sejak UU 22/1999 tentang otonomi daerah diberlakukan yang dominan desentralisasi sebagai antitesa UU sebelumnya yang sentralistik dan kemudian mengalami 2 kali perubahan, faktanya tidak cukup ampuh untuk mengekang kedigdayaan jabatan bupati.
Sebagai otorisator keuangan daerah, seorang bupati dapat menetapkan kebijakan apa saja selain yang dilarang oleh aturan.
Sebagian digunakan untk menyelesaikan janji politiknya, sebagian untuk memenuhi aspirasi mitra sejajarnya DPRD, sebagian untuk memenuhi aspirasi masyarakatnya dan sebagian yang lain tentu saja untuk memenuhi obsesi pribadinya.
Pemilihan bupati dan wakil bupati secara langsung sudah berlangsung selama 4 kali.
Sejak awal calon bupati dan wakilnya memutuskan untuk tandem sebagai pasangan yang akan ikut kontestasi pilkada, sudah secara implisit terindikasi bahwa kedudukan wakil bupati cukup sebagai ban serep.
Apalagi sumberdaya biaya politik seluruhnya dikeluarkan oleh calon bupati, sedangkan calon wakil bupati cukup mengandalkan sumberdaya elektoral.
UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah sejatinya mengamanatkan ingin membangun pemerintahan yg efektif berbasis urusan.
Akan tetapi dalam hal pelimpahan wewenang dari bupati kepada wakil bupati tidak diatur dan faktanya sebagian besar pemerintah daerah tidak menetapkan power sharing diantara keduanya.
Salah satu best practise yang patut dicontoh adalah Pemkab Banyuwangi, yang pada tahun 2013 menerbitkan keputusan bupati tentang pendelegasian wewenang dari bupati kepada wakil bupati pada beberapa bidang, diantaranya bidang pengawasan, pengelolaan keuangan, hukum, perizinan dan SDM.
Oleh sebab itu tidak heran jika Banyuwangi pada era itu menjadi salah satu kabupaten yang berhasil dalam implementasi otonomi daerah.
Seandainya bupati tidak melimpahkan sebagian kewenangannya kepada wakilnya maka bupati sudah “mendeclare” dirinya sebagai raja kecil dan wakilnya hanya ban serep yang bekerja jika mendapat penugasan.
Hal yang lebih ironis adalah ada sebuah daerah yang melimpahkan wewenang kepada wakil bupati, hanya dalam urusan perceraian ASN saja.
Oleh sebab itu siapapun tokoh yang berminat ikut kontestasi pilkada sebagai calon wakil bupati sebaiknya bersiap-siap dengan situasi itu.
Perubahan yang begitu cepat akibat semakin cerdasnya manusia, semakin gilanya perkembangan teknologi, menyebabkan seorang bupati harus membawa organisasi pemerintahan menuju arah strategi baru.
Saat-saat dimana bupati terpilih mulai aktif bekerja adalah masa transisi yang penuh warna bagi para ASN.
Bupati terpilih harus mampu menjamin bahwa proses adaptasi pasca pilkada di birokrasi berjalan mulus. Bupati terpilih wajib meng”engage” (menautkan) pikiran/hati anak buahnya.
Dia perlu mempraktekkan komunikasi tingkat tinggi, jago mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas progresif birokrasinya agar bisa jadi bupati yang dicintai bawahan dan masyarakatnya.
Bupati harus sadar bahwa individu-individu yang akan dibimbingnya adalah pemain tangguh.
Mereka telah dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi dan penuh turbulensi.
Mereka telah dilatih menghadapi hal-hal eksternal seperti perubahan peraturan dan perkembangan teknolog.
Pilkada adalah momentum perubahan suatu masa dimana efektifitas dan ketangguhan bupati terpilih DIUJI.
Semoga para bupati terpilih dalam pilkada serentak tahun ini tidak bermental raja kecil yang merasa paling pintar, paling hebat dan paling berkuasa. (*)