22 C
East Java

Masyarakat diminta waspada Merebaknya  Aksi Radikalisme dan Terorisme Di Tengah Wabah Covid-19

Loading

SURABAYA_Jempol. Sejumlah kalangan meminta kepada semua lapisan masyarakat untuk tetap tidak mengendorkan kewaspadaan diri atas kemungkinan adanya aksi radikalisme dan terorisme di tengah proses upaya pencegahan wabah virus corona atau covid-19.

Beberapa tokoh  yang meminta kewaspadaan itu diantaranya  Dr Hesti Armiwulan S.H, M. Hum,  Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur,  Mantan Narapidana Teroris (Napiter) yang juga  pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan,  Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama,  Dr. Abdul Jamil Wahab serta Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Aisha Kusumasomantri, S.Sos, MA.

“Saat ini, semua upaya mesti difokuskan untuk penanganan dan pencegahan Covid-19, meski demikian masyarakat tidak boleh lengah dan selalu waspada terkait kemungkinan adanya aksi radikalisme dan terorisme di tengah wabah pandemi virus corona tersebut,” kata Hesti saat dihubungi pers, Rabu (22/04/2020)

Lebih jauh Hesti yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Surabaya menyatakan bahwa dari hasil pantauan Badan Nasional Pencegahan Terorisme menyebutkan provinsi Jatim merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerawanan potensi aksi radikalisme dan terorisme tertinggi di Indonesia.

“Masyarakat mesti semakin bijaksana dan fokus atas penanganan Covid-19 dan jangan terjebak pada isu yang mematik sikap intoleransi, karena sikap intoleransi ini adalah awal munculnya radikalisme. Biasanya sikap intoleransi ini akan diarahkan pada sikap anti pemerintah,” ujarnya.

Sementara itu, tiga pengamat lainnya,  I Ken Setiawan, Abdul Jamil Wahab dan  Aisha Kusumasomantri, didapuk menjadi narasumber  Talkshow Interaktif  dengan tema Mencegah Radikalisme Berkembang di Tengah Wabah Pandemi Covid-19 yang disiarkan Stasiun Radio Pikiran Rakyat (PRFM) 107,5 FM Bandung pada Rabu, (22/04/2020) pukul 12.00 – 13.00 WlB.

Abdul Jamil Wahab  menyatakan  gerakan terorisme kebanyakan bermotif keagamaan dan balas dendam.

“Mereka akan terus berjuang sampai sistem khilafah islamiyah berhasil mereka berlakukan di Indonesia. Ada hal yang dilematis dalam melawan gerakan ini, karena radikalisme dan terorisme bergerak dengan memperbanyak kelompoknya, untuk regenerasi, dengan memperbanyak komunitas,” kata Abdul Jamil dalam talkshow di PRFM.

Abdul Jamil menyatakan gerakan radikalisme  juga mengikuti perkembangan jaman termasuk dalam kontek komunikasi, meski juga ada yang tetap memilih jalur komunikasi tradisional.

“Era modern jangan dikira para pelaku tidak mengikuti perkembangan jaman termasuk era medsos guna melakukan transformasi faham radikalisme. Kewaspadaan harus dilanjutkan dalam masa pandemi ini. Narasi-narasi yang sifatnya mencerahkan dan membantu masyarakat, harus terus dilakukan,” tegasnya.

Disisi lain, Ken Setiawan mengatakan keyakinannya bahwa para pelaku
Radikalisme tetap melakukan aksi dan aktivitasnya ditengah pandemi covid.

“Mereka jangankan dengan agama lain, dengan satu agama saja mereka ada pada tahap mengkafirkan. Mereka berbanding terbalik dengan slogan Islam rahmatan lil alamin. Dalam hal pandemi ini, mereka memojokkan Pemerintah bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman,” ungkapnya.

Lebih jauh Ken Setiawan menyatakan tujuannya agar warga negara tidak percaya lagi kepada Pemerintah dengan dalih penanganan covid ini salah karena negara tidak menganut sistem khilafah.

“Banyak kebijakan Pemerintah yang dinilai tidak memihak Islam, seperti tidak boleh jumatan dan tarawih. Padahal, ini maksudnya baik. Sudah lihat beberapa saudara kita yang terkena positif covid19 karena Sholat Jumat,” ujarnya.

Secara khusus, Ken Setiawan mengatakan bahwa ada data yang menyebutkan saat ini, hampir 80% kelompok radikal menguasai penggunaan medsos.

“Sehingga sejumlah kebijakan pemerintah positif sengaja diplintir agar menimbulkan rasa ketidaknamyanan pada publik yang pada sisi akhir menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah. Hal ini juga termasuk pada kebijakan pemerintah dalam penangananan Covid-19,” ujarnya.

Sementara itu, Aisha Kusumasomantri, mengatakan Pemerintah Indonesia mengalokasikan segala sumber daya untuk menangani Covid-19, dan kelompok radikal terus memantau untuk mengkitisi kinerja Pemerintah dengan sentimen negatif.

“Kebijakan PSBB dibenturkan dengan kewajiban beribadah dan sistem Khilafah. Ini berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan warganegara kepada Pemerintah. Meskipun ada pandemi ini, bahaya radikalisme tidak hilang, karena walaupun tidak melalui pertemuan-pertemuan tradisional, komunikasi tetap berlanjut melalui chatting di media sosial,” ungkapnya

Lebih jauh Aisha menyatakan mereka munculkan isu bahwa peniadaan bentuk-bentuk kegiatan ibadah merupakan bentuk represi kepada umat Islam.

“Padahal Pemerintah memberlakukan pembatasan dalam rangka memutus mata rantai sekaligus pencegahan penyebaran wabah Covid-19.” katanya.

Secara khusus Aisha mengungkapkan pandemi Covid-19 cenderung mempengaruhi pertahanan negara, seperti alutsista yang dipakai untuk penyemprotan disinfektan. Dalam negara demokrasi ini.

“Kita tidak bisa mengontrol media. Perkembangan TI yang sedang terjadi berdampak pada masyarakat dalam menggunakan sosmed. Kita masuk dalam _paradox of the plenty_. Dimana semakin banyak informasi yang kita terima, semakin kita bingung mana informasi yang bisa dipercaya,” tegasnya.

Aisha menambahkan,  kelompok teroris cendrung memanfaatkan situasi corona untuk menyebar ketakutan.

“Mereka bisa menyebarkan ketakutan di masyarakat, dalam bentuk lain, peralihan dari penyebaran ketakutan yang sebelumnya mereka melakukan _fear bombing_.” (*ok)

Table of Contents
- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img