Filsafat, Hermeneutika, dan Hukum: Sekadar Pemantik

Loading


Oleh: Zulfikar Prawiranegara & Trisna Aresta. (*)

Kritik Untuk Dunia Pendidikan
Meski belum bisa jadi kesimpulan, berdasarkan pengamatan dan pengalaman berbincang dikalangan mahasiswa dapat dipahami bahwa dunia filsafat adalah dunia yang tidak menarik, rumit, mengawang-awang, tidak ada ujungnya , tidak penting atau bahkan tabu.


Kedunguan itu membuat pisau analisis mahasiswa menjadi tumpul, dan terjebak dalam rasionalitas teknis (rasional dalam detil, namun irasional dalam keseluruhan) sebagaimana dimaksud Herbert Marcuse dari mazhab Frankfurt. Cara berpikir yang positivis dan saintis, membuat seorang manusia menjadi one dimensional men.

sistem yang bersifat represif, ketidaksadaran (unconsiousness) dan keacuhan makin membuat mahasiswa terasing dari kemampuan alamiahnya untuk mengekpresikan kebebasan sebagai mahluk yang esensial.


Sementara pihak penyaji ilmu (fakultas) juga sudah tidak menarik lagi. Apa yang disajikan seakan terkesan tidak ada gunanya bagi mahasiswa, lagi-lagi mahasiswa lebih mementingkan cara, bukan tujuan.


Harusnya lebih mengedepankan literasi bukan indoktrinasi, yang mematikan seluruh proses berdialektika dan membuat mahasiswa “jadi”. Padahal manusia sejatinya “menjadi”, bukan “jadi”.


Mahasiswa dipaksa mencari kebenaran dan diharuskan netral, bebas nilai, bebas kepentingan, harus “objektif” katanya. Sehingga dalam berproses, mereka hampir bebas dari nilai kemanusiaan, keadilan, kerakyatan, nasionalisme. Akibatnya mahasiswa lupa sedang berada dalam dimensi politis dan etis.


Akhirnya, watak ilmu dan argumennya menjadi apolitis. Padahal, ilmu bukanlah untuk ilmu, melainkan juga untuk perubahan sosial (social transformation). Mahasiswa kuliah bukan hanya untuk memperebutkan klaim kebenaran.


Lagi-lagi, paradigma positivistik yang diterapkan lembaga pendidikan haruslah diganti menjadi kritis dan transformatif. Agar argumentasinya bisa lebih berwatak emansipatif, pembebasan.


Praktik-praktik “seni untuk seni” dan “pegiat alam” serta gerakan anti ideologi/suatu kelompok, yang sangat eksklusif masih sangat kental di lembaga pendidikan.


Mengabaikan filsafat sama halnya dengan menjauhkan manusia dari dunia pemikiran. Alfarabi mengatakan “tidak ada sesuatu pun di alam ini yang tidak bisa dimasuki filsafat”. Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh kebenaran.


Filsafat adalah suatu “keharusan” bagi setiap manusia yang hidup. Ketika menempuh pendidikan di tingkat SMA, untuk membentuk pola pikir maka siswa dipaksa bermatematika. Namun dalam fakultas hukum dengan apa? tentunya dengan filsafat.


filsafat
Secara etimologi filsafat adalah philos yang berarti cinta dan shopia yang berati kebijaksanaan. Cinta yang dimaksud adalah hasrat yang besar dan sungguh-sungguh, sedangkan kebijaksanaan yang dimaksud adalah kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Jadi dapat disimpulkan bahwasannya filsafat adalah alat untuk mencari kebenaran melalui keinginan dan proses untuk mengetahui hakekat segala sesuatu secara mendalam.

Dalam filsafat banyak sekali aliran dan pola berfilsafat. Namun untuk memudahkan, maka filsafat dapat dibagi menjadi tiga lahan yaitu : ontologi (studi tentang “yang ada”), epistemologi (studi tentang pengetahuan), dan aksiologi (studi tentang tindakan/nilai).

Dari pembagian lahan filsafat tersebut, saya melihat ada beberapa turunan dari ketiganya. Ontologi meliputi kajian materialisme, idealisme, dualisme (Rene Descartes) dan sebagainya. Epistemologi meliputi kajian rasionalisme, empirisisme, fenomenalisme (Immanuel Kant) dan sebagainya. Aksiologi meliputi etika dan estetika.


Bagi kami yang paling menarik dari lahan tersebut adalah masalah epistemologi karna kita akan membicarakan bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Selain itu, epistemologi adalah lahan filsafat yang pertama harus dipelajari karena hal ini adalah “alat” kita untuk kemudian berkontemplasi lebih jauh lagi.


Berbicara epistemologi pasti membicarakan “pemahaman”. Untuk memperoleh pemahaman, maka harus memahami. Memahami berbeda dengan mengetahui. Memahami itu lebih dalam lagi hingga dituntut merasakan hakekat kebenaran.


Memahami bukan sekadar untuk memperoleh data saja, melainkan untuk memperoleh makna. Karena data dapat diperoleh dari berbagai sumber termasuk komputer dan turnitin, namun makna hanya dapat ditangkap oleh manusia.


Pemahaman itu yang merangsang untuk menelusuri beberapa metode atau pisau analisis. Ketika kami mulai mempelajari marxisme, yakni materialisme historis dan materislisme dialektis membuat semakin tertarik hingga sampai ke teori kritis yang mampu menyentuh bagian terdalam dari rasionalitas dan hermeneutika yang mengkaji masalah interpretasi.


Dalam masyarakat demokratis yang plural dan majemuk, masalah interpretasi terutama dalam agama dan hukum seringkali menjadi perdebatan diantara masyarakat dan kalangan akademisi. Kemudian dalam tataran praktik penegakan hukum pun seringkali terjadi masalah hingga berpengaruh pada keputusan hukum yang mengikat dan polemik-polemik mengenai keadilan.


Penegak hukum tidak dibekali dengan metode yang manusiawi dan terlalu menganggap penafsiran hukum adalah juga bagian dari hukum. Hermeneutika sendiri sangatlah penting dalam semua bidang keilmuan, terutama dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan juga ilmu hukum. Namun sayangnya hermeneutika tidak pernah sama sekali disentuh dan dipelajari dalam fakultas hukum dan menurut kami untuk kedepannya harus ada.


Sayang sekali untuk dilewatkan. Metode interpretasi yang sangat sering didapatkan dalam fakultas hukum ialah antara lain penafsiran gramatikal yang mencoba menafsirkan teks hukum melalui kata-kata yang tersusun dalam teks hukum seperti undang-undang dan mencari pengertian kata yang sering dipakai. Kemudian ada penafsiran autentik yaitu tafsir teks hukum yang sudah menjadi satu kesatuan dalam undang-undang misalnya.


Kemudian ada penafsiran sistematis yang berusaha menafsir dengan mencari keterkaitan antar pasal dan peraturan satu dengan peraturan lainnya. Lalu ada penafsiran historis yang menelusuri makna dilihat dari segi historisnya atau perjalanan dan alasan sebuah peraturan dibentuk.


Penafsiran a contra rio yang mencari sisi yang berlawanan dari diksi sebuah teks. Semua metode tersebut di “teorikan” seakan berusaha menafsirkan hukum sebagai “teks” dalam arti sempit. Dalam ilmu manusia khususnya hukum, teks sudah seharusnya dipahami bukan sekedar tulisan ataupun hitam diatas putih. Melainkan teks harus dipahami dalam arti luas. Maksudnya adalah teks sebagai jejaring makna yang didalamnya terdapat struktur simbol-simbol yang kemudian harus disingkap maknanya.


Teks adalah realitas. Derrida mengatakan “everything is text and there is nothing beyond the text”. Oleh karenanya, hermeneutik sangatlah diperlukan untuk memahami semua itu. Jika Jean paul Sartre mengatakan manusia dikutuk untuk bebas, maka kami berani mengatakan manusia sudah dikutuk untuk memahami.

Hermeneutik
Hermeneutika berasal dari kata yunani yang artinya menerjemahkan atau menafsirkan atau menginterpretasikan. Lebih dalam lagi, kata kerja tersebut dapat diartikan “bertindak sebagai penafsir”.

Kemudian kata tersebut sangat erat kaitannya dengan dewa yunani yang disebut “hermes”, yaitu tokoh mitologi yunani yang bertugas menyampaikan pesan dari sang Dewa kepada manusia.

Sebelum hermes menyampaikan pesannya, maka ia harus lebih dulu memahami dan menafsirkan agar dapat disampaikan dengan baik kepada manusia. Dari versi lain, hermes disebut sebagai nabi Idris a.s yang notabene adalah manusia pertama yang mengetahui tulisan, pertenunan, kedokteran, dan lain-lain.


Sebetulnya, hermeneutika sangat erat kaitannya dengan bahasa. Bahkan menurut Prof. Kaelan hermeneutika adalah perkembangan dari filsafat bahasa sampai ke era logosentris yang dipelopori oleh filsuf jerman dan perancis ketika mereka melihat problema bahasa yang tidak mampu mengungkap hakikat kehidupan manusia yang sebenarnya.


Hermeneutik mempunyai sejarah panjang dalam perkembangannya sebagai metode untuk menafsir. Menurut Richard E. Palmer melalui F. Budi Hardiman, hermeneutik berkembang dalam enam tahapan, yaitu: pertama, hermeneutik sebagai metode tafsir bibel (eksegesis).
Kedua hermeneutik sebagai metode tafsir teks-teks kuno (filologis). Ketiga, hermeneutik sebagai pemahaman linguistik yang dipelopori oleh schleiermacher dan ahirnya meluas sampai penggunaannya meliputi seluruh teks. Keempat hermeneutik sebagai metodologi ilmu sejarah/sosial yang dirintis oleh Dithey (interpretasi sejarah).
Kelima, hermeneutik sebagai kajian ontologi yakni fenomenologi dasein (eksistensialis). Keenam, hermeneutik sebagai sistem interpretasi/penafsiran yang dikembalikan oleh Paul Ricoeur.

Demikianlah hermeneutik berkembang, mulai dari menafsirkan teks-teks otoritatif hingga hermeneutik sebagai “metode”, dan hermeneutik filosofis yang menjadi dasar manusia untuk “berada”.


Dari perkembangannya, hermeneutik mempunyai sasaran tembak yaitu literalisme. Literalisme sendiri adalah cara memahami teks dengan makna harfiahnya saja, tanpa melihat konteksnya hingga menyebabkan berakhir pada keyakinan kalau makna harfiah adalah adalah makna final yang penulisnya maksudkan.


Sang penafsir tidak mempertimbangkan hal lain seperti kondisi politik, sosial historis, sosio kultur yang sudah barang pasti mempengaruhi pembuatan teks tersebut. Bayangkan saja ketika semua teks hukum dibaca dengan cara literalistis, inilah yang menyebabkan bangsa ini terus terpecah.


Dalam negara demokratis semua sudah dituntut untuk saling memahami. Demikianpun juga lembaga-lembaga negara dan lembaga yudisial.


Hukum
Dalam hukum, hermeneutika sangat berkaitan dengan penafsiran hukum. Penafsiran hukum seperti yang dijelaskan diatas mengalami beberapa keamburadulan metode interpretasi. Padahal hukum pada dasarnya adalah sebuah teks yang harus selalu diinterpretasikan.


Hans Georg Gadamer mengatakan, hermeneutik hukum sebenarnya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, namun justru lebih tepat bila digunakan utntuk memecahkan persoalan hermeneutis dan menemukan kembali kesatuan, dimana para ahli hukum bertemu dengan mereka yang megkaji ilmu humaniora.


Namun banyak sekali perdebatan mengenai hermeneutika di bidang hukum hingga membuat Brad Sherman melalui Gregory Leyh mengatakan hal itu terjadi karna kurangnya pemahaman terhadap hermeneutika dan pendekatan yang tidak hermeneutis terhadap hermeneutika. Sehingga ini menjadi perlu untuk dikaji lebih dalam.


Gerald L. Bruns mengkaji bahwasannya hukum adalah sebuah teks dengan model seperti yang disebut Ronald Dworkin sebagai proposisi logis yang bisa dinilai benar atau salah.

Selain itu ia membandingkannya dengan Peter Goodrich yang menyebut hukum tidak bisa tidak, selalu terkait dengan sejarah (harus dihistoriskan) dan selalu terkait dengan kondisi disekitarnya seperti politik, sosial, gender, teknologi dan sebagainya.


Kedua tokoh tersebut menuai perdebatan yang dinilai Bruns sebagai kegagalpahaman terhadap hermeneutik. Menurut Bruns, hermeneutik hukum bukan berada di ranah konseptual dan praktik yudisial, melainkan lebih kepada bagaimana semua itu berjalan.

Hermeneutika tidak terlalu terpaku dengan logika hukum yang positivis dan terdeterminasi, melainkan lebih bebas dalam melihat hukum.


Hermeneutika hukum tidak akan pernah menjadi sebuah teori hukum, melainkan ia akan menyingkap persoalan hukum ketika hukum tidak bisa lagi dipecahkan dengan sebuah metode yang sudah familiar bagi kita.

Karena hukum harus selalu dipertentangkan dan dipertanyakan. Hermeneutika hukum kemudian melepaskannya dari sisi dogmatisnya dan kemapanannya. Sehingga kita bisa masuk lebih dalam dan lebih memahami persoalan, sehingga keadilan akan semakin nampak buat kita.


Dari sisi lain, perkembangan hermeneutika hukum disusun kembali oleh Francis Lieber filsuf jerman-amerika yang berusaha “mempolitisasi” hermeneutik. Menurut lieber hermeneutik harus selalu digunakan karena kita dituntut memastikan kata-kata dan mengatur tindakan agar sesuai dengan semangat dan kandungannya.

Hermeneutik terutama harus digunakan dalam hukum dan politik karena disinilah manusia banyak memanipulasi kata-kata.
Kemudian Lieber memberikan konsep atau jalan baru untuk hermeneutik yang diamerikanisasi olehnya sehingga menjadi sangat berguna bagi masyarakat demokratis dan kesejahteraan rakyat. Lieber tidak mengkonstruk sebuah teori, tetapi merumuskan beberapa prinsip interpretasi yang disumbangkan untuk kehidupan politk dan hukum, ia membaginya menjadi dua bagian: interpretasi dan konstruksi. Interpretasi maksudnya adalah sebuah upaya untuk menemukan makna yang sesungguhnya dari teks yang dibuat pengarang untuk menyampaikan gagasannya.


Makna yang dimaksud tersebut yakni makna yang memang dikehendaki si pengarang untuk disampaikan.

Selanjutnya yang dimaksud dengan konstruksi ialah kesimpulan yang berupa “spirit” dari unsur yang terdapat dalam teks. Lieber berani menuangkan prinsip-prinsip tersebut agar hukum selalu diungkapkan maknanya dengan tepat, sehingga dalam suatu kasus hukum, semua pihak bisa memahami posisinya masing-masing berdasarkan bukti,data dan fakta sampai semua pihak mendapatkan hak dan keadilannya.


Apa yang dituangkan oleh Lieber dalam prinsip-prinsip tersebut bagi sebagian orang mungkin sudah familiar. Namun sebagian orang tersebut bahkan tidak mengetahui kalau itu adalah sebuah gagasan yang dibangun oleh filsuf-filsuf yang berangkat dari kondisi realitas dimana mereka berada.


Kita seringkali melupakan sebuah sejarah yang kemudian menyebabkan lagi-lagi, kegagalpahaman dan pertikaian. Seperti orang yang memukul ibunya, tetapi ia tidak tahu kalau ia dilahirkan dari rahim ibunya.


Ya, di era logosentris ini, kehidupan berbangsa kita tidak bisa terlepas dari permainan bahasa dan pemahaman terhadap bahasa.

Bahasa selalu berkembang dan berubah seiring dengan kehidupan. Semua yang kita lakukan selalu dengan bahasa. Bahkan untuk berbicara dalam hati saja, berbicara pada diri sendiri, atau lebih sederhananya berfikir, kita harus menggunakan bahasa.

Apalagi dalam dunia hukum. Hukum haruslah disusun atau dikonstitusikan dengan bahasa yang baik. Sedang bahasa yang baik adalah bahasa yang hidup. Dan bahasa yang hidup ialah bahasa yang mampu beradaptasi dengan segala konteksnya, relasi-relasi baru, dan gagasan-gagasan baru yang luas.


Sisi lain dari hal tersebut, seluruh masyarakat, khususnya kita sebagai ilmuwan hukum harus memperkaya rasionalitas kita dengan “belajar memahami” teks dalam arti luas. Dan untuk lembaga pendidikan hukum kita, agar meningkatkan wacana kajian filsafat dan hermeneutika, karna justru konsepsi ini lah yang akan menolong hukum dan ilmuwan hukum untuk berintegritas.


Menciptakan ruang-ruang dimana kita bisa mempreteli kepastian dan ortodoksi hukum, serta bertindak sedikit “liar” terhadap hukum. Seorang iluwan hukum atau praktisi hukum sekalipun, tidaklah bisa menjadi baik ketika hanya diajarkan mengenai hal-hal teknis, mekanistis, dan normatif. Kita harus merambah ke arah yang lebih luas dan lebih manusiawi.

Merasuk ke alam sejarah dan mengawinkannya dengan konteks.
Akhir kata, percayalah ini semua semata-mata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(*) Penulis : Mahasiswa Fakultas Hukum Jember dan Sekretaris Cabang GMNI Jember

Table of Contents