Jempolindo.id – Jember. Dana Desa (DD) yang jumlahnya antara 800 juta – 1 M per tahun masih belum mampu mengentas angka kemiskinan.
Faktanya, seperti pernah disampaikan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tingkat kemiskinan Propinsi Jawa Timur masih relatif tinggi, Kabupaten Malang menduduki peringkat pertama dan disusul Kabupaten Jember.
Pernyataan Gubernur Jatim itu diperkuat dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jember jumlah penduduk miskin di Jember tahun 2018 turun dibandingkan 2017. Persentase penduduk miskin 2018 mencapai 9,98 persen atau 243.420 jiwa, sedangkan 2017 mencapai 11,00 persen atau 266,900 jiwa.
Secara kuantitas jumlah penduduk miskin turun. Namun, data BPS menyebut kualitas protret kemiskinan semakin naik. Berdasarkan rilis BPS itu terlihat dari makin naiknya Indeks Kedalaman Kesmiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang membuat tingkat kesenjangan sosial makin lebar.
“Secara kuantitas angka kemiskinan memang turun, tetapi secara kualitas potret kemiskinan tidak. Karena Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dibandingkan tahun lalu,” kata Kepala BPS Jember Indriya Purwaningsih, Kamis (3/1/2019).
Angka kemiskinan 2018 diukur dari jumlah pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp 324.174. Pada 2017, jumlah pengeluaran sebesar Rp 310.650.
Jika dihubungkan dengan besarnya anggaran DD yang dikucurkan pemerintah tak berdampak positif terhadap upaya pengurangan tingkat kemiskinan.
Dugaan DD masih dinikmati kelompok elit desa bisa jadi tak sepenuhnya benar. Tetapi juga tak bisa ditolak bahwa DD juga tak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Pernyataan pendamping desa (dengan segala hormat, tidak bisa diaebutkan namanya), sebelum adanya dana desa proggress pembangunan yang ada d desa masih sangat terbatas. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana umum desa maupun kebutuhan untuk peningkatan ekonomi lokal desa melalui program prukades( produk kawasan pedesaan) dengan tujuan untuk meningkatkn perekonomian masyarakat desa.
Sementara, pihak kementrian desa mengucurkan anggaran dana desa yang mengalami peningktan anggaran setiap tahunnya.
Kementrian Desa juga menerbitkan permendesa yang mengatur prioritas kegiatan yang bisa dianggarkan dari dana desa. Pemanfaatannya dibahas melalui musyawarah desa terkait perencanaan pembangunan untuk tahun berikutnya.
Berdasar informasi yang dihimpun Jempol, masih ada pemerintah desa yang fokus kepada kegiatan pembangunan fisik tanpa melihat proposional kebutuhan fisik, kebutuhan pemberdayaan masyarakat, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan akan kesehatan dan kebutuhan petani.
Alhasil, tahun 2020 pemerintah pusat menekankan melalui kemendesa untuk membuat regulasi yang titik tekannya bukan lagi pembangunan fisik saja melainkan juga pemerataan pembangunan kegiatan non fisik.
Sayangnya, political wiil pemerintah pusat tak dikuti dengan penguatan regulasi dtingkat kabupaten.
Persoalan mendasar dari kemiskinan adalah belum terbukanya lapangan kerja di pedesaan. Bahkan, ada kecendrungan semakin tingginya tingkat pengangguran terbuka.
Posisi buruh tani juga belum ada regulasi yang mengatur pendapatan buruh tani sebagaimana buruh pada umumnya. Buruh petani bekerja menyesuaikan pola tanam budi daya pertanian.
Sedangkan, sektor ekonomi lainnya di pedesaan belum tergarap serius, sehingga tak salah jika besaran anggaran DD dibilang tidak berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi signifikan. (*)