Malang, Jempolindo.id – Wahyuni Refi, mantan Aktivis GMNI ini sebenarnya berlatar belakang seorang Doktor Ilmu Politik, yang berhasil menulis Novel berjudul “Bumi Lorosae”.
Novel ini sebelumnya sudah di luncurkan di Jakarta, kemudian berlanjut di dua kota Jawa Timur, yakni di MCC Kota Malang, pada Rabu (26/02/2025).
Usai dari Malang, direncanakan bakal launching di Unesa, pada Kamis (27/02/2025).
Saat di Malang, Peluncuran dan Diskusi Novel Bumi Lorosae, Wahyuni Refi didampingi, Damhuri Muhammad, Prof Dr Djoko Saryono dan Mashdar Zainal.
Seorang saksi sejarah berasal dari Timor Leste, Joaniko, berharap Novel ini akan mewarnai, sejarah hubungan Indonesia dan Timor Leste.
“Bapak saya dibunuh oleh tentara Indonesia, tetapi sekaligus saya diambil anak Tentara Indonesia,” ujarnya.
Joaniko mencoba menggambarkan pengalaman masa kecilnya, tentang peperangan yang sama sekali tidak dipahaminya.
“Peluru memang tidak punya mata, yang ada hanyalah pembunuh dan terbunuh,” katanya.
Novel ini mengambil kisah nyata, tentangvsejarah hubungan dua bangsa, Indonesia dan Timor Leste, dari beberapa periodesasi penjajahan Portugis, Integrasi dengan Indonesia, hingga mengalami Disintegrasi.
Berdasarkan cuplikan, Refi dengan cerdas menggambarkan kisah Martino da Costa, yang mendedikasikan segenap stamina mudanya, guna menyingkap kematian Olimpia dalam sebuah eksekusi di tahun 1980, dengan berbagai aral yang melintang, dan hampir merenggut nyawanya.
Carlos dos Oliveira bekerja keras menyelesaikan riset doktoralnya, tentang prahara Timor Timur, demi membuktikan kebenaran ideologis faksi pro integrasi.
Widya Iswara, menantang bahaya demi membebaskan ayahnya, demi terbebas dari tudingan penjahat perang.
Bara Samudra alias Elito Kecil, sangat terobsesi untuk menemukan silsilah biologis nya, yang ternyata berujung pada timbunan prahara Bumi Lorosae.
Kompleksitas seteru politis, era dekolonisasi Timor-Portugis, pengalaman kelam perang saudara yang menelan ratusan korban, intrik intrik operasi Klandestin, percobaan pembunuhan, benturan keras antar pihak yang bertikai, keterlibatan asing dalam prahara Timor Timur, hingga romansa ganjil dalam generasi baru Timor Leste – Indonesia, terhimpun dalam sebuah tenunan pengisahan yang runyam dan berkelindan, tetapi teras menantang.
Tajam, tapi tak terlukai. Sangar, tapi subtil buas. Buas, tapi tak berbahaya.
Novel Bumi Lorosae Lolos Dari Jebakan
Hampir saja, novel ini terjebak dalam gaya penulisan reportase, seperti yang dikhawatirkan oleh Riri Satria, Penyair dan Penggiat Sastra Akademisi dan Praktisi Bisnis dan Teknologi.
“Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti,” kata Riri.
Bahkan Riri menilai Refi sanggup keluar dari perangkap tersebut. “Saya menikmati kisah yang mengalir pada novel ini, walau dalam beberapa bagian nuansa jurnalistiknya masih terasa, namun secara keseluruhan, Refi berhasil melakukan proses kreatif untuk menjadikannya sebuah novel,” ungkapnya.
Ketika seorang peserta yang hadir saat launching, menilai Novel Bumi Lorosae, terjebak dalam fiksi, daripada menyuguhkan fakta sejarah, Refi justru merasa dirinya berhasil.
“Kalau ada yang menganggap Novel ini adalah fiksi, saya malah berterimakasih, karena berarti saya berhasil,” ungkapnya.
Usai berlangsungnya diskusi, Refi membagikan Novel Bumi Lorosae secara gratis, kepada 5 penanya. (MR)