16.7 C
East Java

Ketika Kampus Menjadi Sarang Pelecehan Seksual

Loading

Oleh : M. Ubaidullah Hadi *)

            Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non-fisik, yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang. Pelecehan seksual tidak hanya merujuk kepada tindakan yang langsung berkaitan dengan fisik tetapi bisa melalui yang lainnya misalnya siulan, kedipan mata, komentar terhadap bagian tubuh, yang bisa menyebabkan rasa tidak nyaman, tersinggung, bahkan sampai bisa mengganggu psikis dan kesehatan korban.

            Pelecehan seksual adalah intimidasi yang bersifat menghina, merendahkan, dan melanggar martabat terhadap seseorang. Banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual tidak berani melaporkan kepada yang berwajib. Hal ini karena budaya di Indonesia yang menggaggap bahwa ketika perempuan mendapatkan pelecehan akan dianggap hina oleh masyarakat sekitar. Kondisi ini yang mengakibatkan pengaruh terhadap psikis korban. Masalah pelecehan seksual yang sering terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas, yang mana pelaku menganggap korban dirasa masih di bawahnya, sehingga pelaku bebas melakukan apa saja terhadap bawahannya tersebut. Kebanyakan korban pelecehan adalah perempuan karena perempuan dianggap lemah jika dibandingkan dengan laki-laki. Natasha Walter, penulis dan juru kampanye feminis dari Inggris mengatakan “Orang sering salah memahami patriarki sebagai sistem totaliter, di mana semua wanita merasa tidak berdaya setiap saat, dan semua pria merasa kuat sepanjang waktu”.

            Di Jember sendiri ada beberapa kasus pelecehan yang terjadi dalam setahun belakang ini. Kebanyakan terjadi di sekitar daerah kampus Universitas Jember. Misalnya kasus pada sepetember 2018 di jalan Batu Raden, kronologi dari kejadian tersebut adalah ketika seorang perempuan tengah duduk di atas motor di pinggir jalan, lalu  datang seorang laki-laki memarkir kendaraanya dan langsung mendatangi perempuan tersebut lalu dengan seketika memegang bagian tubuh dari perempuan tersebut sampai membuat perempuan tersebut jatuh dari sepeda motor yang lagi didudukinya, dan pelaku langsung kabur. Ada juga di kasus di jalan Jawa, yaitu orang yang sering mempelihatkan alat kelaminnya. Yang terbaru walaupun kasusnya sudah terlanjur basi adalah kasus Ruri di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Diduga pelakunya adalah seorang dosen berinisial HS terhadap mahasiswa yang dibimbingnya dalam pembuatan skripsi. Seorang pendidik seharusnya memberikan pendidikan bukan malah memberi pelecehan. Kasus ini sebenarnya sudah lama terjadi namun baru ramai dibicarakan kembali setelah aliansi mahasiswa peduli penghapusan kekerasan seksual Universitas Jember melakukan aksi. Mereka menuntut pihak kampus untuk segera menyelesaikan kasus tersebut dan membuat regulasi tentang penghapusan kekerasan seksual serta menindak tegas pelaku pelecehan yang akhirnya disetujui oleh rektor Universitas Jember Drs. Moh. Hasan, M. Sc,.Ph.D. pada tanggal 2 mei lalu.

            Berbagai upaya untuk menangani kasus pelecehan seksual sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia dengan keluarnya berbagai peraturan perundang-undangan yaitu: UU No. 1 tahun 1946, UU No.23 tahun 2004,UU No. 35 tahun 2014, dan UU No.21 tahun 2007. Namun demikian, keberadaan perundang-undangan tersebut belum efektif untuk menghapus kekerasan seksual, sehingga kekerasan seksual masih banyak terjadi, terutama terhadap kaum perempuan. Banyak kasus pelecehan seksual hanya berakhir dengan jalan damai di antara kedua belah pihak. Cara tersebut merupakan cara yang sangat tidak efektif karena dengan begitu maka tidak akan ada efek jera terhadap pelaku, pelaku mungkin hanya akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat di sekitarnya. Sulitnya barang bukti untuk memperkuat kasus pelecehan seksual juga menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus pelecehan yang tidak dilaporkan. Banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan memilih untuk bungkam Karena takut jika menyebarkannya ke publik akan mendapatkan stigma yang buruk dari masyarakat.

Degradasi moral di kalangan mahasiswa juga bisa menjadi salah satu faktor pemicu pelecehan seksual. Degradasi ini disebabakan oleh efek globalisasi yang tidak disaring dengan sempurna. Hal ini dapat dilihat dari cara tutur kata dan berpakaian ke kampus  yang mulai mengikuti budaya kebarat-baratan dimana hal itu sangat bertentangan dengan adat ketimuran. Para pendidik seakan menganggap hal tersebut sebagai keadaan yang wajar, padahal secara yuridis sangat bertentangan dengan aturan akademik. Nilai-nilai keagamaan juga harus diperkuat di lingkungan kampus. Pendidikan saat ini hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.

Sebutan dosen mesum sudah menjadi rahasia umum. Banyak kampus yang tidak menyebarkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampusnya sendiri dan memilih diselesaikan dengan cara kekeluargaan dengan alasan menjaga nama baik kampus. Kampus harusnya menjadikan pelecehan seksual sebagai sesuatu yang menjadi perhatian penting dengan menyediakan badan pengaduan yang berbasis perlindungan, kesetaraan dan kerahasiaan, serta menjamin regulasi yang jelas terkait dengan pelecehan seksual. Sanksi harus jelas bagi pelaku karena tak jarang banyak korban yang mendapat sanksi sosial yang lebih berat dibanding pelaku. Penanganan pelecehan seksual  ini harus diselesaikan secara bersama, agar tidak terjadi kasus-kasus selanjutnya.

*) Penulis adalah Aktifis LAPMI Cabang Jember

Table of Contents
- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img