Jempolindo.id – Dalam perjalanan sejarah ekonomi Indonesia, tiga tokoh—Arya Wiraatmadja, RM Margono Djoyohadikusumo, dan Moh Hatta—telah meninggalkan jejak monumental dalam membangun pondasi ekonomi bangsa.
Yayasan Serulingmas (Seruan Eling Banyumas), bersama Sygma Research and Consulting, telah mengusulkan nama RM Margono, sebagai Pahlawan Nasional, yang didukung oleh Pemkab Banyumas.
Serta membuat kajian mendalam, terkait dengan peran ketiga sosok legendaris itu.
Berdasarkan data yang terhimpun, ketiga sosok itu, bekerja di era yang berbeda, namun visinya tentang kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan kedaulatan finansial, menjadi landasan bagi sistem perbankan, koperasi, dan kebijakan ekonomi Indonesia modern.
Arya Wiraatmadja: Perintis Perbankan Rakyat di Era Kolonial

Raden Bei Aria Wiraatmadja (1831–?) adalah sosok visioner yang mendirikan cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada 16 Desember 1895 dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto).
Ide ini lahir setelah ia menyaksikan praktik rentenir yang membebani rakyat dengan bunga tinggi. Bank tersebut bertujuan menyediakan pinjaman berbunga rendah untuk membantu masyarakat kecil, khususnya petani dan pedagang, keluar dari jerat utang.
Sebagai Patih Purwokerto, Wiraatmadja menggabungkan status bangsawannya dengan kepedulian sosial. Meski jasanya besar, namanya kurang dikenal dibandingkan tokoh lain.
BRI yang dirintisnya kini menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia, membuktikan bahwa inisiatifnya telah bertransformasi menjadi institusi finansial yang melayani jutaan masyarakat.
RM Margono Djoyohadikusumo: Arsitek Bank Sentral dan Penjaga Stabilitas Pasca-Kemerdekaan

Raden Mas Margono Djoyohadikusumo (1894–1978) adalah tokoh kunci dalam membangun sistem keuangan Indonesia pasca-kemerdekaan. Sebagai pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), pada 5 Juli 1946, ia mengubah lembaga ini menjadi bank sentral pertama yang menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI), alat pembayaran sah pengganti mata uang kolonial.
Perannya tidak hanya terbatas pada perbankan: sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (1945), ia turut merumuskan kebijakan ekonomi awal Republik.
Margono juga dikenal sebagai negarawan yang gigih. Saat Agresi Militer Belanda II (1948), ia menyelamatkan cadangan devisa dengan menjual emas BNI di Macau dan mengekspor vanila ke pasar internasional.
Di ranah politik, ia mengusulkan penggunaan Hak Angket pertama di DPR (1950-an) untuk mengawasi kebijakan devisa pemerintah, mencerminkan komitmennya pada transparansi.
Keluarga Margono punya kisah tragis: dua putranya gugur dalam Pertempuran Lengkong (1946).
Moh Hatta: Bapak Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan
Mohammad Hatta (1902–1980), Wakil Presiden pertama Indonesia, adalah arsitek ekonomi kerakyatan yang menekankan kesejahteraan kolektif.
Sebagai “Bapak Koperasi“, Hatta mempopulerkan sistem koperasi melalui kunjungan studi ke Denmark dan pidato bersejarah pada 1951.
Gagasannya tertuang dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971), yang menjadi rujukan gerakan koperasi Indonesia.
Hatta juga aktif menentang kapitalisme lewat tulisan seperti Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1933). Saat menjabat, ia mendorong nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (1953) dan merancang kebijakan yang memprioritaskan produksi dalam negeri.
Pemikirannya tentang “ekonomi berdikari” menjadi fondasi bagi pembangunan berkelanjutan.
Warisan Bersama: Dari Kolonial ke Kemerdekaan
Ketiga tokoh ini merepresentasikan fase berbeda dalam sejarah ekonomi Indonesia:
- Arya Wiraatmadja, membuka jalan bagi perbankan inklusif di era kolonial.
- RM Margono, mengkonsolidasi sistem keuangan pasca-kemerdekaan dan mempertahankan stabilitas di tengah agresi asing.
- Moh Hatta, menanamkan nilai koperasi dan keadilan sosial sebagai inti ekonomi kerakyatan.
Kolaborasi tidak langsung mereka terlihat dari bagaimana BRI (warisan Wiraatmadja) dan BNI (warisan Margono) menjadi tulang punggung perbankan nasional, sementara koperasi (visi Hatta) tetap menjadi sokongan ekonomi mikro.
Kedua sosok ini, RM Margono dan Hatta juga sama-sama terlibat dalam diplomasi internasional, seperti Konferensi Meja Bundar (1949), untuk memastikan kedaulatan ekonomi Indonesia.
Penutup
Arya Wiraatmadja, RM Margono Djoyohadikusumo, dan Moh Hatta adalah trio legendaris yang membuktikan bahwa ekonomi Indonesia bisa dibangun dari akar rumput hingga tingkat makro.
RM Margono, bersama Moh Hatta dan Arya Wiraatmadja, mengajarkan bahwa kemandirian ekonomi tidak hanya tentang kebijakan, tetapi juga integritas, keberanian, dan dedikasi untuk rakyat.
Warisan mereka tetap relevan sebagai kompas bagi generasi mendatang dalam menghadapi tantangan ekonomi global. (#)
(Artikel ini disusun berdasarkan sumber-sumber terpercaya dari arsip sejarah dan hasil kajian akademis.)