Jember_Jempol. Mendayu dayu rancak suara tabuhan gending menyelinap dibalik kesunyian kawasan Hotel dan Wisata Rembangan Jember. Sabtu (30/11/19).
Suara tabuhan itu menyatu dengan tembang – tembang Jawa, bersenyawa dengan desiran angin dan pelukan dingin malam. Terasa menjadi mistis.
Tampaknya Dialog Silaturahmi Jember Idea ke 20, dikemas bersama sekumpulan seniman Ludruk yang sedang berkhidmat melakukan eksperimen pertunjukan. Tokoh seniman ludruk Ari Arjess, Kasiyono, Libyanto dan Satoha sepertinya sedang membangun dialog dengan alam.
Bisikan alam barangkali yang kemudian menginspirasi lahirnya Komunitas “OPERA VAN JEMBER”
“Kami harus hidup ditengah gempuran globalisasi,” desah Ari Arjess.
Diakui Ari Arjess bahwa Kesenian Tradisi masih bertahan dengan mengandalkan kemandirian dan inovasi para pelakunya.
“Kalaupun setiap gelaran pertunjukan kami harus merugi, itu sudah resiko,” katanya.
Sebagai pendidik, tentu saja Kasiyono ingin tampilan kesenian Ludruk bukan saja menjadi tontonan melainkan mampu menjadi tuntunan.
“Biyen ono kidungan Cak Durasim
Pagupon Omahe Doro, melok nipon tambah soro…,” Kasiyono mencoba membangun romantisme heroik tokoh Seniman Ludruk era Penjajahan Jepang Cak Durasim yang mati ditembak Jepang.
Api semangat itulah yang masih tertanam dalam nilai- nilai pertunjukan ludruk.
Karenanya Tokoh muda ludruk Libyanto terus menerus bergerak mengembangkan kesenian ludruk seperti dipesankan orang tuanya.
“Salah satu pesan bapak saya, agar tak berhenti berkesenian dengan mengembangkan dan memperkenalkan Ludruk kepada masyarakat,” katanya.
Seperti dibuktikannya malam itu, suguhan pertunjukan yang diawali dengan kidung jula juli yang dibawakan Kasiyono dan Ari Arjes, lalu lanjut dengan kisah Sarip Tambak Yoso yang dimainkan bebas, bahkan hampir tanpa persiapan matang, ternyata mampu memukau.
Diantara hadirin, ada sepasang mata yang hampir tak berkedip menyimak dari awal hingga ahir acara. Inisiator Jember Idea Dima Akhyar, sesekali tertawa lepas mendengar kidungan yang menggelitik.
“Ini lah barangkali yang dimaksud Bung Karno dengan Berbudaya dalam berkepribadian,” katanya.
Dima merasa bahwa kesenian tradisi seharusnyalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktek kehidupan dalam berbagai aspeknya.
“Bagaimana mewujudkannya, sudah tentu perlu kebersamaan, gotong royong,” pungkasnya. (*)