Jempolindo.id – Jember – Santri menjadi seksi dibicarakan banyak kalangan, terlebih Presiden Joko Widodo kemudian menerbitkan Instruksi Presiden Tentang Hari Santri, yang jatuh pada tanggal 22 Oktober. Tak Ketinggalan Forum Konco Dewe (FKD) Kabupaten Jember juga turut membahasnya dalam sebuah diskusi rutin, yang digelarnya pada hari Sabtu (30/10/2021) malam.
Diskusi bertajuk “Menjadi Santri Menjadi Indonesia Menjadi Santri Menjadi Berbudaya” menghadirkan tokoh cendekiawan santri, salah satu Pengurus Pondok Pesantren Mamba’ul Khoiriyatil Islamiyah Gus Mirbahun Nadir.
Gus Nadir, sapaan akrabnya, mengawali pandangannya dengan menyampaikan bahwa orang-orang yang mengerti agama belum tentu santri, demikian sebaliknya orang yang tidak mengerti agama itu bisa saja santri.
“Ini saya pertanggung jawabkan secara intelektual, karena ciri khas dari santri pasti penakluk,” ulasnya.
Di Indonesia, kata Gus Nadir banyak orang yang mengerti agama, seperi yang bisa disimak melalui media sosial, sayangnya acapkali hobi mereka justru terlalu mudah menuding pihak lain tidak sesuai dengan syariat Islam, bid’ah.
“Kalau ada yang bilang Nasionalisme bertentangan dengan Islam, orang seperti itu bukan santri,” tegasnya.
Gus Nadir mencontohkan strategi syiar Wali Songo yang tidak mudah mengharamkan sesuatu, seperti ciri khas nya santri yang penakluk, maka Wali songo tidak menjadikan gamelan sebagai barang haram.
“Ketika melihat gamelan, yang ada dalam pikiran Wali Songo bukan mengharamkan gamelan, tetapi bagaimana agar gamelan ini sesuai dengan syariat Islam,” ujarnya.
Pandangan wali songo tentu berbeda dengan dengan sebagian kaum yang dengan gampang mengharamkan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangannya.
“Beda dengan saudara kita dari sebelah, begitu lihat gamelan, langsung bilang gamelan haram, lihat wayang, wayang haram,” tegasnya.
Wali Songo ketika melihat kreasi kebudayaan malah berupaya menaklukkan dengan syariat.
“Sunan Kali Jogo yang merubah cara berpakaiannya dari pakai jubah, kemudian menggunakan blankon, karena mentalnya menaklukkan, bukan mengharamkan, yang justru akan menjadi antithesa. Jadi ketika ada orang, suka dengan hiburan wayang, Wali Songo tidak terburu-buru mengharamkan. Melainkan justru ditaklukkan,” katanya.
Gus Nadir mengaku sangat berminat terhadap kebudayaan, sehingga ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang S3, Gus Nadir memilih jurusan Pendidikan Agama Islam Multikutur.
“Sengaja saya mengambil jurusan itu, karena ketika saya mempelajari alquran banyak saya temukan hukum –hukum yang basisnya budaya,” ujarnya.
Salah satu contohnya tentang Mahar, Gus Nadir menyitir Alquran surat An-Nisa ayat 4, Allah berfirman:
“Wa aatun-nisaa’a saduqaatihinna nihlah, fa in tibna lakum ‘an syai’im min-hu nafsan fa kuluhu hanii’am marii’aa.”
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
“Artinya Qur’an tidak menentukan mahar itu harus berapa, tetapi sepantasnya, serelanya, makanya kemudian ini berbasis budaya, di Indonesia yang dianggap pantas berapa, tentu berbeda kepantasan di Arab Saudi,” jelasnya.
Begitupun dengan masalah Sholat, menurut Gus Nadir, Alquran menyebut dirikanlah sholat, tetapi tata caranya sudah berbasis budaya.
Suatu saat sahabat bertanya kepada Rasulullah, tentang pakaian sholat, menurut Gus Nadir Rasulullah tidak mengharuskan pakaian tertentu. Karena sahabat Nabi Muhammad tidak semua orang arab, ada diantaranya yang berasal dari luar Arab. Ada Bilal bin Rabbah orang Afrika, ada Salman Al Farisi orang Persi.
“Nabi menjawab, kamu kalau sholat yang penting pakaianmu baik menurut kamu,” kata Gus Nadir seraya mengutip hadist Nabi.
Terkait dengan ke santrian, pakaian santri menurut Gus Nadir juga tidak ada yang spesifik, karena santri bukan fashion.
“Jadi dalam islam gak ada hijab sar’i, yang ada menutup aurat. Hijab sar’i itu produk – produk fashion, kalau dalam Islam yang penting menutup aurat,” katanya.
Karenanya, jangan heran, kata Gus Nadir jika istri para ulama jaman dulu pakaiannya hanya pakai kerudung dan kebaya.
“Itu dalam konsep islam, ya memang boleh, karena substansinya menutup aurat,” ujarnya.
Lebih lanjut Gus Nadir menegaskan bahwa didalam menyampaikan agama Islam sebaiknya dengan santai saja, tidak usah metenteng. Asalkan penyampaiannya bisa dipahami oleh masyarakat, maka Islam akan diterima.
“Karena menurut Rasululah agama Islam ini sudah kuat,” tegasnya.
Tentu masih banyak pandangan Gus Nadir yang tidak semua bisa tertuang dalam tulisan ini, namun setidaknya telah memberikan gambaran tentang makna santri. (*)