15.7 C
East Java

Potensi Kegagalan Koperasi Desa Merah Putih: Antara Ambisi dan Realitas

Jempolindo.id – Program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) yang digagas Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan publik.

Dengan target pembentukan 70.000–80.000 koperasi desa hingga akhir Juni 2025, inisiatif ini diharapkan menjadi solusi ketimpangan ekonomi dan penguatan ketahanan pangan.

Namun, di balik optimisme pemerintah, sejumlah risiko dan tantangan mengancam keberlanjutan program ini.

Berikut analisis mendalam tentang potensi kegagalan yang mungkin terjadi.

Pendanaan Besar dan Kerentanan Fiskal

Anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk 80.000 koperasi diperkirakan mencapai Rp 400 triliun, dengan alokasi Rp3–5 miliar per desa.

Meski pemerintah mengklaim menggunakan dana desa, APBN, dan APBD, realitas fiskal Indonesia tahun 2025 tidak mendukung: penerimaan negara hingga Maret 2025 hanya mencapai 17,1% dari target, sementara defisit APBN sudah menyentuh Rp616 triliun .

Penggunaan dana desa untuk KDMP juga dikhawatirkan menimbulkan Dualisme pendanaan. Dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah ada.

Saat ini, 65.941 BUMDes tercatat, tetapi 24,2% di antaranya tidak aktif . Jika KDMP dan BUMDes bersaing untuk sumber daya yang sama, keduanya berpotensi saling melemahkan .

Pendekatan Top-Down dan Minim Partisipasi

KDMP dirancang secara sentralistik melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9/2025, dengan proses pembentukan yang dipaksakan dari pusat ke desa.

Padahal, sejarah mencatat bahwa koperasi yang dibentuk secara top-down memiliki tingkat kegagalan tinggi karena kurangnya partisipasi anggota.

Misalnya, di masa lalu, banyak koperasi hanya menjadi “proyek” pencairan dana tanpa keberlanjutan bisnis .

Pengamat koperasi Suroto menilai, program ini mengabaikan prinsip dasar koperasi: kemandirian dan partisipasi aktif anggota.

“Jika masyarakat hanya bergabung karena iming-iming dana pemerintah, bukan karena kebutuhan bisnis, KDMP akan gagal,” ujarnya .

Partisipasi yang rendah juga berisiko memicu korupsi, terutama dengan anggaran besar yang dikucurkan .

Kapasitas SDM dan Infrastruktur yang Terbatas

Kendala utama terletak pada kapasitas sumber daya manusia (SDM) di desa. Pelatihan singkat seperti Training of Trainers (ToT) dinilai tidak cukup untuk membekali pengurus koperasi dengan kemampuan manajemen modern, literasi keuangan, atau pemasaran digital .

Selain itu, banyak desa kekurangan infrastruktur pendukung seperti lahan, gudang, atau cold storage.

Menteri Desa PDTT Yandri Susanto mengakui, 30% desa kesulitan menyediakan lokasi untuk KDMP, terutama di kawasan hutan yang terbatas secara legal .

Tumpang Tindih Regulasi dan Tata Kelola

KDMP berpotensi berbenturan dengan BUMDes yang telah diatur dalam UU Desa. Misbah Hasan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memperingatkan, keberadaan KDMP bisa “mematikan” BUMDes karena alokasi dana desa akan terbagi .

Selain itu, tata kelola yang belum jelas—seperti mekanisme pengawasan OJK atau integrasi data antar-kementerian—berisiko menciptakan celah penyelewengan .

Ketergantungan pada Dana Pemerintah

Prinsip koperasi seharusnya mengutamakan kemandirian melalui keuntungan bisnis. Namun, KDMP berisiko terjebak dalam ketergantungan dana hibah.

Pakar koperasi Iwan Rudi Saktiawan mengibaratkan dana desa sebagai “racun” jika digunakan tanpa strategi bisnis yang jelas: “Koperasi harus hidup dari profit, bukan sekadar menghabiskan anggaran” .

Tanpa model bisnis yang feasible, KDMP hanya akan menjadi beban fiskal baru.

Ketidaksesuaian dengan Potensi Lokal

Program ini cenderung menyamaratakan model koperasi di seluruh Indonesia, padahal setiap desa memiliki keunikan potensi ekonomi.

Contohnya, desa pesisir dengan potensi perikanan dipaksa mengadopsi model koperasi pertanian .

Akibatnya, kegiatan KDMP tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan berakhir tidak produktif.

Target Waktu yang Tidak Realistis

Pemerintah menargetkan 80.000 koperasi harus berbadan hukum pada Juni 2025—hanya dalam 3 bulan sejak Inpres diterbitkan .

Padahal, proses revitalisasi koperasi yang sudah ada membutuhkan waktu untuk audit, restrukturisasi, dan pelatihan.

Pemaksaan target berisiko menghasilkan koperasi “abal-abal” yang hanya memenuhi syarat administratif, tetapi tidak beroperasi maksimal.

Kesimpulan:

Belajar dari Kegagalan Masa Lalu, Program KDMP berpotensi menjadi double-edged sword.

Di satu sisi, ia menawarkan harapan pemerataan ekonomi; di sisi lain, risiko kegagalannya sangat nyata. Untuk menghindari “jurang” yang diramalkan banyak pengamat, pemerintah perlu:

  1. Memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan.
  2. Menyusun model bisnis berbasis potensi lokal.
  3. Memperkuat transparansi dan pengawasan anggaran.
  4. Menghindari tumpang tindih dengan BUMDes.
  5. Memberikan pelatihan intensif untuk SDM desa .

Jika langkah-langkah ini diabaikan, KDMP bukan hanya akan gagal memberdayakan desa, tetapi juga menjadi beban sejarah baru bagi perekonomian Indonesia. (#)

- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img