18 C
East Java

Polemik Kewenangan Bupati dan Wakil Bupati Jember, Dr Aries: Sikap Wabup Untuk Kepentingan Bupati Juga 

Jember, Jempolindo.id – Wacana perbedaan pendapat tentang kewenangan Bupati dan Wakil Bupati Jember, belakangan memenuhi ruang publik. Seolah terjadi perpecahan diantara keduanya.

Sehingga muncul istilah dua matahari kembar, atau nahkoda kapal itu hanya satu.

Baca juga: Miskomunikasi Kunjungan Wabup Jember Ke Kantor Bapenda, Fauzi: Saya Sudah Persilahkan Ikut Rapat 

Tetapi, jika wartawan bertanya kepada Bupati Jember Muhammad Fawait atau Kepada Wabup Djoko Susanto, sudah barang tentu jawabannya, tidak ada perpecahan diantara keduanya, alias baik baik saja.

Tetapi, publik mempresepsikan beberapa peristiwa diantara keduanya, menunjukan kesan yang mengarah pada terjadinya perpecahan.

Tentu saja, fenomena ini menarik, untuk diperbincangkan, karena menyangkut nasib 2,6 juta rakyat Jember.

Saking menariknya fenomena ini, sehingga, bukan saja asyik menjadi obrolan warung kopi, tetapi sekelas Dahlan Iskan sekalipun tertarik untuk membahasnya.

Apakah fenomena ini sekedar presepsi publik, atau sekedar gorengan kelompok tertentu, atau bahkan memang benar terjadi perselisihan diantara keduanya ?,

Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu bukti bukti yang cukup sehingga bukan sekedar fitnah, jalanan tak bermutu.

Indikator yang mengarah pada kemungkinan terjadinya polemik itu, bermula dari beberapa fakta.

Media online menulis beberapa peristiwa, saat Wabup Djoko Susanto melakukan sidak ke beberapa OPD, dengan alasan kunjungan kerja, konsolidasi organisasi, apel rutin, hingga koreksi terhadap kebijakan.

Diantaranya, koreksi Wabup Djoko terhadap kebijakan Plt di 17 OPD, RPJMD yang dinilai perlu dikritisi, keluhan dirinya tidak pernah diajak koordinasi oleh Bupati Jember Muhammad Fawait, dan masih banyak lagi aksi aksi Wabup Djoko yang mengindikasikan ketidak puasan dirinya.

Polemik itu kiat menguat, ketika Wabup Djoko bertandang ke Kantor Bapenda Jember, lagi lagi dengan dalih akan mengadakan apel, dan memberikan masukan terhadap transparansi pengelolaan pendapatan daerah.

Kehadiran Wabup Djoko tidak mendapatkan sambutan dari pejabat Bapenda, hanya beberapa staf yang menemuinya.

Plt Kepala Bapenda Jember Ahmad Fauzi mengklarifikasi kejadian tersebut, bahwa kehadiran Wabup Djoko berbarengan dengan agenda rapat.

“Kami sudah mempersilahkan Pak Wabup untuk mengikuti rapat,” ujar Fauzi.

Statemen Fauzi melalui rekaman vidio, yang disebar luaskan melalui jaringan online, malah memicu kontroversi. Pasalnya, Fauzi justru mempertanyakan kedatangan Wabup Djoko, sebagai pribadi atau atas delegasi Bupati Jember.

Menanggapi kejadian itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember Dr Aries Harianto, S H, turut membuat kajian akademik, yang berjudul Rifikasi Plt Kepala Bapenda Kabupaten Jember Terhadap Kunjungan Wabup.

Dr Aries mengawali tulisannya, dengan menjelaskan bahwa pandangan akademis ini dibuat dengan harapan, agar semua pihak lebih mengedepankan nalar dan tidak terjebak pada sikap emosional.

“Sehingga persoalan tidak bergulir menjadi bola liar,” ujarnya.

Pandangan demikian tidak saja ditujukan kepada semua pihak, tetapi juga fungsional untuk Bupati dan Wabup berikut kepala OPD serta jajaran terkait.

“Agar Jember kini dan ke depan tidak menjadi Panggung Immoral di mata nasional,” ucapnya.

Kajian Dr Aries mengacu pada klarifikasi Kepala Bapenda (KB) Jember, yang memberikan narasi lisan dalam format video.

“Yang pada intinya, Konfirmasi kepada ajudan Wabup tentang kapasitas kunjungan Wabup atas inisiatif pribadi atau perintah bupati,” katanya.

“Selain itu, KB mempersilakan wabup untuk masuk dalam forum rapat guna memberikan  briefing,” imbuhnya.

KB (Kepala Bapenda Jember Ahmad Fauzi), membuat pernyataan bahwa Pejabat publik bergerak atas dasar kewenangan yang diberikan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah – Pasal 66 yang  menyebutkan bahwa kewenangan wabup atas dasar atribusi.

Sedangkan menurut UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan wabup bisa diperoleh melalui delegasi atau mandat.

Sementara, menurut KB hingga kini belum ada regulasi daerah yang mengamanatkan kewenangan bupati kepada wakil bupati tersebut secara delegasi.

Padahal, di Kabupaten Jember, belum ada keputusan Bupati terkait mandat kepada Wakil Bupati.

Di dalam pemerintahan hanya ada satu nakhoda agar tidak terjadi kekacauan (noise).

Atas peristiwa itu, Dr Aries mencoba membeberkan pandangan akademiknya.

“Berikut pandangan akademis, saya sampaikan berdasarkan peraturan perundang undangan, berikut preskripsi etis dengan mengacu pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUB) dalam konteks persoalan, dengan tetap menjunjung objektifitas tanpa pretensi ‘menghakimi’ siapapun,” jelasnya.

“Pandangan akademis ini saya berikan sesuai dengan pointers pokok persoalan di atas,” imbuhnya.

Pokok persoalan sebagaimana uraian di atas, kata Dr Aries berada dalam ranah Hukum Administrasi Negara (HAN).

“HAN merupakan kaidah normatif agar negara terus bergerak dalam rangka memberikan pelayanan publik guna mewujudkan amanat konstitusi,” katanya.

Karenanya, tidak logis dan patut dipertanyakan jika birokrasi sebagai operator pelayanan publik justru menjadi penghambat kehadiran negara, mengingat aparatur birokrasi adalah representasi negara itu sendiri,” paparnya.

Aksi dari KB yang melakukan konfirmasi kepada asisten Wabup menyangkut kapasitas kunjungan Wabup adalah sikap yang berlebihan. Tidak patut terjadi, karena UU No.14 Tahun 2023 tentang Pemerintahan Daerah – Pasal 76, tidak ada satupun ketentuan yang bersifat LARANGAN bagi Wabup untuk melakukan

kunjungan dan tidak ada bukti sebagai fakta dan fakta hukum jika kunjungan Wabup tersebut mengindikasikan perbuatan melawan hukum.

Kunjungan Wabup ke Bapenda, bisa juga ke instansi atau OPD lainnya tidak menutup

kemungkinan sebagai upaya menggali data, fakta dan fakta hukum, sebagai landasan konkrit atas kebijakan yang hendak dibuat.

Hal ini tentu saja merupakan aksi Pejabat Tata Usaha Negara yang secara konsisten menjalankan UU No.30

Tahun 2014 – Pasal 10 ayat (1) menyangkut Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUB). Sehingga kebijakan yang dibuat nantinya benar-benar, atas dasar

fakta dan aturan yang berkepastian (tidak atas dasar ‘katanya’), berorientasi manfaat bagi banyak orang, diproses dengan cermat, fokus dan hati-hati, menjauhi diskriminasi, menjunjung transparansi (keterbukaan agar publik juga memiliki akses melakukan kontrol sehingga KKN bisa dihindari).

Secara normatif, tugas Wabup memang membantu Bupati. Konsep rutinitasnya termasuk melakukan kunjungan dan sejenisnya lekat dengan kewenangan yang bersifat mandatory.

Artinya, aksi yang dilakukan Wabup secara normatif tetap sepenuhnya menjadi tanggungjawab Bupati. Ini hakikat mandatory.

Kalau semua aksi Wabup secara teknis menunggu perintah (mandat / delegasi) dengan format khusus dan tertentu, maka pemerintahan menjadi lambat mengambil keputusan / kebijakan.

“Jadi pernyataan KB justru tidak logis,” tegasnya.

Soal kewenangan Bupati dan Wakil Bupati Jember secara atribusi, tidak perlu dijelaskan karena Pejabat Tata Usaha Negara

di negeri ini mendapatkan kewenangan atas dasar atribusi karena ada UU yang mengaturnya.

Dr Aries mencontohkan, sebelum lebaran kemarin, melalui acara sosialisasi THR Bupati berkomitmen agar hak pekerja atau buruh atas THR diberikan sesuai aturan.

Jumlah perusahaan di kabupaten Jember sekitar 800 sd 900.

“Apakah komitmen Bupati terealisasi ?,” katanya.

Kemudian Dr Aries juga membuat contoh, bahwa di Kabupaten Jember hingga kini belum memiliki Mediator Hubungan Industrial.

“Bisa juga Bupati belum tahu adanya kekosongan Mediator Hub Industrial di kabupaten Jember,” katanya.

Padahal semua jenis perselisihan hubungan industrial harus dituntaskan melalui Mediasi sebelum pekerja atau buruh mengajukan gugatan.

“Jumlah perusahaan ratusan. Jika Disnaker tidak memiliki Mediator Hubungan Industrial, maka semua jenis perselisihan menumpuk,” ujarnya .

Sehingga masalah konflik hubungan kerja juga tidak tuntas dan asupan bagi perut pekerja atau buruh dan keluarganya juga tertunda.

“Kondisi demikian potensial memunculkan kriminalitas. Bagaimana solusi Bupati atas hal ini ?,” katanya.

Untuk menjawab implementasi kebijakan ini, dibutuhkan data, fakta dan fakta hukum.

“Wabup bisa konfirmasi ke Disnaker. Silaturrahmi sekaligus konfirmasi sebagai problem solver. Tidak perlu ribet. Toh kunjungan Wabup itu juga untuk kepentingan daerah dan atas nama Bupati,” ujarnya.

Haruskah Kadisnaker melakukan screening kepada Wabup dengan melakukan lidik melalui pertanyaan : ‘Apakah Bupati sudah mendapatkan surat mandat ?’.

Kalau semua OPD demikian, tugas Bupati nantinya hanya membuat surat, sementara tugas pokok dan fungsi Kadis menggantikan Pol PP.

“Atas pertimbangan memenuhi kebutuhan manusiawi pekerja atau buruh dan keluarganya di kabupaten Jember, haruskah Wabup nunggu surat mandat Bupati ?,” katanya.

Akselerasi pengambilan keputusan sangat dibutuhkan. Jangan terhambat karena mempolemikkan soal kewenangan.

Kalau aparatur birokrasi memahami Hukum Administrasi Negara terus melakukan konfirmasi dengan melekatkan kata Wabup, tentu saja apa yang dilakukan Wabup dalam status kedinasan sebagai Pejabat Administrasi Negara, bukan pribadi.

“Semua dalam konteks menjalankan pemerintahan dan pelayanan publik,” jelasnya.

Jadi pertanyaan : ’apakah inisiatif pribadi atau perintah bupati?’, seharusnya tidak terjadi karena pertanyaan itu absurd.

Lebih lanjut, Dr Aries menilai aksi spontan KB yang memberikan kesempatan Wabup untuk masuk dalam forum rapat guna memberikan briefing adalah tidak tepat.

“Atas pertimbangan efisiensi dan efektifitas serta konsistensi pada agenda kunjungan, tentu saja Wakil Bupati sudah menyiapkan pointers yang tidak terkait dengan agenda rapat Bapenda,” ujarnya.

Acara rapat adalah internal Bapenda. Bisa jadi justru Wabup diposisikan untuk mendapatkan laporan sebagai evaluasi.

“Ingat, bahwa KB tidak setara dengan Wakil Bupati,” ujarnya.

Bupati dan Wakil Bupati Jember adalah evaluator. Bukan operator. Hirarki dan sub-ordinasi birokrasi secara institusional sistemik semacam ini harus dipahami oleh aparatur  birokrasi.

Atas dasar itu, menurut Dr Aries KB telah salah memahami UU No.23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan daerah Pasal 66. Jangan lupa bahwa Pasal 66 UU No.23 Tahun 2014 telah direvisi melalui UU No.9 tahun 2015.

Pasal 66 ayat (3) telah diubah dan pada pasal itu pula itu ada tambahan ayat.

Perubahan inipun tentu mempengaruhi konstruksi hukum memahaminya karena hukum tidak sebatas soal pasal.

Meskipun bersifat mandatory (untuk dan atas nama Bupati), namun pasal Revisi pada UU No.9 tahun 2015, dalam hal ini Pasal 66 ayat (3), terkait dengan ayat (1) huruf (b), memberikan ruang kewenangan kepada Wabup untuk memberikan memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati.

Materi saran tentu bisa diperoleh melalui kunjungan atas isu strategis yang terdapat pada OPD.

Haruskah upaya demikian keberadaan Wabup wajib dilidik dengan serangkaian pertanyaan yang sebenarnya tidak hanya lucu karena di luar kelajiman.

Secara filosofis, hukum itu dibuat untuk meringankan hidup dan kehidupan.

Memperlancar pelayanan agar kesejahteraan banyak orang tidak tertunda.

Hanya gara-gara ada atau tidaknya Keputusan Bupati atau regulasi daerah lantas pelayanan publik menjadi terhenti, maka di sinilah urgensi Pemkab Jember dituntut untuk memahami hukum.

“Toh Bupati atau Wabup bisa melakukan diskresi sepanjang terdapat problematik terhadap aturan,” katanya.

Hukum selalu menyediakan solusi namun tidak semua orang atau pejabat memahami.

Jika penjelasan KB sebagai bentuk klarifikasi dianggap resmi, berarti semua penjelasan dimaksud merupakan wujud ekspresi akuntabilitas.

“Hanya saja jika penjelasan itu menyitir sebuah aturan tentang konteks persoalan yang terjadi agar tidak terjadi kegamangan publik, telah saya catat ada istilah Nakhoda,” ujarnya.

“Istilah ini tidak saya temukan dalam ragam peraturanperundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Bupati dengan nakhoda tentu beda,” pungkasnya. (MMT).

Table of Contents
- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img