Jempolindo.id – Werkudara adalah salah satu nama pewayangan, bagian dari Pandawa bersaudara. Dalam salah satu penggalan ceritanya, Werkudara diutus oleh gurunya Resi Durno.
Kisah ini dijelaskan oleh Dr Fahrudin Faiz, yang ditayangkan melalui channel YouTube Santri Blangkonan, berjudul Ngaji Filsafat.
Suatu saat Resi Durno menyuruh Werkudaro untuk mencari air perwitasari, di tengah hutan.
“Werkudara ini orang yang gak cerdik gak pintar, meskipun gak masuk akal, Werkudoro berangkat memenuhi perintah gurunya,” kata Fahrudin mengawali kisahnya.
Berangkatlah Werkudara ke hutan belantara, seperti petunjuk Resi Durno, yakni Hutan Tribasoro dan Hutan Reksomuko.
“Sesampainya di tengah hutan, Werkudara tidak menemukan air, maka bertemu dengan dua raksasa, namanya Rukmika dan Rukmala,” katanya.
Werkudara bertarung dengan dua raksasa itu, hingga memenangkan pertarungan. Setelah itu, dia kembali kepada gurunya.
“Resi Durno heran, padahal disuruh ke gunung biar bertemu raksasa dan kalah, tewas. Tapi malah pulang, menang,” kata Fahrudin.
Lalu, Resi Durno menyuruh Werkudara untuk mencari air Perwitasari di tengah Samudra, dengan berjalan kaki, tidak boleh menaiki perahu.
“Kamu gak menemukan air Perwitasari dihutan, sekarang kamu cari ke tengah lautan,” katanya.
Sebenarnya, Werkudara sudah diingatkan oleh para saudaranya, untuk tidak menuruti perintah Resi Durno.
“Kamu itu diapusi, jangan dituruti,” katanya.
Tetapi, meskipun tidak masuk akal, karena sudah perintah gurunya, maka Werkudara tetap berangkat memenuhi perintah sang Guru.
“Lho yang menyuruh guru, ya harus dilaksanakan apapun yang terjadi,” ujarnya.
Berjalanlah Werkudara ke tengah Samudra, disanalah dia bertemu dengan ular naga, namanya Amburnawa.
“Werkudara berkelahi dengan naga itu, dan naga itu kalah,” ujarnya.
Tetapi, Werkudara bingung, lantas air Perwitasari yang dimaksud gurunya tidak ditemukan.
Saat bingung mencari, di pinggir pantai, Werkudara bertemu dengan anak kecil, yang menyerupai dirinya.
“Anak kecil ini wujudnya seperti dirinya, tetapi kecil, itulah Dewa Ruci,” ujarnya.
Pertemuan antara Werkudara dengan Dewa Ruci, terjadi dialog yang panjang, yang mirip dialog antara Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hingga kemudian Dewa Ruci menyuruh Werkudara masuk dalam dirinya.
Tentu saja, Werkudara bingung, bagaimana mungkin dirinya yang bertubuh raksasa bisa masuk ke dalam diri Dewa Ruci yang jauh lebih kecil.
Dewa Ruci, menyuruh Werkudara masuk melalui telinganya. Tanpa berpikir panjang, Werkudara menuruti perintah Dewa Ruci untuk masuk melalui telinganya.
“Setelah masuk dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil, malah Werkudara mendapatkan pengalaman yang luar biasa,” katanya.
Menurut Fahrudin, kisah Werkudara dan Dewa Ruci merupakan simbolis, cara Sunan Kalijaga untuk membungkus makna syiarnya, dalam sebuah cerita pewayangan.
“Orang yang sangat awam, ya senang saja melihat cerita ini, tetapi semakin bertambah wawasannya dan ilmunya, maka akan akan semakin paham maksud yang sesungguhnya,” katanya.
Sunan Kalijaga, kata Fahrudin, mengajarkan ilmu pengetahuan tidak langsung mengajarkan yang sulit dipahami orang awam.
“Itulah cara berdakwah yang pelan pelan, tidak ujug ujug diajarkan manunggaling kawula Gusti, diajarkan Wahdatul Wujud, kita harus berijtihad sama Allah, wah pening,” katanya.
Terapi, jika menggunakan sarana cerita, maka sementara akalnya belum sampai, cerita itu dianggapnya sebagai cerita biasa saja.
“Nanti pada saat ilmunya, wawasannya bertambah, cerita ini jadi luar biasa,” ujarnya.
Sama dengan lagu ciptaan Sunan Kalijaga, Lir Ilir dan yang lainnya, sementara wawasannya belum sampai, maka dianggap sebagai lagu biasa saja.
“Tetapi jika wawasannya bertambah, lagu itu jadi luar biasa. Itulah kenapa Alquran selalu nyuruh bacalah. Selalu nyuruh kita, pahamilah dirimu dan lingkungan sekelilingmu, jangan merasa sudah memiliki ilmu yang cukup,” katanya.
Karenanya, jangan berhenti disatu titik, manusia sudah merasa paham, tentang apapun.
“Karena pemahamanmu saat ini, hanya sebatas sejangkauan wawasanmu. Siapa tahu wawasanmu tambah, pemahamanmu ikut bertambah, maka jangan berhenti, mencari ilmu harus terus, minal Mahdi Ilal lahdi,” ujarnya.
Menurut Fahrudin, kisah Werkudara dan Dewa Ruci merupakan simbol ajaran Manunggaling Kawula Gusti.
Air Perwitasari itu ilmu sejati. Kalau Gunung dan hutan itu simbol halangan – halangan.
Rukmuka dan Rukmala, juga merupakan halangan, namanya Kamukten yang berhubungan dengan kekayaan materi, sedangkan Kamulyan itu kekayaan spiritual, status sosial, orang Mulya dan Mukti.
“Ini juga jadi halangan, bagi orang sufi. Orang sering berhenti disitu, atau merasa besar disitu,” katanya.
Keduanya harus dikalahkan, agar tidak menjadi penghalang bertemu dengan Allah.
“Karena kita merasa besar, merasa penting, merasa lebih dari yang lain, itu harus ditaklukkan juga,” katanya.
Termasuk Ular Naga, sebagai simbol dari nafsu, hasrat dan ego.
“Jika raksasanya kalah, ular naganya kalah, maka kita akan bertemu dengan Dewa Ruci, ilmu sejati,” katanya.
Lebih lanjut, Fahrudin memberikan pemahaman bahwa agar Werkudara bisa bertemu dengan Dewa Ruci, yang maknanya mengalami pengalaman spiritual tingkat tinggi, maka harus memiliki 8 prasyarat, diantaranya:
- Rilo, bahasa arabnya ridho, ikhlas, hanya Allah yang menjadi awal dan akhirnya.
- Legowo, apapun bisa terjadi, kehilangan juga tidak apa, asal Allah tidak hilang,
- Nrimo, mendapatkan apa saja tidak masalah, qonaah.
- Amurogo, rendah hati, tidak boleh sombong
- Iling, dimana hubungan dengan Allah selalu sambung terus dalam setiap kegiatan apapun,
- Santoso, selalu berada dijalan yang benar’, dengan senantiasa berdoa, konsiten di jalan yang benar
- Gembira, untuk bisa mendapatkan Ilmu Sejati harus senantiasa ceria, bahagia.
- Rahayu, hatinya selalu tentram.
Itulah kisah perjalanan spiritual Werkudoro menemukan jati dirinya, yang diulas secara gamblang oleh Dr Fahrudin. (MMT)