BANYUWANGI – JEMPOL – Paksa eksekusi atas tanah milik Fiftiya Aprialin, warga Desa Sumbergondo kecamatan Glenmore kabupaten Banyuwangi, Pengadilan Agama Banyuwangi dinilai tahapan penanganan perkaranya banyak ditemukan keganjilan.
Baca Juga : Diduga Persekongkolan, PA Banyuwangi Paksa Fittiya Serahkan Assetnya
Menurut penuturan Fittiya, perihal eksekusi yang akan dilakukan Pengadilan Agama Banyuwangi pada Hari Selasa (8 Juni 2021) itu pihaknya mengetahui dari Kepala Desa Sumbergondo, yang sampai sehari menjelang eksekusi Fittiya belum menerima selembar suratpun dari Pengadilan Agama Banyuwangi.
“Kami belum baca, perihal rencana eksekusi terhadap tanah milik kami,” katanya, saat di temui Jempol di Pengadilan Agama Banyuwangi, Senin Sore (07 Juni 2021).
Perkara yang menimpa Fiftiya dan keluarganya, bermula dari hutang piutang, senilai Rp 958 juta kepada Galih Subowo, Warga Desa Tegalarum Kecamatan Sempu Banyuwangi.
Perkara yang terdaftar dengan nomor perkara :3308/Pdt.G/2018/PA.Bwi, tampak penuh dengan tipu muslihat yang dengan sengaja dilakukan untuk memenangkan pihak Galih Subowo.
Padahal, pihak Fiftiya dan keluarganya, telah menyepakati seluruh saran dari Panitera Pengadilan Agama Banyuwangi. Diantaranya, Kesepakatan damai yang mensyaratkan pihak keluarga berkesanggupan membayar hutang kepada pihak ketiga, selambat – lambatnya tanggal 29 Januari 2019.
“Sebelum jatuh tempo pihak keluarga berusaha memenuhi tanggung jawabnya, sesuai dengan jumlah hutang kami,“ kata Fiftiya.
Esksekusi Kontradiksi dengan Akta Van Dading
Menanggapi perihal perkara itu, melalui pengacaranya, Subhan Fasrial SH menyatakan perkara itu pada dasarnya sah tidak sah, karena pada sebelumnya sudah pernah diajukan permohonan eksekusi, namun dinyatakan non eksekutable.
“Jadi keputusan eksekusi yang akan dilakukan pengadilan agama itu sebenarnya kontradiktif dengan keputusan yang pertama, pada saat klien kami mengajukan permohonan eksekusi, pengadilan agama menyatakan tidak bisa dieksekusi, namun saat ini malah akan dijalankan,” ujarnya.
Kalaupun Pengadilan Agama tetap memaksa akan melakukan eksekusi, Subhan malah mempertanyakan objek hukum yang akan dieksekusi. Karena didalam akta perdamaian, tidak menyatakan mengeksekusi berupa barang, melainkan hanya menyebutkan klausul menyerahkan sejumlah uang.
Subhan menegaskan bahwa sebenarnya kedua belah pihak, baik termohon maupun pemohon, sama – sama melakukan wan prestasi.
“Pada saat sudah dilakukan akta perdamaian, dan klien kami sudah menyiapkan pembayaran sejumlah hutangnya, pihak termohon (Galih Subowo) justru juga tidak menghadiri panggilan pengadilan agama,” tegasnya.
Anehnya, Perkara yang semula hutang piutang, lantas berbalik berubah menjadi jual beli.
“Karenanya, kami besok (selasa, 08 Juni 2021) akan tetap mempertahankan hak klien kami,” ujarnya.
Subhan juga menjelaskan perihal pemaksaan eksekusi juga betentantangan dengan akta van dading , yang mensyaratkan kedua belah pihak saling bisa menerima.
“Kalau begini caranya kan bukan van dading namanya,” tukasnya.
Untuk itu, Subhan akan tetap menjalankan upaya hukum lain, agar hak – hak kliennya dapat diperjuangkan, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
“Kami akan tetap memperjuangkan hak klien kami, melalui upaya hukum, setelah nanti kami akan rundingkan terlebih dulu dengan klien kami,” pungkasnya.
Sementara, saat dikonfirmasi diruang kerjanya, Senen Sore (07/06/2021) Panitera Pengadilan Agama Banyuwangi Subandi SH , tidak bersedia memberikan keterangan, terkait dengan perkara yang menimpa Fiftiya. (mmt/budi)