17.7 C
East Java

Memahami Konflik Tambang di Kabupaten Jember

Loading

JEMBER – JEMPOLINDO.IDMemahami Konflik Tambang di Kabupaten Jember. Demikian, setiap pergantian kekuasaan di Kabupaten Jember, isu tambang senantiasa menarik menjadi isu sensitive, yang gampang menyulut pergerakan perlawanan. Ujungnya, setiap rezim pemerintahan itu gagal memahami permasalahan dengan benar.

Begitupun ketika, baru saja Bupati Jember Hendy Siswanto, memegang tampuk pemerintahan, isu itu kembali menyeruak, masyarakat anti tambang membangun opini, dengan seolah – olah Bupati Hendy telah berpihak kepada rencana pertambangan di Kabupaten Jember.

Rupanya isu itu, dicuplik dari vidio rekaman siaran langsung salah satu stasiun tv swasta di Jember, saat dialog di gedung DPRD Jember, pada awal tahun 2021, baru beberapa saat setelah Bupati Hendy dilantik. Pernyataannya sudah langsung disimpulkan Hendy berpihak kepada pertambangan.

Beredar pula, salinan surat ijin milik PT Agtika Dwisejahtera, pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan ESDM Kab.Jember Nomor :541.3/038/411/2013 pada tahun 2013 dan berlaku sampai dengan tahun 2023.

Dalam surat ijin itu, jelas tersebut diterbitkan pada tahun 2013, maka sudah pasti bukan pada masa pemerintahan Bupati Hendy, melainkan pada era pemerintahan Bupati MZA Djalal.

Sontak saja, mendapati liarnya fitnah yang menyebar luas melalui berbagai media sosial, Bupati Hendy menanggapinya, dengan pernyataan tidak pernah memberikan ijin apapun terhadap pengusaha tambang.

Hendy menyatakan tak pernah mengeluarkan izin penambangan di Paseban. “Jare sopo? Kongkon mrene ae wonge sing (ngomong) oleh izin. Ditunggu!” katanya, Rabu (7/7/2021). Artinya: kata siapa? suruh ke sini orang yang ngomong mendapat izin. Seperti dirilis, bertitajatim.com.

Memahami Konflik Tambang di Jember

Untuk sekedar memahami keadaan, penulis mencoba menuangkan tulisan, yang lebih banyak bersandar pada pengalaman penulis, selama mengikuti pergulatan perlawanan anti tambang dan beberapa merupakan hasil pencerapan dari aktivis tolak tambang, serta tulisan media massa.

Pada era pemerintahan Bupati Jember Drs Syamsul Hadi Siswoyo (almarhum), penulis melakukan riset sederhana terkait dengan peta wilayah tambang, berikut konflik sosialnya.

Ketika itu, Bupati Samsul, (2000-2005) sepertinya telah membuat kesepakatan bersama PT Jember Metal, sebagai salah satu perusahaan pertambangan, yang menawarkan kompensasi cukup menggiurkan bagi pemerintahan kabupaten Jember.

Ketua DPRD Jember masih dijabat Madini Faouq (Gus Mamak), dan salah satu wakil ketuanya Drs Mahmud sardjujono (Almarhum), yang cukup intens berdiskusi bersama penulis, terkait dengan rencana penambangan di Kabupaten Jember.

“PT Jember Metal menawarkan kompensasi 50 trilyun, di awal untuk kabupaten Jember, selebihnya akan memberikan kontribusi sebesar 50 milyar pertahun,” penjelasan Wakil Ketua DPRD Jember Mahmud S kepada penulis.

Terkait dengan rencana pertambangan itu,DPRD Jember telah membentuk Pansus Tambang, yang anggotanya kemudian melakukan studi banding ke berbagai wilayah pertambangan, diantaranya Newmont.

Barangkali dari penjelasan diatas, dapat dipahami, mula-mula pemerintah dan investor telah menggunakan pendekatan keuntungan finansial, untuk menggiring opini masyarakat agar bersepakat terhadap rencana penambangan.

Seiring dengan proses politik yang terjadi di gedung DPRD Jember, juga terjadi perlawanan dari aktivis anti tambang, dengan menguatkan narasi lingkungan hidup, dan pencemaran lingkungan, untuk melawan.

Rencana penambangan era itu, ahirnya gagal, karena tidak didapatkan titik temu, antara kepentingan pemerintah daerah, investor, masyarakat dan terjadinya aksi tolak tambang yang lumayan massive.

Begitupun, yang tejadi di era Pemerintahan Bupati Jember MZA Djalal (periode I 2005 -2010, Periode II 2010 – 2015), rencana tambang di wilayah Silo, juga ahirnya digagalkan dengan aksi tolak tambang, yang secara massive dilakukan oleh masyarakat, yang tidak ingin mata pencahariannya sebagai petani dan pekebun terusik.

Penulis, menggerakkan 6000  massa dari Kecamatan Silo, tepatnya Desa Mulyorejo, meluruk pemkab Jember, yang protes atas sikap  Bupati Jember MZA Djalal, yang menyakitkan masyarakat, dengan memberikan pernyataan “Tembak di tempat”.

Begitupun, era Pemerintah Bupati Jember dr Hj Faida MMR (2015 -2021), saat regulasi perijinan tambang sudah bergeser ke Pemerintahan pusat, hampir saja masyarakat kecolongan. Dengan kedatangan orang tak dikenal, yang diduga sudah mengantongi ijin dari pemerintah Propinsi Jawa Timur, menyulut perlawanan.

Lagi-lagi, rencana pertambangan itu berhasil digagalkan melalui sidang Non Litigasi, yang dikawal langsung oleh Bupati dan wakil Bupati Jember, bersama aktivis tolak tambang.

Berdasarkan gambaran sederhana itu, maka dapat dipahami, bahwa sebenarnya konflik tambang itu, selalu bermula dari  dilanggarnya prinsip keadilan sosial (The Principle of Social Justice).

Prinsip tersebut pada intinya mengharuskan semua orang berhak atas persamaan untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, keadilan, privasi, dan peluang, tanpa memandang status hukum, politik, ekonomi, serta kondisi lain.

Adapun kelima prinsip tersebut ialah, Access (mendapatkan akses), Equity (ketidakberpihakan), Diversity (Keanekaragaman), Participation (Penyertaan/partisipasi), Human right (Hak Asasi Manusia).

Prinsip itulah,  yang sejak awal terjadinya rencana penambangan sudah tidak terpenuhi. untuk mencapai keadilan sosial. Padahal, Prinsip tersebut telah tumbuh menjadi naluri publik.

Masyarakat Paseban, Baban Mulyorejo, misalnya,  tentu tidak ingin kehilangan akses terhadap tanah yang dikelolanya sendiri, Sedangkan kegiatan pertambangan, menurut pikiran publik sudah pasti akan merampas akses mereka, bahkan terhadap tanah “milik” nya sendiri.

Rencana pertambangan, menurut pikran publik, merupakan rencana pemerintah bersama pengusaha, yang tidak akan memiliki keberpihakan kepada kepentingan masyarakat.

Penyebab konflik lainnya, Faktor kepemilikan atas  pertanahan atau persoalan lahan, faktor lingkungan hidup dalam hal ini ialah pencemaran, faktor kemiskinan atau kesenjangan sosial. Faktor kontekstual lainnya disebabkan oleh faktor budaya dan tatanan sosial, politik lokal dan pertentangan kepentingan dalam masyarakat.

Pemicu konflik dalam sektor pertambangan itu sering dikarenakan adabnya ingkar dari perjanjian, permintaan yang meningkat (the rising demand), kepentingan pihak luar (provokasi), faktor echo effect (efek gema), ada faktor respon negatif oleh pemerintah, parlemen serta faktor the rising demand dari masyarakat. Masyarakat yang dimaksud tentunya masyarakat di sekitar pertambangan yang terdampak.

Pendekatan yang dilakukan dalam penanganan konflik terdiri atas pendekatan kompensasi dan pendekatan partisipasi yang selama ini banyak digunakan oleh perusahaan dalam penanganan konflik.

Pendekatan kompensasi ialah pendekatan yang menggukan beberapa faktor. Pendekatan ini sulit karena menentukan standar besaran harga, tidak pernah memuaskan, negosiasi antara pihak yang tidak berimbang. Sehingga seperti menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak.

Pendekatan berikutnya, yang biasa digunakan yaitu pendekatan partisipasi. Pendekatan partisipasi dilakukan melalui pendekatan keterlibatan sejak awal.  Pendekatan melalui keterlibatan sejak awal kemudian berlanjut yang membutuhkan penjelasan terus-menerus tentang kegiatan.

Dari dua bagian pendekatan partisipasi tersebut mengharuskan adanya kejujuran dan transparansi. Pendekatan lain dari partisipasi ialah dengan keterlibatan seluruh warga masyarakat sekitar tambang.

Sayangnya pemerintah lebih mendahulukan pendekatan kompensasi dan partisipasi dalam penanganan konflik ketimbang menggunakan pendekatan keadilan sosial.

Konflik pertambangan, seringkali terlihat masalah pemerintahan di wilayah pertambangan. Masalah itu seperti tidak hadirnya pemerintah ditengah kehidupan masyarakat.

Selain itu kemampuan menyampaikan pelayanan rendah, sehingga kepercayaan warga juga rendah kepada pemerintah. Kepercayaan kepada pemerintah setempat yang rendah juga terjadi karena harapan masyarakat tidak realistis

Itulah sekedar tulisan pendek, berdasarkan pengalaman dan pemahaman penulis, yang tentu saja belum bisa memberikan gambaran seutuhnya, tetapi setidaknya dapat digunakan sebagai kompas untuk memahami tentang adanya konflik tambang di Kabupaten Jember. (*)

 

 

Table of Contents
- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img