Jember – Jempolindo.id- KSIC Jember, melaksanakan acara diskusi perdana, dengan tema “Indonesia 2045 dari Sudut Pandang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).
Baca juga: Sambut Kongres HMI ke-32, KSIC Bandung Deklarasi Dukung Firman Nasution
Diskusi Kelompok Studi Insan Cita (KSIC) Jember itu, yang berlangsung di Cafe Cangkruk, cukup menarik minat mahasiswa. Senin (20/11/2023).
Acara dipantik oleh tiga pengurus dari tiga komisariat HMI Cabang Jember. Diantaranya, Altasya Elanda sebagai Ketua Umum Komisariat Pertanian, Raisa Imaniar sebagai Ketua Umum Komisariat MIPA, dan Faurizal sebagai Sekretaris Umum Komisariat Teknologi Pertanian.
Diskusi berjalan secara interaktif, terlihat dari hadirin yang berasal dari berbagai studi keilmuan, saling melemparkan argumentasi tentang pandangannya mengenai Indonesia di tahun 2045 nanti.
KSiC Jember Ingatkan STEM
Altasya, sebagai pemantik pertama mengingatkan kembali mengenai makna STEM dan fungsinya terhadap dibuatnya berbagai kebijakan.
Ia menyampaikan, betapa mirisnya, ketika melihat bahwa STEM yang awalnya merupakan ilmu untuk memahami alam semesta tersebut, ternyata seringkali tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
“IPTEK atau STEM ini hanya dianggap sebatas ide-ide saja tanpa adanya tindak lanjut,” ujarnya.
Menurut Altasya ide-ide yang berasal dari IPTEK/STEM yang diimplementasikan, akan berdampak secara signifikan pada kesejahteraan masyarakat bahkan kesejahteraan Indonesia.
Maka disertakannya para ahli, akan membuat prosesi pembuatan kebijakan lebih terencana dan meminimalisir dampak kerugian.
“Karena kalau dipikir-pikir lagi ketika iptek itu atau para ahli itu diikusertakan dalam pembuatan kebijakan atau apapun ranahnya nanti dalam ranah pemerintahan, pemikiran yang 20-30 tahun kedepan itu lebih terencana dan lebih mengurani adanya potensi-potensi kegagalan dan kerugian,” jelasnya.
Menurut Altasya, kebijakan yang dibuat secara pragmatis dan tidak direncanakan secara mendalam sebagai dampak dari politik dan pergantian jabatan, yang rata-rata setelah pergantian jabatan banyak proyek yang berhenti atau justru cepat tergantikan.
Hal ini justru menyebabkan Indonesia lambat berkembang atau justru tidak berkembang.
“Pendeknya pemikiran atas pembuatan kebijakan atau tidak dilibatkannya ahli dari awal menyebabkan keberlangsungan itu ya hanya manis di awal saja,” ujarnya.
Secara sedehana, kata Altasya, dalam pertanian organik misalnya , tidak bisa kemudian melihat secara instan 1-2 bulan atau sekali panen kemudian langsung melihat keberhasilannya.
“Namun itu berdampak panjang, dalam kesehatan tanah 3-5 tahun kedepan, mungkin awalnya tidak terlalu signifikan tapi 10-20 tahun kedepan akan terlihat bukti nyatanya seperti apa,” papar Altasya.
Peranan Pemuda
Raisa, sebagai pemantik kedua lebih menyorot terhadap sikap golongan muda dan bagaimana seharunya golongan muda menyikapi Indonesia 2045 serta fungsi pendidikan terhadapnya.
Menurut Raisa, generasi muda merupakan pelari maraton terakhir, yang akan menentukan bagaimana Indonesia di 2045 nanti.
Maka kualitas generasi muda harus sangat diperhatikan, kualitas ini bisa dicapai dari bagaimana pendidikan itu difungsikan.
Selain lembaga pendidikan, menurutnya, rumah tangga seharusnya juga berperan dalam kualitas pendidikan sang anak.
“Tidak bisa hanya bergantung pada sekolah karena yang utama sebelum sekolah anak itu terdidik di rumah, dan itu bisa terlihat ketika di sekolah, anak-anak yang kekurangan afeksi di rumah dan lingkungan berpengaruh terhadap kecepatan dia menyerap informasi,” ujarnya.
“jika kondisi di rumah tidak kondusif, kata Raisa akan berdampak kepada perkembangan psikomotorik sang anak dan mempengaruhi karakter anak,” imbuhnya.
Raisa juga menyampaikan keresahannya terhadap kualitas sumberdaya, untuk tercapainya Indonesia emas di tahun 2045, dikarenakan banyaknya generasi muda yang tidak produktif dan berpendidikan rendah.
“Yang dimaksud kurang pendidikan itu bukan perbandingan yang sd, smp, sma dengan kuliah dengan yang tidak sekolah tapi jenjang anak yang kuliah itu lebih sedikit,” jelas Raisa.
Menurutnya, hal tersebut akan berpengaruh pada perspektif yang didapat.
Luasnya informasi dan diversifikasi dari perspektif nantinya akan berdampak pada kontribusi generasi muda terhadap lingkungan dan hal itu hanya bisa didapat di lingkungan universitas.
“karena kan kalau kita hanya sd cenderungnya kan hanya masyarakat lokal dibanding kuliah yang terdiri dari banyak daerah dengan daerah itu punya nilai-nilai dan karakter masing-masing,” ujarnya .
“Karenanya, pemuda bisa belajar dari segi nilai, karakter, dan bagaimana caranya bisa menghadapi orang lain,” imbuhnya.
Sebab lain, minimnya pendidikan dan produktifitas dari generasi muda, juga kurikululm pendidikan yang selalu cepat berubah sehingga tidak ada kontinuitas.
Pendidikan di indonesia sekarang terlalu banyak modifikasi tetapi kurang evaluasi. Perubahan kurikulum yang sangat cepat menyebabkan dari teman-teman tidak ada kontinu bingung,
“Pihak guru bingung, teman-teman bingung yang akhirnya kacau sistemnya,” ujar Raisa.
Raisa juga menyampaikan apabila ingin Indonesia di tahun 2045 gemilang, dengan jarak 22 tahun lagi seharusnya ada perbaikan sistem kurikulum yang baik.
“Indonesia hanya punya waktu 5 tahun, dan setiap 5 tahun jangankan periode yang lain dalam satu periode perubahan kurikulum bisa terjadi apalagi dengan 22 tahun kedepan yang artinya masih ada 4 periode, gimana caranya dari pemerintah jangan hanya janji manis saja terkait indonesia 2045 tetapi penerapannya tidak sesuai dengan yang diharapkan,” tambahnya.
Soroti Kebijakan
Sesi tiga dipantik oleh Faurizal yang lebih membahas terhadap kondisi dari dampak kebijakan yang minim landasan dan cenderung merugikan.
Faurizal menyebutkan beberapa contoh penerapan kebijakan, yang justru merugikan banyak pihak, di antaranya adalah pelaksanaan program stunting.
Dia menjelaskan bahwa kebijakan stunting justru tidak tepat sasaran tetapi memakan biaya yang tidak semestinya.
Sehingga ditakutkan bahwa penerapan kebijakan tersebut tidak akan menjawab permasalahan stunting secara umum.
“Formulasi tak mendalam yang mengesampingkan teori dan berbagai riset yang menyebabkan hal tersebut terjadi,” ujar Rizal.
Padahal menurut Rizal seharusnya pada 1000 hari pertamalah nutrisi anak harus sangat diperhatikan, namun kenyataannya kebijakan program stunting justru memandang hal tersebut dengan sangat sederhana.
“Pelaksanaan program stunting hanya memberikan bingkisan kepada bayi dan dilaksanakan hanya pada momentum tertentu, itupun akhirnya bukan bayi yang mengkonsumsi,” tambah Rizal.
Faurizal juga memberikan contoh lain terhadap pelaksanaan kebijakan yang mengesampingkan riset mendalam, yakni mengenai isu pabrik semen di daerah Jember selatan yang merugikan irigasi lahan petani di sekitar pabrik.
Pabrik yang sebelumnya ditolak oleh komunitas tani di sekitar, namun akhirnya disetujui oleh stakeholder ahli bahkan kebanyakan petani juga akhirnya setuju.
Menurut Rizal, hal ini diakibatkan oleh minimnya pengetahuan dari petani terkait dampak yang akhirnya banyak dirasakan oleh mereka.
“Hanya karena uang serta minimnya pengetahuan yang menggiring kepada pragmatisme hingga akhirnya banyak dari mereka merasakan dampak buruk yang panjang,” ujar Rizal.
Rizal juga menyampaikan bahwa dibutuhkan peran pemuda sabagai narator untuk membuka wawasan banyak pihak terhadap pengawalan proses pembuatan kebijakan dan evaluasi penerapannya.
“Kita sebagai pemuda harus tau dan membuka bagaimana itu kebijakan, bagaimana evaluasinya dan harus berfikir mengenai satu hingga dua langkah kedepan terkait dampaknya nanti seperti apa,” jelas Rizal. (Gilang)