Jember-Jempol. Tak dinyana sore itu, Minggu (30/08/2020) Jempol kedatangan tamu seorang muallaf asal Negara Timor Leste, Muallim Monteiro (36) yang sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajamen Universitas Jember.
Siapa sangka Muallim juga pernah ikut acara Aksi Dai Asia di salah satu stasiun TV swasta.
Jempol coba mengulik kisah perjalanan hidup Muallim yang barangkali bisa menggugah inspirasi dan motivasi.
Muallim mengawali ceritanya ketika masih sekitar kelas 2 Sekolah Dasar di
Desa Fi Que Que. Saat pulang sekolah Muallim kecil menemukan sebuah buku bertuliskan huruf yang belum pernah dikenal, belakangan baru diketahuinya buku itu Al-Qur’an, kitab suci ummat Islam.
“Kitab itu saya bawa pulang dan saya letakkan di dalam laci,” kisahnya.
Keesokan malamnya, Muallim bermimpi bertemu dengan banyak orang berjubah putih. Dalam mimpinya Muallim merasa damai berada dalam kerumunan itu.
“Saya tidak tahu tempat apa itu ?,” Tuturnya.
Mimpi itu yang membuatnya nekad meninggalkan rumah tanpa ada tujuan pasti.
“Saya tinggal kedua orang tua hanya berbekal baju celana, tanpa alas kaki,” katanya mengenang kenekatannya.
Seperti ada yang menuntun batinnya, Mullim hanya berpikir hendak menitipkan di salah satu yayasan di Dili Timor Leste.
Muallim pernah mendengar tentang Yayasan Al Yakin yang dikelola Mari Alkatere, mantan perdana menteri timor leste.
Tampaknya yayasan itu hanya menampung anak- anak muslim. Sementara dibenak Muallim beterbangan kecemasan, jika masuk Islam sudah tentu akan menyebabkan konflil di tengah keluargamya yang masih beragama nasrani.
“Saya mau masuk islam, tapi saya tidak mau di timor, saya di bawa ke Makasar,”
Tutur Muallim.
Melalui saudaranya yang lebih dulu menjadi muallaf, Muallim dikirim ke Makasar. Sebelum menemukan tempat tinggal, Muallim tinggal di masjid Perumahan Dosen UMI (Universitas Muslim Indonesia) Makasar.
Tak beberapa lama, agar dapat menempuh pendidikan Agama, Mualim masuk Pesantren Mujahidin Makasar, selama 3 tahunan.
*Selama di pesantren saya gak betah menjalaninya,” katanya.
Karena merasa tertekan, Muallim kabur dari pesantren, menumpang tidur di Masjid dekat pasar Pangkajene.
Memperhatikan anak yang sedang terlantar, seorang kepala pasar Pangkajene, Puang Liwang memungutnya.
“Sejak itu saya bekerja bikin tambak selama 3 tahun,” kenangnya.
Setelah tiga tahun keberadaan Muallim diketahui saudara – saudaranya sesama Timor Leste. Muallim dikirim ke Bondowoso Jawa Timur untuk menempuh pelajaran di bawah bimbingan KH Masruri Abdul Muhid LC, pengasuh ponpes Darul Istiqomah Pakuniran.
“Saya tinggal di pesantren selama 3 tahun, sampai kelas 3 Setingkat SMP,” katanya.
Selama tinggal di pesantren Muallim sering sakit sakitan hingga hampir mati.
Gak kuat di pesantren, Mullim memutuskan pindah ke Surabaya, Bendul Merisi. Sekali lagi tujuannya masih menumpang hidup Masuk panti asuhan, sambil melanjutkan Sekolah di SMA Yapita Surabaya.
Muallim remaja sempat mengukir prestasi sebagai juara 1 lomba pidato bahasa arab tingkat surabaya.
“Sejak kelas 2 SMA saya tinggal di sekretariat Timor Leste,” katanya.
Entah bagaimana, yang jelas Muallim mulai kesulitan membayar uang sekolah, untungnya salah seorang Guru Bahasa Inggris bersedia membantunya. Muallim diajukan mewakili sekolah SMA Bina Taruna menjumpai Dubes Jnggris di Surabaya.
Saat berjumpa dengan Dubes Inggris Muallim ditanya kenapa tidak pulang saja ke Timor Leste, bukankah Timor Leste sudah merdeka.
“Saya pulang harus sarjana,” tekadnya.
Mendengar penjelasan Muallim, Dubes Inggris mungkin merasa tersentuh lalu menyelesaikan seluruh Biaya sekolahnya.
“Saya semakin yakin, Selama kita dekat dengan Allah pasti ada jalan,” tegasnya.
Lulus SMA, Muallim melanjutkan kuliah di LP3i Makasar sekitar tahun 2006. Tak ada tempat berteduh, Muallim ditampung temannya yang beragama Nasrani.
Selama di Makasar, Mullim bertahan hidup dengan berjualan es cream. Setiap hari pemuda itu menjajakan dagangannya menggunakan sepeda pancal.
“Hasil jualan saya kumpulkan untuk beli tiket ke Jakarta,” kenangmya.
Muallim di Jakarta berusaha mencari orang tua angkat yang bersedia menampungnya. Beruntung dia bertemu dengan Bu Heni, salah seorang aktivis partai politik yang bersedia mengongkosi kuliahnya.
Muallim berhasil kuliah di Universitas Muh Husni Thamrin, Fakultas Informatika hingga lulus.
“Setelah lulus S1, saya terpaksa menolak tawaran Bu Heni untuk bekerja di Jakarta, saya ingin pulang. Rindu orang tua,” katanya.
Sepulanh ke tanah kelahirannya Muallim mulai berkiprah mengukir prestasi. Dia ingin menujukkan sebagai muslim meski minoritas setidakmya mampu berbuat dan bermanfaat.
Pada tahun 2015 sempat direkrut sebahai timnas sepak bola liga Timor Leste,
Tahun 2017 kerja di kedutaan Republik Indonesia.
Tahun 2018 ikut Dai Aksi Asis Indonesiar
2019 menempuh S2 di Universitas Jember, Fakultas Ekonomi Manajamen.
Demi meraih cita citanya hingga kini Muallim menunda menikah.
“Saya harus tuntaskan amanah, baru menikah,” pungkasnya.
Jika tak ada halangan, setahun lagi Muallim lulus menempuh S2. Tampaknya dalam hatinya semangat kuat mewujudkan obsesinya meng islam kan seluruh keluarganya.
“Saya baru merasa berhasil dalam hidup jika bapak ibu saya bersedia masuk Islam,” pungkasnya. (Sofyan)