Jember – Banjarsari – Jempolindo.id – Generasi pertama Warga Desa Banjarsari merupakan masyarakat Urban yang didatangkan oleh Belanda dari Pulau Madura, sebagian dari Wilayah Bojonegoro, dan Wilayah Mataraman Jawa Timur bagian Barat.
Berdasarkan cerita dari tokoh masyarakat Desa Banjarsari, dari generasi ke empat, yang kini masih hidup, didapat kisah turun temurun, yang berkembang di tengah masyarakat.
Sayangnya, bukti bukti fisik tidak tersimpan secara rapih, sehingga sulit ditemukan bukti berupa foto, gambar atau catatan lainnya.
Kedatangan masyarakat urban itu lebih banyak untuk kepentingan Penguasa Belanda, yang mengelola perkebunan, di sekitar Desa Banjarsari, diantaranya Perkebunan yang kini menjadi PTPN XII Kebun Banjarsari.
Namun ada diantara mereka, yang memilih membuka kawasan pertanian, seperti yang dilakukan seorang Tokoh bernama Ki Berkong Morojoyo.
Konon, Ki Berkong menolak menjadi budak penjajah, sebagai buruh perkebunan dengan bayaran seadanya, dan harus mematuhi seluruh aturan perkebunan, yang kadang tidak manusiawi.
Karenanya, Ki Berkong bersama 3 tokoh utama lainnnya membuka lahan pertanian, sebagai mata pencaharian, mereka diantaranya Kakek Jamik, Kakek Sari, dan Kakek Gerila.
Peristiwa itu terjadi sekira tahun 1884, yang belakangan menjadi cikal bakal berdirinya Desa Banjarsari, kini menjadi bagian dari Pemerintahan Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember.
Nama Banjarsari, sebenarnya sudah ada sejak era pemerintahan Kerajaan Majapahit, ( untuk bagian ini akan dikisahkan tersendiri, yang banyak dihubungkan dengan legenda Dewi Rengganis, 1293 – 1527 M), namun belum berupa sebuah desa, melainkan bagian dari pemerintahan desa di sekitarnya.
Karenanya, keberadaan Ki Berkong juga belum menjadi Kepala Desa, melainkan sebagai tokoh kultural yang disegani.
Nama Duko Banjarsari
Sebenarnya Masyarakat Desa Banjarsari lebih akrab menyebut nama desanya dengan sebutan Duko.
Sebutan itu semakin memperkuat bahwa peran Ki Berkong memang cukup besar dalam menciptakan tatanan masyarakat di Wilayah itu.
Nama Duko, merupakan sebutan wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat, seperti yang lazim dikenal di Kabupaten Pamekasan Madura.
Maka kemudian, warga setempat lebih nyaman menyebut Desa Duko Banjarsari, meski dalam catatan administrasi pemerintahan, sebutan Duko tidak dikenal.
Pengukuhan Kepala Desa Pertama
Ki Berkong baru ditetapkan sebagai kepala desa secara formal, pada sekira tahun 1924 M, setelah berlakunya ketetapan dari pemerintahan Belanda kala itu.
Tidak ada sumber yang jelas, siapa nama sebenarnya Ki Berkong, namanya lebih banyak dikaitkan dengan tempat asalnya, Dusun Berkongan Desa Kadur Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan Madura.
Sedangkan nama Morojoyo, merupakan nama julukan yang diberikan Pemerintahan Belanda kala itu, yang berkolaborasi dengan Susuhunan Surakarta.
Kedatangannya di Wilayah Banjarsari, bukan sebagai masyarakat Urban yang menjadi buruh perkebunan Belanda, melainkan sebagai pelarian dari Pulau Madura setelah perubahan politik, sekira tahun 1853, karena kekuasaan Belanda yang berhasil menghapus Kerajaan Pamekasan dan Kerajaan Sumenep.
Konon, Ki Berkong merupakan putra dari salah seorang punggawa Kerajaan Pamekasan yang menentang penjajahan Belanda, hingga harus menyingkir ke Pulau Jawa.
Selain memang ketika itu, ketersediaan pangan masyarakat Pulau Madura bergantung pada pasokan dari Pulau Jawa. Sehingga merupakan pilihan yang tepat ketika Ki Berkong hijrah ke Pulau Jawa, tepatnya di wilayah yang sekarang menjadi Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember.
Wataknya yang keras, seperti pada umumnya masyarakat suku Madura, tak mudah bagi Penguasa Belanda yang mengelola Perkebunan Banjarsari menaklukkannya.
Sepak terjang Ki Berkong yang seringkali menentang kebijakan kolonial, cukup merepotkan pemerintahan Belanda, sehingga tak bisa menolak, ketika Ki Berkong menuntut pemberian lahan dan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat Urban yang datang dari Pulau Madura dan sebagian dari Jawa Kulonan ( Bojonegoro, Blitar dan sekitarnya).
Ki Berkong bersama 3 tokoh lainnya, berinisiatif membuka lahan pertanian di sekitar kawasan Perkebunan, dengan tujuan agar tidak semua menjadi buruh perkebunan, melainkan dapat bercocok tanam.
Menurut keyakinan yang berkembang, Ki Berkong memiliki kemampuan linuwih, yang semakin membuat Kolonial Belanda memperhitungkan keberadaannya, dengan membiarkannya membangun tatanan masyarakat menurut kehendaknya.
Salah satu riwayatnya, Ki Berkong jika meludah harus ditempatkan pada sebuah mangkuk, agar tidak diinjak orang. Karena kaki yang menginjak ludahnya akan melepuh dengan sendirinya.
Terbukti, Belanda juga berulangkali gagal menangkapnya, karena tidak satupun pasukan Belanda yang mampu mengalahkannya, ketika harus bertarung fisik.
Kepercayaan itu terus berkembang, hingga meneguhkannya sebagai sosok yang pilih tanding, lantas penguasa Belanda pun mengukuhkan menjadi seorang Kepala Desa.
Kala itu, Jember masih merupakan distrik bagian dari Karesidenan Besuki, belum menjadi Kabupaten Jember, yang baru dikukuhkan menjadi Kabupaten pada tanggal 1 Januari 1929.
Sayangnya, Ki Berkong tidak memiliki kemampuan menulis dan membaca, karenanya secara administratif, pemerintah Desa yang dipimpinnya juga praktis tidak memiliki tatanan administrasi.
Sementara, kehidupan masyarakat Desa Banjarsari terus berkembang, beranak pinak. Memiliki rumah permanen, dan mengelola lahan pertanian.
Baru 24 tahun berikutnya, ketika seorang cucunya bernama Abdul Rahman, telah dewasa, membantunya sebagai Sekretaris Desa, mulai melakukan penataan administrasi desa (1940).
Ki Berkong Morojoyo, diperkirakan meninggal pada tahun 1950 an, kini makamnya nampak tidak terawat. (Part II)