Jember_Jempolindo.id _ Membaca hasil reportase Media Plat merah rasanya ingin ketawa ngakak. Pernyataan Seorang Keynote Speach dalam Festival HAM yang diselenggarakan di Jember di Aula PB Sudirman, Pemkab Jember, Selasa (19/11/2019) amat menggelitik.
Begitu tegasnya Jaleswari Pramodhawardani, utusan Kantor Staf Presiden (KSP) yang menyatakan Jember merupakan contoh dari kolaborasi ideal masyarakat sipil, pemerintah daerah, dan sektor lain dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM.
Jember dinilainya telah merepresentasikan model daerah yang mendengar aspirasi masyarakat, diantaranya dengan adanya penolakan Jember dalam kasus Tambang.
Menyebut penolakan ijin tambang sebagai contoh, bagus juga, Faktanya memang Bupati Jember dr Faida MMR menolak ijin tambang blok Silo. Tetapi pertanyaannya apakah Faida akan menolak ijin tambang itu tanpa ada demo besar – besaran yang digelar masyarakat Silo bersama para pegiat Anti Tambang ?
Sepertinya penolakan ijin tambang itu tak akan pernah terjadi tanpa ada reaksi besar dari masyarakat anti tambang.
Perut kian mules membaca pidato Faida yang menyampaikan, bahwa Kabupaten Jember memiliki visi untuk melakukan pembangunan berbasis HAM dan berkeadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkannya, Pemkab Jember telah melakukan berbagai upaya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Jember, baik kesehatannya, pendidikan, ketenagakerjaan dan lainnya.
Jika yang dimaksud peduli pendidikan itu ukuran pemberian bea siswa, itu juga tak terbantah, bahkan Bupati Faida telah mengalokasikan anggaran bea siswa over target, semula hanya ditargetkan 5000 siswa, kini malah mencapai 10.000 ribu siswa.
Tetapi, harusnya juga disimak bagaimana pembangunan fasilitasi gedung pendidikan SD dan SMP, terutama gedung sekolah yang rusak, penyelesaiannya bukan main rumitnya.
Belum lagi soal nasib ribuan GTT (Guru Tidak Tetap) dan PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang terpuruk.
Bagaimana dengan Jember yang tak lagi mendapat jatah CPNS tahun 2109 ?
Apakah Pemkab Jember sudah peduli nasib petani yang terbiarkan ?
Bagaimana dengan akses difable ?
Masih banyak segudang permasalahan yang mestinya juga menjadi pertimbangan ukuran menentukan sebuah status. Bukan hanya sekedar dinilai dari kepiawaian melakukan presentasi, serta lobi – lobi yang mengagumkan.
Cobalah pada pendekar HAM itu melakukan survey terlebih dulu, tanya kepada para kepala sekolah, lihat fakta objektifnya, sebelum terlibat dalam serangkaian komedi.
Soal ketenaga kerjaan, sepertinya belumlah pantas dianggap representasi peduli HAM, soal UMR saja Jember masih menetapkan sebesar Rp 2,1 juta, kalah dengan Kabupaten Pasuruan yang sudah mencapai Rp 3,4 juta.
Terlebih soal pelatihan HAM bagi seluruh Kepala Desa se-Kabupaten Jember yang juga di klaim sebagai ukuran peduli HAM. Sesungguhnya belum pantas dijadikan sebagai tolak ukur bahwa Kabupaten Jember sudah peduli HAM.
Pelatihan itu diberikan hanya beberapa hari menjelang diselenggarakannya agenda berlevel Internasional itu.
Entah siapa desainer dibalik suksesnya penyelenggaraan festival HAM di Kabupaten Jember, tetaplah harus diacungi jempol. Meski memancing kegelian tak berkesudahan.
Faida berhasil menyakinkan dunia luar untuk percaya atas kebijakan yang dianggapnya sudah peduli HAM. Hingga mampu mengajak tak kurang dari 1000 peserta yang berasal dari perwakilan 33 kabupaten/kota. Serta perwakilan dari 12 negara, Kanada, Swedia, Korea Selatan, Amerika Serikat, Belanda, Thailand, Timor Leste, Myanmar, dan perwakilan masyarakat sipil, untuk datang ke Jember. (*)