20.7 C
East Java

Hari Diskriminasi Rasial Internasional :  “Memperkokoh Tindakan Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Di Papua”

Oleh : ALFIAN ANGGI DARMAWAN *)

Sebagai negara mega cultural diversity, indonesia memiliki 250 kelompok etnis dengan 500 jenis bahasa daerah. Namun, perlakuan diskriminatif masih saja terjadi dan menjadi isu yang kerap di politisasi hingga berujung pertikaian dan perpecahan bangsa.

Penting bagi Indonesia dalam menanamkan nilai torelansi dan dialog diatas perbedaan. Bertepatan dengan hari Diskriminasi Rasial Internasional tanggal 21 Maret 2020 adalah sebuah konvensi hak asasi manusia yang mewajibkan anggotanya untuk menghapuskan diskriminasi ras dan mengembangkan pengertian diantara semua ras dalam sektor kehidupan politik, ekonomi, sosial maupun budaya.

Konvensi ini juga memberikan kewajiban pelarangan penyebaran kebencian dan pengkriminalan keikutsertaan dalam organisasi rasis. Hendaknya perayaan yang diadakan setiap tahunnya tidak hanya sekedar dimaknai sebagai perayaan saja, tetapi sebagai wujud perjuangan kaum ras minoritas untuk mendapatkan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan.

Negara Indonesia masih di hadapkan pada persoalan diskriminasi ras dan etnis yang terjadi secara masif, mulai dari sektor politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Persoalan demikian, dilatarbelakangi oleh dominasi ras melayu yang berkulit warna terang sawo matang melihat orang ras melanesia yang berkulit gelap rambut keriting sebagai manusia paling rendah, paling bodoh dan paling tertinggal dari aspek kemajuan modernisasi. Karena merasa lebih dominan dan lebih pintar, orang-orang melayu mengkontruksi tekanan secara politik, ekonomi, Hukum maupun pemerintahan terhadap orang-orang ras melanesia. Secara kesukuan yang paling banyak menjadi sasaran diskriminatif rasial yang berupa rasisme di Indonesia adalah suku bangsa Papua.

Diskriminasi rasial terhadap suku bangsa papua ini terus berlangsung sepanjang tahun. Sejak perebutan wilayah Papua masuk ke Indonesia sampai sekarang. Pandangan diskriminasi rasial tersebut masih terbudayakan oleh bangsa melayu terhadap bangsa melanesia. Dalam pandangan melayu, orang papua sering disamakan seperti sejenis binatang hutan. Merendahkan martabat kemanusiaan sejajar dengan martabat sejenis binatang. Pandangan rasial ini terus tumbuh dan berkembang secara terstruktur, sehingga perlakuan diskriminatif dalam pergaualan sehari-hari terlihat jelas antara ras melayu dengan ras melanesia.

Pergaulan sosial dalam lingkungan masyarakat, lingkungan kerja dan lingkungan pendidikan ataupun kampus masih terasa adanya gab disriminasi. Pemahaman masyarakat akan dampak rasialisme masih minim dengan adanya konten-konten provokatif yang membanjiri dunia maya laku dikonsumsi.

Pada tahun 2019 lalu, di Indonesia tengah mengalami salah satu kerusuhan terbesar di wilayah Papua, dipicu oleh perlakuan rasis terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur oleh personel keamanan dan masyarakat sipil. Meski rasisme terhadap terhadap rakyat Papua bersifat endemik di seluruh Indonesia, akar dari protes tersebut terletak pada sejarah kolonisasi, dominasi etnis,dan asimilasi budaya dibawah kekuasaan Indonesia yang telah berlangsung lama dan keras.

Sejak kejadian itu, demonstrasi anti-rasisme telah berlipat ganda dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya di sekitar tiga puluh lokasi di seluruh nusantara.

Perlakuan rasialis inilah yang merupakan salah satu faktor pendorong timbulnya pemberontakan jiwa orang ras melanesia atau Papua yang ingin segera lepas dari Indonesia untuk membentuk negara sendiri. Ini merupakan bukti perlawanan keras dari orang-orang Papua, dimana perjuangan Papua merdeka dari waktu ke waktu terus berkembang luas.

Perjuangan melalui jalur diplomasi maupun jalur militer dengan kekerasan semakin hari makin sulit teratasi oleh pemerintah indonesia. kemiskinan masyarakat dan degradasi ekologi tetap marak di daerah-daerah dimana kegiatan ekstraktif dari atas ke bawah (top-down) dan berbagai kegiatan perusahaan lainnya masih terus berlangsung.

Terlepas dari sumber daya alamnya yang kaya dan PDB regional yang tinggi. Papua tetap menjadi wilayah termiskin di Indonesia dengan tingkat kematian tertinggi pada anak-anak, tingkat melek huruf terendah, dan tingkat penyakit HIV/AIDS tertinggi kedua di Indonesia. Disamping itu, dalam ranah politik Partai Papua Bersatu (PPB) yang merupakan partai lokal masyarakat papua tidak dapat ijin sebagai peserta pileg 2019 karena belum adanya regulasi hukum yang secara tegas mengatur keberadaan partai politik lokal papua dan UU Otonomi Khusus (Otsu) yang dinilai terjadi banyak kendala sehingga belum berjalan secara optimal terkait masalah distribusi kewenangan dan aliran dana yang tidak jelas.

Bertepatan dengan Hari Diskriminasi Rasial Internasional maka sebagai organisasi gerakan yang juga menjadi bagian daripada perjuangan dalam mewujudkan keharmonisan, rasa persatuan dan toleransi didalam kebhinekaan.

Dengan ini Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Cabang Jember menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Menegaskan kepada pemerintah untuk memperhatikan hal-hal strategis yang perlu dievaluasi dalam pembahasan revisi UU Otonomi Khusus Papua yang masuk Prolegnas 2020.
    Dikarenakan UU Otonomi Khusus Papua merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan serta pemberdayaan seluruh rakyat di Papua. Disamping itu, UU Otsus merupakan kompromi politik yang dimaksud untuk merespon tuntutan kemerdekaan Papua guna menengahi konflik yang melanda Papua dan sekaligus perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua. Dalam pembahasan Prolegnas terkait Otsus Papua tersebut, pemerintah harus melihat hal-hal yang strategis untuk dievaluasi khususnya dalam aspek pembangunan daerah yang berjalan sangat lamban dan pemekaran wilayah papua yang saat ini masih sering bermasalah. Disamping itu, pada ketentuan pasal 28 ayat 1 UU Otsus tentang Partai Politik dan bukan Partai Politik Lokal dinilai menghambat serta menghalangi Partai Politik Papua Bersatu (PPB) untuk ikut serta dalam Pileg 2019. Jika berbagai kelemahan dan kendala pelaksanaan Otsu ini tidak segera di perbaiki, maka dapat berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat terhadap kesungguhan pemerintah dalam memenuhi tuntutan mereka dan sangat memungkinkan justru semakin menggema suara-suara kritis yang menghendaki perpisahan Papua menjadi wilayah merdeka yang lepas dari wilayah NKRI.
  2. Mendesak pemerintah untuk membentuk Badan Pengawas Khusus dalam mengawal pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.
    Dalam hal ini, perlu adanya suatu pengawasan dalam menjalankan UU Otsu ini agar terukur, terarah dan tepat sasaran. Mengingat bahwa banyak sekali kendala yang menghambat pembangunan dan pemberdayaan rakyat Papua. Dengan demikian, jika tercipta sinergi antara idealitas normatif dengan sikap nyata dan konsistensi baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah papua, maka Otsus menjadi suatu penyelesaian dan kebijakan terbaik dalam mewujudkan seluruh keinginan masyarakat Papua.
  3. Mendesak pemerintah untuk menjalankan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
    Dalam hal ini dikarenakan tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, konstitusi 1945 dan deklarasi universal Hak Asasi Manusia. Selain itu, Negara mengakui bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap segala bentuk diskriminasi ras dan etnis. Melalui UU Nomor 40 tahun 2008 meminta setiap warga negara wajib membantu mencegah terjadinya diskriminasi Ras dan Etnis. Serta setiap warga negara memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi Ras dan Etnis.
  4. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjaga rasa persatuan, toleransi, kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara
    Dalam masyarakat majemuk atau beragam, sikap dan perilaku toleran wajib dijaga dan dikembangkan. Mencoba menghilangkan tindakan provokasi melalui konten media sosial yang berbau rasisme demi keutuhan bangsa dan negara. Tanpa sikap dan perilaku yang saling toleransi, maka kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa tak mungin terwujud. Keberagaman dalam kehidupan sosial bukan hanya menyangkut sosial sosial budaya tetapi juga menyangkut keberagaman sosial ekonomi maupun politik. Maka, seharusnya keberagaman justru menjadi pendorong masyarakat untuk lebih memperkuat kerukunan, persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

*) Penulis adalah  Komisaris DPK GMNI FIB- UNEJ

Table of Contents
- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img