Jember, Jempolindo.id – Film Jejak Sang Timur, merupakan Literasi budaya sebagai salah satu jalan memajukan peradaban sebuah bangsa, merupakan hasil kerja budaya bersama antara IKA UB dengan Ditjen Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Desa PDTT telah tayang perdana pada tanggal 3 Agustus 2024 di bioskop XXI Jatiland, Ternate.
Film Jejak Sang Timur, sebuah karya yang menjadi bukti bahwa alumni UB memiliki bakat dan potensi yang tersebar di berbagai bidang. Termasuk berkarya di bidang perfilman. Dengan ditayangkannya film ini, diharapkan akan semakin banyak bakat dan potensi lain alumni UB yang bermunculan, dapat difasilitasi oleh IKA UB, bisa menambah kekuatan keberadaan alumni UB di mana pun berada, untuk berkarya sepenuh rasa.
Film Jejak Sang Timur dibintangi Laras Sardi, Kevin Abani, dan Zidane Azhar. Produser dan penulis skenario, Kirana Kejora, alumnus FPIK UB 1989. Disutradarai Fajaria Menur Widowati, alumnus S2 FISIP UB 2019, dengan beberapa cast dan crew juga dari alumni Universitas Brawijaya.
Film dengan gambar-gambar eksotis khas Indonesia timur ini, memiliki OST. Sula Sang Timur, yang digarap khusus Trie Utami dan Redy Eko Prastyo.
Kini siapa pun bisa menikmatinya, karena telah tayang di OTT Maxstream Telkomsel.
Jejak Sang Timur terus maju, melaju. Mensyiarkan pesan membangun negeri, sepenuh hati.
Dalam waktu dekat, IKA UB didukung oleh Universitas Brawijaya dan Kemendesa PDTT akan mengadakan nonton bareng artis, crew film, alumni UB, dan sivitas akademika UB. Acara nonton bareng ini akan digelar pada tanggal 12 September 2024 siang, di Auditorium UB.
Sorenya, kembali nobar digelar untuk para komunitas penulis, budaya, seni, film, anak sekolah, dan mahasiswa umum di Mopic Cinema Malang.
Semoga film Jejak Sang Timur, mampu memberi atmosfer segar dalam berliterasi budaya, dan sanggup menyajikan warna baru di dunia perfilman tanah air.
Selengkapnya sinopsis JEJAK SANG TIMUR
Timur Flower (24), seorang gadis tangguh, mandiri, berdarah Maluku dan Jawa. Anak tunggal Abdul Rahim dan Sinta Rahayu. Sejak usia 14 tahun telah jadi anak yatim -ayahnya, seorang guru dan aktivis lingkungan di Sula – wafat saat menjalankan tugas. Lalu ibunya, periset dan pemerhati budaya, memutuskan pulang kampung ke Malang. Hubungan dua keluarga besar ayah ibunya kurang terjalin baik, karena pernikahan kedua orang tuanya kurang mendapat restu dari pihak keluarga ibu.
Flo memiliki teman dekat bernama Sula Sangaji (Sula), teman sebangku, teman bermain, teman debat, teman diskusi. Perpisahan mereka menjadi kesedihan tersendiri. Sula sejak kecil telah ditinggal ibunya, hanya hidup berdua dengan Rahmat Abdi, ayahnya, seorang nelayan, juga petani kopra yang mendidiknya menjadi lelaki tangguh.
Flo adalah seorang mahasiswa akhir Program Magister Ilmu Sosial di Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, jurnalis budaya, aktivis lingkungan yang nyaris patah hati karena putus dengan kekasihnya, Cakra Wangsa –seorang pengacara– hanya karena Cakra tidak mendukung rencana Flo untuk tilik ke Sula sekalian riset. Hal ini semakin memantik Flo berkelana ke Indonesia Timur.
Latar belakang asal usul keluarganya, mengusik. Dia ingin membuktikan bahwa pilihan kedua orangtuanya untuk menikah adalah hal yang benar. Dia ingin buktikan bahwa orang dari timur bisa jadi “matahari” bagi daerah dan negerinya.
Flo akhirnya melakukan riset ke Kepulauan Sula, di mana banyak keluarga besarnya tinggal, berharap bertemu keluarga besar sang ayah. Namun Flo kecewa, ternyata sebagian besar keluarganya di Sula banyak yang merantau. Di rumah kakeknya, hanya tinggal Tante Asfi, adik bungsu ayahnya -seorang guru SD honorer yang merawat sang kakek, yang baru saja kehilangan istri -Nenek Flo, sebulan sebelum kedatangan Flo.
Bersyukur, Flo bertemu kembali dengan Sula Sangaji, yang kini jadi penggiat budaya, dan aktivis lingkungan. Hubungan yang tak bernama dulu, kembali bersemi dengan tumbuhnya cinta di hati.
Di saat yang sama, Cakra menyadari kesalahannya, bermaksud menyusul Flo ke Sula. Flo sempat bimbang, namun pada akhirnya Sula adalah yang terbaik baginya. Mereka pun berusaha mencari solusi masalah sosial budaya, kesejahteraan, dan lingkungan di Kepulauan Sula, agar tak lagi jadi daerah tertinggal. Berupaya membuat banyak program, berjejaring, mengenalkan keindahan dan konservasi alamnya, tradisi, seni, juga sosial budaya, warisan budaya benda/takbenda untuk diangkat sebagai unique selling Kepulauan Sula agar lebih dikenal dan menjadi daerah maju atau entas.
Flo lebih nyaman dipanggil Timur, nama panggilan kecilnya, merasa menemukan jati diri di bumi sang ayah didampingi Sula. Bersama dengan Sula turut membangun SDA dan SDM di Kepulauan Sula dengan beragam cara. Tebusan mahal bukti cinta sejati ayah ibunya telah dia bayar dengan kontan. Hadiah bagi kesetiaan sang ibu membesarkannya dengan cinta yang luar biasa. (Rilis)