Jempolindo.id _ Jika dialektika diartikan sebagai dialog dan komunikasi dua arah dari dua atau lebih pihak-pihak yang berdialektika, tentu ada substansi-substansi ensensial yang berlawanan dan dipertarungkan untuk merawat komunikasi, baik berupa persepsi, aspirasi, dan emosi dari pihak-pihak tersebut untuk menjalin ‘permusyawaratan’ (seperti sila ke-4 Pancasila) menuju cita-cita bersama.
Dengan berjalannya waktu, hari ke hari selama 5 tahun masa bakti kekuasaan pemerintahan pasca pemilu, pasti ada sesuatu yang senantiasa berubah atau perlu disesuaikan.
Apalagi jika warna demokrasi dan pemilu lebih bersifat politik kekuasaan, yang menurut “Harold Laswell” sebagai politik praktis dan pragmatis sharing kekuasaan yaitu tentang siapa dapat apa kapan berapa besar dan dengan cara bagaimana.
Sebelum pemilu dan sesudahnya, dialektika politik terus berlangsung, dari perlawanan bergeser jadi mitra koalisi, dan sebaliknya.
Itulah dialektika politik dalam narasi besar ‘kekuasaan’.
Bagi pemenang, prioritas utama adalah menjaga statusquo kemenangannya sekaligus (bila mungkin) tetap pegang kendali penuh atas nama koalisi besar.
Bagi yang kalah atau tersingkir, ada yg bersikap biasa saja dan netral, ada juga yang kecewa, entah karena kalah atau karena jasa bantuannya selama proses pemilu tidak diberi reward memuaskan.
Kelompok ini paling-paling hanya bisa “mengancam”: “Awas ya nanti di pemilu berikut nggak akan bantu lagi atau digembosi”. Lalu bergabung dengan para pengeritik melakukan perlawanan selama masa bakti rejim.
Di luar itu ada juga kelompok idealis seperti mahasiswa, Guru Besar, LSM yang civil society sejati, serta kaum professional yang bukan oportunis, yang terus menerus melakukan controlling bila terjadi ekses atau penyimpangan kekuasaan yang kelewat batas walaupun menghadapi kualitas penegakan hukum yang sering sempoyongan karena masuk angin..
Tetapi partai-partai yang kalah dan kelompok idealis, jumlahnya relative “sedikit”. Bayangkan saja, menurut data KPU, dari 18 partai yang mendaftarkan, secara resmi menyampaikan laporan jumlah anggota partai, yang keseluruhan hanya berjumlah 8.227.521 jiwa (atau hanya 4.17% dari jumlah DPT resmi sebesar 204.807.222 jiwa).
Anggap saja dihutung dengan jumlah orang dalam rumpun kepala keluarga rata-rata 4 orang, artinya mesin partai-partai maksimum hanya didukung 3×4,17% =16.68% atau sekitar 32.910.084 jiwa dari total DPT.
Itupun kalau anggota keluarga dari anggota partai militant; kalau tidak militant yang pasti jauh di bawah itu.
Sebagai contoh, PDIP dalam laporan ke KPU melaporkan jumlah anggota partai 474.247 orang, meraih suara 25.387.279 suara . Golkar yang mencctatkan jumlah anggota partai 834.218 orang meraih 23.208.654 suara.
Dari total 18 partai yang masuk Senayan hanya 8 partai, yang keseluruhan anggotanya berjumlah 3.775.033 jiwa ( 1.8% dari total DPT).
Kalaupun dihitung partai koalisi pemenang saja yang beranggota 2.628.937 jiwa (1.28% dari total DPT), maka sesungguhnya rejim kekuasaan pemenang pemilu secara riil organisatoris hanya didukung tidak lebih dari 2% dari total DPT Pemilu 2024; dan pengendalinya adalah tokoh pemimpin politik partai yang berjumlah 8 orang dari 8 partai, plus mungkin pak Jokowi yang sedang dalam proses menjadi koordinator koalisi pemerintah.
Tentu ada keberatan dengan penalaran diatas, karena hasil pemilu 2024 partai-partai pemenang didukung hampir 50% voters dan presiden-wapres didukung 58% voters dari total pemilih sah, yaitu suara sah pileg 151.796.63 1(74,11% DPT) suara sah pilpres 164,227,475 (80.18% DPT).
Terhadap keberatan ini jawabannya sederhana, yaitu bahwa angka-angka tersebut adalah “snapshot” angka pada tgl 14 Pebruari 20024 hari H pemilu. Hari-hari berikutnya tentu terjadi perubahan, pergeseran persepsi termasuk ketidak pedulian terhadap struktur kekuasaan, yang penting tetap ada “pemeliharaan” terhadap kebutuhan hidup.
Seperti dimaklumi bahwa berdasarkan data-data yang ada di KPU, dukungan voters partai-partai pemenang pemilu dan presiden-wapres terpilih ternyata sekitar 96%nya ditentukan oleh para voters yang tergolong silent majority dan atau swing voters (bukan anggota partai).
Swing voters ini pada umumnya didominasi mereka yang berpendidikan SD dan SMP, juga emak-emak serta laki-laki yang tidak berijazah, serta kondisi rata-rata pendapatan masyarakat yang relative pas-pasan.
Maka rejim penguasa akan tetap mengandalkan bansos dan BLT untuk bisa memelihara dan mengontrol dukungan seperti pada saat hari H pemilu.
Dalam situasi yang demikian, dialektika politik yang berkembang menjadi rumit. Bukan saja antara dua pihak berlawanan, tetapi antar berbagai pihak. Maka narasi besar harus dibangun oleh penguasa, seperti demi bangsa dan negara, demi keadilan dan kesejahteraan dan demi-demi lainnya, yang oleh Masyarakat jalanan disebut dialektika gombal mukiyo. Gombal Mukiyo adalah istilah khas Jawa Timur-an untuk menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan.
Narasi besar yang disuarakan oleh sekelompok kecil “penguasa” harus berhadapan dengan narasi besar oleh masyarakat silent majority dan swing voters (yang bisa mencapai jumlah 80-90% total DPT) dimana mereka ini tidak terlalu militant dalam berpolitik, orang-orang baik yang pemaaf, orang yang naif yang sering dikibulin tetapi tidak pernah kapok. Juga mereka yang militansinya hanya pada bansos dan BLT.
Narasi besar penguasa akan selalu dikemas dalam diplomasi politik yang hipokrit. Bilang netral, ternyata tidak netral. Seolah heroik dalam merestorasi Indonesia, tetapi ternyata sangat kompromistis.
Diplomasi politik juga termasuk kepiawaian untuk “ngeles” dari kritikan dan gugatan dengan permainan akrobat yang legalistik walaupun tidak legitimated.
Yaa karena itu tadi….banyak yang mudah ditipu, banyak yang suka selalu diberi obat gosok merk Bansos dan BLT, banyak yang oportunis pekerjaan, bisnis maupun jabatan…
Dialektika gombal mukiyo ini akan terus berlangsung selama 5 tahun sampai dengan masa pemilu selanjutnya.
Demikian seterusnya sampai masyarakat mayoritas menjadi cerdas, dan pendapatan perkapita bisa naik untuk mencukupi hidup keluarga dan tidak mau dikibulin lagi untuk dibeli electoral vote nya. Tapi kapan hal ini bisa terwujud?
Mungkin masih lama sekali, karena persoalannya bukan pada rakyat tetapi lebih pada penguasa gelap dibelakang penguasa resmi yang masih enjoy untuk memanfaatkan kelemahan dan kebodohan dalam masyarakat demi kejayaan mereka dan kelompoknya.
Dan inilah dialektika gombal mukiyo. Mari kita nikmati.
Lalu kita membayangkan betapa jauh beda kualitas ideologi dan dedikasi antara tokoh politik pemimpin saat ini dengan para tokoh politik pemimpin masa-masa kemerdekaan.
Uang memang bukan tokoh, tetapi tokoh butuh uang. Untuk apa? Untuk membeli kebodohan.
Dan mata batin kita menerawang jauh tentang kehidupan dan masa depan anak cucu kita…. Mudah-mudahan mereka menjadi orang yang baik dan tidak bisa dibodohi oleh kaum gombal mukiyo.
Wallahualam.