18.7 C
East Java

Budaya Tradisional yang Terpinggirkan di Kabupaten Jember: Antara Modernisasi dan Upaya Pelestarian

Jember, Jempolindo.id – Perhatian Pemerintah Kabupaten Jember terhadap pertumbuhan Budaya tradisional, masih dinilai kurang.

Hal itu, bisa disimak dari kebijakan anggaran, yang tertuang dalam APBD 2025. Melalui Anggaran di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, pos untuk kebudayaan hanya Rp 300 jutaan, sementara untuk Jember Festival Carnival (JFC) dianggarkan sebanyak Rp 1,9 Miliar.

Karenanya, senagaja artikel ini ditulis sebagai bentuk keprihatinan, terhadap kebudayaan Kabupaten Jember.

Kabupaten Jember, dengan julukan “Kota Pandalungan” akibat percampuran budaya Jawa dan Madura, dikenal sebagai pusat seni dan tradisi yang kaya.

Meski, penggunaan istilah Pandalungan masih menjadi perdebatan.

Karena ada juga yang berpendapat, bahwa Pandalungan bukan hanya khas Jember, melainkan sebuah komunitas regional masyarakat, di wilayah Kabupaten Pasuruan hingga Kabupaten Banyuwangi.

Ada sebagian kalangan, yang lebih suka menggunakan istilah “Jemberan’, untuk lebih memperkuat ke Khasan Jember.

Selain etnis Madura dan Jawa, sebenarnya terdapat setidaknya 17 etnis, yang hingga kini hidup dan tinggal di Jember, berikut budayanya.

Terlepas setuju atau tidak, dengan penggunaan Pandalungan, namun dalam realitasnya, Budaya Tradisional yang masih hidup, atau setidaknya, pernah hidup di Jember, dipandang perlu mendapat perhatian khusus.

Karena, fakta yang tak bisa dipungkiri , di balik gemerlap festival seperti Jember Fashion Carnaval (JFC) atau Tari Lahbako yang mendunia, terdapat sejumlah budaya tradisional yang perlahan terpinggirkan.

Janis Budaya Tradisional Jember

Berikut adalah potret tradisi-tradisi tersebut beserta tantangan dan upaya pelestariannya.

1. Tradisi Nyuteng: Ritual Syukur yang Tergerus Zaman

Tradisi Nyuteng di Desa Jatian, Kecamatan Pakusari, merupakan ritual syukur petani padi setelah panen.

Tradisi ini melibatkan interaksi sosial antarwarga dan diyakini sebagai bentuk kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan ekologi.

Namun, modernisasi dan globalisasi mengancam kelestariannya.

Generasi muda lebih tertarik pada gaya hidup urban, sementara nilai-nilai spiritualitas dalam Nyuteng mulai pudar .

Tantangan lain termasuk kurangnya dokumentasi dan minimnya promosi melalui media massa, sehingga tradisi ini hanya bertahan di lingkup komunitas kecil.

2. Can Macanan Kaduk: Tarian Harimau dari Karung Goni 

Can Macanan Kaduk adalah tarian unik yang menggunakan kostum harimau dari karung goni.

Tarian ini menggambarkan upaya petani mengusir gangguan dalam kehidupan agraris.

Meski sarat makna filosofis, popularitasnya kalah dengan kesenian modern.

Minimnya regenerasi seniman dan kurangnya panggung pertunjukan membuat tradisi ini jarang ditampilkan, kecuali dalam acara-acara lokal tertentu .

3. Ta-bhutaan: Kesenian Mistis Penangkal Bala 

Ta-bhutaan, kesenian ondel-ondel khas Desa Kamal (Arjasa), awalnya digunakan untuk ritual tolak bala seperti gagal panen atau wabah.

Kini, hanya segelintir orang tua yang memahami makna ritual ini.

Generasi muda lebih tertarik pada seni kontemporer, sementara pemerintah lebih fokus mengembangkan festival besar seperti JFC.

Akibatnya, Ta-bhutaan terancam punah, jika tidak ada intervensi pelestarian .

Kini, Ta Bhutaan tekan mendapatkan predikat Wsrisan Budaya Tak Benda (WTB). Gelar yang disandangnya, tentu merupakan bentuk intervensi Pemerintah Daerah, melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Sayangnya, masyarakat Jember, belum secara meluas menyukai jenis seni tradisi ini.

4. Kentongan Patrol: Musik Pengiring Sahur yang Hampir Punah

Kentongan Patrol, musik tradisional yang dimainkan selama Ramadan untuk membangunkan warga sahur, mulai kehilangan pemain muda.

Alat musiknya sederhana—kentongan kayu, seruling bambu, dan rebana—tetapi memerlukan harmoni yang kompleks.

Sayangnya, anak muda lebih memilih bergabung dengan grup musik modern. Inovasi seperti penambahan kendang Banyuwangi, belum cukup menarik minat generasi baru .

5. Tari Bedaya Jember: Warisan Tarian Keraton yang Terlupakan

Tari Bedaya Jember, yang mengisahkan cerita Putri Mayangsari dan hubungan spiritual dengan Gunung Raung, dahulu menjadi tarian sakral.

Kini, tarian ini hanya dipentaskan dalam acara resmi terbatas.

Kurangnya pelatihan dan minimnya apresiasi masyarakat membuat tari ini kalah pamor dari Tari Lahbako yang lebih sering dipromosikan .

6. Tota’an Merpati: Simbol Damai 

Tradisi melepas ribuan merpati di Kecamatan Semboro sebagai simbol perdamaian dan kesetiaan nyaris hilang.

Biaya pemeliharaan burung dan pergeseran minat masyarakat ke hiburan digital membuat ritual ini hanya dijalankan oleh kelompok kecil.

Padahal, Tota’an Merpati bisa menjadi daya tarik wisata budaya jika dikelola dengan baik .

7. Permainan Tradisional: Egrang dan Gulat Okol

Meski Festival Egrang Ledok Ombo masih diadakan setiap tahun, partisipasi generasi muda dalam permainan tradisional seperti egrang semakin menurun.

Anak-anak lebih memilih gawai daripada aktivitas fisik, seperti egrang atau gulat okol, sebuah seni bela diri khas Jember yang dahulu populer di kalangan petani.

Permainan ini tidak hanya melatih fisik tetapi juga mengajarkan kerja sama dan keberanian.

Sayangnya, minimnya regenerasi dan kurangnya promosi membuat tradisi ini jarang dipraktikkan di luar acara festival.

8. Bahasa Jemberan: Campuran Jawa-Madura yang Mulai Pudar 

Bahasa Jemberan, yang merupakan hasil akulturasi Jawa dan Madura, mulai kehilangan penutur aktif.

Generasi muda lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau dialek urban, sementara kosakata khas seperti “ku-mlaku” (jalan-jalan) atau “lun-alun” (alun-alun) jarang terdengar.

Padahal, bahasa ini merefleksikan identitas multikultural Jember.

Tanpa upaya dokumentasi dan integrasi ke dalam pendidikan, bahasa ini berisiko punah dalam beberapa dekade mendatang.

9. Ritual dan Upacara Pertanian

Sebagai wilayah agraris, Jember memiliki ritual syukur panen yang kini mulai terlupakan.

Misalnya, di sekitar Situs Doplang—peninggalan megalitik di Arjasa—dulu kerap diadakan upacara penghormatan kepada leluhur dan alam.

Ritual ini sarat makna ekologis, tetapi kini hanya dikenal oleh segelintir orang tua.

Modernisasi pertanian dan pergeseran nilai spiritual menjadi faktor utama kemunduran tradisi ini.

10. Tenun dan Batik Motif Lokal

Batik Jember dengan motif tembakau dan kopi, serta tenun khas Pandalungan, kurang bersaing dengan produk tekstil modern.

Meski sempat dipamerkan dalam JFC, pengrajin kesulitan menemukan pasar yang stabil.

Minimnya minat generasi muda untuk mempelajari teknik tradisional memperparah situasi.

Padahal, motif tembakau pada batik bisa menjadi ikon kebanggaan daerah penghasil komoditas tersebut.

11. Tarian Ojung:

Tarian ini, termasuk katagori sakral, yang dimainkan pada saat musim kemarau berkepanjangan. Sebagai upaya ritual meminta, agar Tuhan Yang Maha Esa menurunkan hujan.

Biasanya, ada dua main yang menggunakan penjalin, sebagai alat untuk saling adu pukul, pada bagian punggung.

Tarian ini sudah nyaris punah, dan sudah tak terlihat lagi.

12. Tarian Sandur: 

Tari Sandur di Jember yang paling dikenal adalah Sandor Relang, sebuah tarian ritual sakral yang dilakukan di Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi.

Tarian ini merupakan bentuk permohonan perlindungan dari bencana dan malapetaka kepada Tuhan.

Sandor Relang juga menggambarkan kekhawatiran seorang ayah terhadap bayinya yang sakit, di mana sang ayah menari berputar di atas makam leluhur sambil melantunkan doa.

Tarian ini, kini juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Dan masih banyak lagi, jenis tarian dan permainan tradisi, yang dilakukan dokumentasi utuh, serta upaya menghidupkannya kembali, agar Keberadaannya tak hanya tinggal cerita saja.

Faktor Penyebab Kemunduran

1. Globalisasi dan Gaya Hidup Urban: Generasi muda lebih tertarik pada budaya populer daripada tradisi lokal.

2. Kurangnya Regenerasi: Seniman dan pelaku budaya tradisional kebanyakan berusia lanjut tanpa penerus yang kompeten.

3. Fokus pada Pariwisata Massal: Pemerintah lebih mengutamakan event besar seperti JFC, sehingga tradisi kecil kurang mendapat perhatian.

4. Minimnya Dokumentasi: Banyak ritual dan kesenian tidak tercatat secara sistematis, sehingga rentan terlupakan.

Upaya Pelestarian yang Perlu Diperkuat

1. Pendidikan Budaya: Memasukkan kurikulum kesenian tradisional di sekolah dan sanggar seni .

2. Festival Lokal dan Workshop: Membuat acara khusus untuk menampilkan tradisi terpinggirkan, seperti Gelar Seni Budaya Daerah .

3. Kolaborasi dengan Media: Mendokumentasikan tradisi melalui film pendek atau konten digital untuk promosi .

4. Dukungan Pemerintah: Alokasi dana khusus untuk pelatihan seniman muda dan revitalisasi situs budaya seperti Situs Doplang .

5. Ekowisata Budaya: Mengintegrasikan tradisi seperti Nyuteng atau Ta-bhutaan dalam paket wisata edukatif .

6. Integrasi ke Pendidikan: Memasukkan bahasa Jemberan dan kesenian tradisional ke kurikulum sekolah.

Penutup

Budaya tradisional Jember adalah cerminan harmoni antara Jawa, Madura, dan nilai-nilai Islam.

Jika tidak ada tindakan nyata, warisan ini akan tinggal cerita usang dalam buku sejarah.

Pelestarian harus menjadi gerakan kolektif—melibatkan pemerintah, komunitas, akademisi, dan generasi muda—agar identitas kebudayaan Jember tetap hidup sebagai jiwa Kabupaten Jember.

Budaya tradisional di Jember bukan sekadar warisan, tetapi identitas yang merefleksikan harmoni multietnis.

Tanpa upaya serius, tradisi-tradisi ini akan punah, meninggalkan jejak kosong dalam sejarah.

Pelestarian harus menjadi tanggung jawab kolektif—mulai dari pemerintah, komunitas, hingga generasi muda—agar “Jiwa Berkebudayaan” tetap hidup dalam denyut zaman.

*) Artikel ini dihimpun dari berbagai sumber 

- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img