Oleh : Fiba Granza Alghifari *)
Korupsi merupakan tindak kejahatan yang merugikan keuangan negara. KPK mencatat akumulasi kerugian negara mencapai 168 triliun rupiah dari tahun 2004 – 2019 (sumber msn.com) yang apabila digunakan dengan baik dapat menghidupi banyak orang terlantar, memberikan penghidupan bagi banyak keluarga, pembangunan sarana prasarana dan lain sebagainya.
Menurut KBBI, Korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Secara epistimologi korupsi dapat diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Korupsi sendiri sudah menjadi budaya yang mengakar dalam lingkungan dari tingkat regional sampai tingkat pusat.
Menjadi sebuah masalah serius apabila dengan lingkungan yang membiasakan budaya korupsi itu tetap dilanggengkan keberadaannya.
Mencuat kasus terbaru dari kementrian kelautan dan perikanan mengenai ekspor benur atau bayi lobster yang sungguh menyita perhatian yang mana negara kita sedang dihadapkan dengan kasus pandemi covid-19 yang menggelontorkan uang negara yang begitu besar sampai memotong anggaran dari segala aspek untuk pemulihan pandemi covid 19.
Kasus yang juga cukup menyita perhatian datang melalui kementrian sosial dengan kasus pemotongan anggaran bantuan sosial pandemi covid 19 yang seharusnya kementrian sosial sebagai ujung tmbak dalam perwujudan sila ke lima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sungguh sangat memilukan dimana negara sekarang sedang mengalami masalah yang cukup besar dan menjadikan negara resesi pada sektor ekonominya masih ada yang memanfaatkan wewenang dan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri dan golongannya.
Korupsi sendiri dapat terjadi karena dua aspek, mulai dari aspek internal yaitu diri sendiri dan aspek eksternal atau lingkungan yang mendominasi. Aspek internal sendiri sangat berpengaruh besar karena bagaimana niatan awal seseorang untuk melakukan korupsi timbul dari dirinya, aspek ini seharusnya sangat bisa diminimalisir dengan sikap kejujuran yang dibangun mulai dari sejak kecil melalui pengajaran pengajaran di sekolah serta peran pengajaran keagamaan yang mana tidak ada satupun agama yang mengajarkan untuk berbuat tidak baik atau tidak jujur.
Pendidikan karakter merupakan salah satu kunci budaya Antikorupsi ini dapat dibangun, Menurut Mulyasa (2013: 9) melalui pendidikan karakter diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Budaya antikorupsi sangat bisa dibangun melalui setiap fase pendidikan untuk memperkuat idealisme atau karakter diri untuk tetap dalam berbuat jujur mulai dari tingkat keluarga dan tingkat pendidikan dari taman kanak sampai bangku kuliah.
Fase awal untuk membangun sikap antikorupsi dengan berani mengatakan salah untuk sebuah kesalahan dengan tidak menitik beratkan pada sikap sungkan atau takut merasa dijauhi dari suatu lingkungan.
Aspek kedua merupakan aspek eksternal dimana kegiatan korupsi ini terjadi karena tekanan dari luar diri mulai dari perekonomian keluarga ataupun tekanan dari lingkungan yang mendominasi yang mengharuskan untuk secara langsung menutup mata terhadap praktek korupsi karena praktek tersebut dilakukan oleh orang orang setingkat diatasnya.
Perlu digaris bawahi bahwasanya praktek korupsi yang terjadi di Indonesia terjadi oleh orang orang elit diatasnya dimana mereka sudah memiliki jabatan yang tinggi namun masih saja kekurangan atau sifat rakus pada dirinya.
Lingkungan yang mendominasi ini akan terus langgeng apabila pengawasan yang masih minim serta tidak transparannya keterbukaan anggaran, keuangan suatu lembaga atau individu. Sudah sepantasnya Indonesia dengan kepungan kasus korupsi yang merugikan negara ini menciptakan suatu sistem antikorupsi yang mana sistem ini tidak memberi celah apapun pada individu yang ingin melakukan kasus korupsi
Budaya antikorupsi sebenarnya sudah sangat digalakan oleh beberapa lembaga serta tingkat pendidikan, mulai dari pemberlakuan kantin kejujuran di sekolah yang mana siswa sudah sangat dididik untuk bersikap jujur, di tingkat lembaga dengan pendidikan antikorupsinya yang selalu didengungkan melalui materi materi training kelembagaan.
Namun, berjalannya waktu masih banyak celah dan kesempatan untuk seseorang melangsungkan praktik korupsi dikarenakan minimnya pengawasan serta sistem yang memungkinkan seseorang untuk terus melanggengkan aksinya.
Faktor hukum juga sangat berpengaruh untuk meminimalisir suatu praktik korupsi dimana hukum yang lemah akan memberikan kesempatan lebih banyak untuk melakukan praktik korupsi.
Hukum di Indonesia sebenarnya sudah sangat mengatur tentang kasus korupsi dengan 9 landasan hukumnya mulai dari TAP MPR RI, Undang Undang, dan Peraturan Pemerintah yang mana membahas secara lengkap mengenai Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta peran lembaga yang independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membendung kasus korupsi di Indonesia.
Dengan sistem hukum dan pengawasan yang tegas serta independen akan memberikan ketakutan psikologis terhadap para koruptor dan mengurungkan niatnya untuk mengambil yang bukan haknya. Peran pengawasan sangat bisa juga dilakukan oleh masyarakat umum, keterbukaan arus informasi dan transparansi kasus juga merupakan kunci dari pemberantasan korupsi itu sendiri
Sudah sepantasnya peran dan turut andil masyarakat dalam budaya antikorupsi ini terus digalakan, Peran aktif dan partispatif dari setiap insan yang menamakan dirinya sebagai insan yang cinta tanah air dan ingin mewujudkan visi Indonesia yang tercermin dalam pancasila sudah harus ditanamkan sejak dini.
Segala aspek mulai dari aspek terkecil sampai besar sudah harus sadar bagaimana besar tanggug jawab yang dipikul untuk turun aktif dalam kemajuan bangsa dan negara salah satunya dengan membudayakan antikorupsi, karena jelas saja apabila korupsi masih tetap ada dan berlangsung masih akan banyak orang yang akan terdampak khususnya rakyak kecil.
Budaya antikorupsi akan merepresentasikan visi negara yaitu Pancasila yang mana menjadi tonggak utama pada perwujudan sila ke-lima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dukungan penuh dari masyarakat dalam membudayakan antikorupsi akan memberikan wajah baru Indonesia dengan semangat gotong royongnya saling bahu membahu dalam kemajuan bangsa dan negara. Sikap antipati atau acuh akan suatu permasalahan akan menjadi hilang dan timbul sikap kegotong royongan yang akan menjadi awal dari budaya antikorupsi.
Menjadi optimistis ketika semua lini bergerak dan mengambil bagian dalam pembentukan budaya antikorupsi dengan semangat untuk terus maju demi bangsa dan negara akan timbul wajah baru untuk Indonesia yang berkemajuan.
*) Penulis adalah kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Pertanian Universitas Jember