Banyuwangi_Jempolindo.id_ Jika partisipasi masyarakat masih dianggap jargon yang tidak rasional bagi birokrasi, berarti proses bernegara sedang terpapar radikalisme demokrasi. Hal itu ditegaskan Dekan fakultas Ekonomi Syariah IAI Ibrahimy Banyuwangi, Hj Emy Hidayati Msi.
Pemerintah kata Emy, harus Berani membuka ruang- ruang publik dalam proses pengambilan keputusan. Ruang publik tidak sekedar pasang baliho yang isinya angka-angka APBD. Pemerintah harus Membongkar birokratisasi permusyawaratan.
”Organisasi warga bekerja secara representative, benar-benar mewakili kepentingan konstituen atau warga bukan elitis, DPRD nya bekerja secara inklusif, dengan pelibatan secara nyata, NGO nya bukan tim Think thank nya investor pemilik modal,” urai Emy.
Menurut Emy, dibutuhkan etika pengelolaan sumberdaya lokal. Sebab jika dibiarkan, Birokrasi cenderung menerapkan managemen seperti pasar, bukan managemen publik yang berorientasi pada keberdayaan masyarakat lokal.
Model kebijakan negara yang lebih memilih menguasai sumberdaya secara ekstraktif eksploitatif dan tidak mendesain atau memikirkan keberlanjutan pada gilirannya akan menuai kegagalan tujuan pembangunan.
“Sekecil apapun andil warga dalam opini publik wajib dihargai, mengejar pendapatan daerah dengan mengesampingkan keberdayaan masyarakat, memanipulasi kebijakan dan keputusan yang seolah partisipatif, hanya dalam dalam bentuk administratif adalah ciri sikap pemerintah yang korup, yang menutup celah atau ruang publik untuk ihtiar berdaya, ihtiar berekonomi, ihtiar berkeadilan sosial, Ini bentuk bentuk kegagalan ber- pemerintah an dan tanda-tanda kebangkrutan pembangunan,” tandasnya.
Pegiat wisata alam bebas, Baim, menambahkan, antusisme masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan saat ini cukup tinggi apalagi dalam skala lokal. Dibidang pariwisata misalnya, hampir seluruh destinasi wisata di kabupaten Banyuwangi di kelola dan dikembangkan oleh kelompok masyarakat. Pengelolaan tempat wisata oleh masyarakat, lebih mempercepat pertumbuhan perekonomian dibandingkan pengelolaan oleh investor.
“perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, managerial wisata dilakukan sendiri oleh kelompok masyarakat, maka perputaran perekonomian akan berkutat diwilayah tersebut, sehingga peningkatan pendapatan masyarakat bisa dirasakan secara langsung,”urainya.
Menurut Baim, untuk mengantisipasi tersingkirnya kelompok- kelompok masyarakat dalam pengelolaan pariwisata, maka perlu adanya Mou yang jelas antara pemilik lahan (BUMN) dengan masyarakat sebagai pengelola.
“ Di Songgon misalnya, kita mengelola lahan milik perhutani sebagai destinasi wisata, maka perjanjian kerjasama sudah kita buat dengan mencantumkan kesepakatan kesepakatan yang kita setujui bersama antara pokmas selaku pengelola, magersari, pesanggem, LMDH, Desa dan Perhutani,”urainya.
Baim Berharap Pemerintah daerah atau BUMN, mengarahkan investor untuk melakukan kajian bersama secara mendalam bersama masyarakat jika ingin berinvestasi.
“Jadi investor tahu potensi SDA dan SDM di wilayah sekitar, tidak hanya melalui pola pendekatan kekuasaan, karna ini akan menenggelamkan partisipasi masyarakat, dan peran investor adalah sebagai Pembina, bukan pengelola ataupun pelaksana,” urai pengelola Karo adventure itu.
Menyikapi investasi yang ada di pantai Boom, Baim berharap pihak Pelindo menjadikan kawasan sekitar sebagai wilayah binaan agar menjadi mitra pendukung berkembangnya Marina Boom kedepan.
“Masyarakat sekitar juga harus di ajak rembug terkait pengembangan dan masyarakat juga harus memiliki akses untuk bekerja di sana,” tukasnya. (Amar)